Wednesday, January 31, 2007

Hasyim Muzadi

Minggu, 06 April 2003
KH Hasyim Muzadi
Tidak Mengeluh Karena Dicaci

Ahmad Hasyim Muzadi lahir di Tuban, 8 Agustus 1944. Anak kelima dari tujuh bersaudara pasangan Muzadi dan Rumiati itu, mengawali kegiatan organisasinya di Nahdlatul Ulama (PBNU) ranting Bululawang, Malang. Lulusan Ponpes Lasem Jateng ini meneruskan pendidikannya di IAIN Malang pada 1964. Pada tahun yang sama, dia mendapat kepercayaan sebagai ketua ranting NU setempat.
Pengasuh Ponpes Al Hikmah Malang itu, pernah menjadi ketua anak cabang GP Anshor Bululawang Malang, Ketua Cabang PMII, Ketua KAMI, Ketua Cabang GP Anshor, Ketua PCNU, dan Ketua DPC PPP di Malang. Kemudian aktif sebagai wakil Ketua GP Anshor Jatim, mulai 1983-1987. Selanjutnya, dia menjadi Ketua PW GP Anshor Jatim.

Pengalaman organisasinya, terus berlanjut hingga dia mendapat kepercayaan sebagai ketua PWNU Jatim, periode 1992-1999. Akhirnya dia terpilih sebagai Ketua PBNU untuk periode 1999-2004. Pada 1991, dia membentuk Ponpes Al-Hikmah. Tujuannya, untuk memajukan lulusan Ponpes tradisional NU yang kurang bisa beradaptasi dengan sistem sosial modern. Dalam ponpes diajarkan pengetahuan modern dan pengetahuan agama termasuk ilmu salafiah.

Dalam kesehariannya, ayah lima anak tersebut, selalu santai dengan busana tradisionalnya. Dengan baju koko dan sarung kotak-kotak pula, mantan santri Ponpes Gontor Ponorogo Jatim ini menerima wartawan Republika, Muhammad Nurcholis di ruang tamu kantor PBNU, Jl Kramat Raya 164 Jakarta belum lama ini.


Bagaimana awalnya Anda mendapat kepercayaan sebagai Ketua PBNU?
Pengalaman dan pendidikan. Keluarga saya berasal dari lingkungan yang memiliki tradisi dan kultur NU. Maka pertama kali masuk IAIN, orientasi saya langsung ke NU. Saat itu awalnya saya ingin memajukan sebagian besar masyarakat NU yang masih tertinggal dalam segala hal. NU harus dibangun. NU memiliki potensi-potensi yang kuat, yang besar, dengan basis kultural yang sangat kental. Oleh karena itu saya aktif dalam organisasi NU di Malang.
Kemudian saya diterima di lingkungan PBNU, baik secara struktural dan kultural. Pada 1991, saya mendirikan ponpes Al Hikmah di Malang. ada dua aspek yang bisa digarap, pertama, saya punya kesempatan untuk kaderisasi para mahasiswa yang berada di perguruan tinggi dan belum mendengar pendidikan agama. Sambil mereka kuliah mereka mendapat pendidikan ilmu agama dan sains.

Bukankah dalam tradisi NU, seorang pemimpin harus memiliki basis struktural dan kultural?
Ya, itu tadi, dengan terbentuknya pesantren, ada sayap kultural dan struktural (organisasinya). pemimpim yang bisa memimpin secara struktural belum tentu dengan sendirinya memimpin massanya di wilayah kultural. Kultur NU adalah kyai dan pesantren dengan subsistem budaya yang ada di dalamnya. Ini tidak bisa dimasuki dengan proses struktural semata. Dengan adanya pesantren, saya sudah dianggap 'orang'.

Apa sebelumnya tidak dianggap demikian?
Ya begitulah. Oleh para kyai-kyai NU, selama saya belum memiliki ponpes sendiri, selalu dipanggil le (nak-red). Namun setelah ada ponpes itu, orang-orang NU bersikap lain, dan lebih meng-'orang'-kan. Tradisi yang berkembang di lingkungan NU, masih cukup kuat.

Pernahkah Anda mengalami beragam kendala memimpin NU? Apa saja hambatan itu?
Cukup Banyak. Kendala pertama, besarnya massa NU. Kurang lebih 40-70 persen umat Islam adalah NU. Ini bisa terlihat ketika NU pernah menjadi partai tersendiri pada masa Orde Lama. Jumlah pasti belum ada, karena itu membutuhkan waktu dan biaya besar. Kesulitan kedua, heterogenitas NU. Massa NU berada di mana-mana, lintas golongan dan politik.
Ini harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka bisa merasa memiliki NU. Dan ini menuntut saya sebagai pemimpin NU untuk menjadikan organisasi sosial ini menjadi wahana titik temu warganya yang menyebar di mana-mana itu. Ada kecenderungan NU harus berada di luar politik. NU harus jadi pengayom. Kendala lainnya, pengaruh tarik-menarik kepentingan politik dari kiri dan kanan.

Apakah Anda tidak melihat pendidikan sebagian warga NU, masih rendah?
Harus saya akui, tingkat pendidikan NU merupakan masalah mendasar. Apalagi ini menyangkut masalah kelancaran komunikasi antara pemimpin dan massanya. Oleh karena itu saya tetap mengusahakan agar pendidikan dan komunikasi ini bisa berubah. Salah satunya melalui pembentukan media internet atau NU online.
Kader NU di pusat memberi pelatihan-pelatihan khusus di tingkat wilayah. Wilayah bisa menyumbangkan gagasan dan pemikirannya melalui sarana ini. Sehingga hubungan timbal-balik (komunikasi) dan menangani masalah keilmuan di tubuh NU bisa tercapai.
Salah satunya, misalnya dengan mengisi wacana agama, ekonomi, budaya, politik dan lainnya. Media ini bisa diakses oleh seluruh warga NU, sehingga dengan begitu, PBNU bisa mengendalikan pendidikan secara luas. Reorientasi potensi kekuatan itu harus ditingkatkan. Untuk jangka pendek, PBNU mesti memperbaiki komunikasi itu. Sementara jangka panjang kita bisa membuat pendidikan pascaponpes seperti di Al Hikmah Malang.

Apa yang melatari Anda membentuk Ponpes Al Hikmah itu?
Selama ini lulusan Ponpes NU, kurang bisa terserap ke dalam sistem masyarakat modern. Untuk itu perlu lembaga pendidikan khusus yang menjembatani, kesenjangan itu agar kemampuan dan pengetahuan yang mereka peroleh dari pondok pesantren bisa ditransfer dan dimanfaatkan di lingkungan sosial modern. Ini membutuhkan proses adaptasi dan penyesuaian. Maka keberadaaan Ponpes Al Hikmah yang saya bentuk, diharapkan bisa menjembatani kesenjangan alumni pendidikan NU dan lingkungan sosial itu. Dan kini, banyak lulusan Al Hikmah yang telah bekerja di instansi swasta dan negeri.
Alumni ponpes itu berbeda dengan intelektualitas muslim yang lulus dari pendidikan formal saja. Mereka mempelajari Islam melalui penalaran, dengan teori-teori agama. Islam bukan menjadi way of life. Lembaga pendidikan serupa akan dibangun di Depok. Ini diharapkan agar alumni UI bisa bergabung, begitu pula alumni pesantren di Jawa Barat.

Apa yang Anda lakukan agar sumber daya manusia NU bisa berkembang?
Banyak sekali. Namun, pada dasarnya upaya pembangunan SDM, harus didukung oleh sektor lain seperti ekonomi keuangan. Bagaimana komunitas NU menjadi komunitas produktif, bukan hanya pasar saja. Terutama prioritas pengembangan pada sektor prekebunan, pertanian, perikanan, dan industri kecil lain. Sayangnya pada saat desain baru itu dibuat, pada saat bersamaan ekonomi Indonesia terpuruk. Akibatnya konsep itu susah diterapkan. Tetapi sebisanya akan kita lakukan lagi.


Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, adalah seorang tokoh yang percaya bahwa NU mesti menjaga jarak dengan kekuasaan. Termasuk kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Prinsip itu tak dimaksudkan untuk menentang Abdurrahman Wahid yang notabene cucu pendiri NU. Ia mengaku hanya ingin menyelamatkan NU dari campur tangan kepentingan politik sesaat.
Bagi Hasyim, NU mesti menjaga jarak dengan kekuasaan karena NU bukanlah organisasi politik. Karena itu, dia berusaha keras agar NU tidak terjebak pada upaya dukung mendukung partai atau pemimpin politik tertentu. NU harus tetap menjadi wadah semua warganya yang menyebar di beragam organisasi politik, pemerintahan, dan organisasi sosial lainnya.
Gara-gara sikapnya itu, ia pernah kena ancaman akan dilengserkan melalui Musyawarah Luar Biasa. ''Biarlah urusan politik itu, diwakili dan diwadahi melalui PKB. Nah, Gus Dur kan kini telah bergeser menjadi tokoh politik. Jadi, wajar kalau dia meminta dukungan politik dari NU.''
Hasyim memahami tarik-menarik kepentingan dalam tubuh NU, sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Ketua PBNU harus bisa menjaga diri dari semua kepentingan politik, baik PPP, PKB, Partai Golkar maupun PDIP. Dengan prinsip itu, Hasyim mengakui NU bisa lolos dari ancaman terjebak pada upaya dukung-mendukung kekuasaan politik.




Apa yang Anda lakukan agar NU tidak terjebak pada kepentingan politik tertentu?
Sebagaimana saya alami dulu. Saya harus konsisten dengan khittah NU, sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang mendukung pembangunan politik kebangsaan. Orientasi politik tidak untuk kepentingan parsial kepartaian, yang bersifat sesaat dan sepihak saja. Namun, diarahkan pada politik kebangsaan, moral, dan sistemik. Karena NU, sejak awal bagian dari negara bangsa ini.

Bukankah tarik-menarik itu tak terelakkan?
Memang tidak terelakkan. Dan saya memahami itu. Sistem di Indonesia kan, yang partai politik tidak punyai umat, sementara yang punya umat tidak punya legalitas politik. Nah, ketika partai-partai itu punya mau, mereka mencari sasaran di tubuh NU. Hal-hal itu, harus diperhatikan secara jeli. Pemimpin harus bisa memilah mana unsur politik dan yang tidak. Jika tidak, format politik kebangsaan yang seharusnya dipegang NU bisa terancam. Harus diakui, pada saat mendekati dan menjelang Pemilu saja, masalah itu mencuat. Tapi setelah Pemilu lewat, NU ditinggal... hahaha.. (sembari ketawa).

Bagaimana Anda melihat hubungan Islam dan Negara?
Islam muncul untuk kemaslahatan umat. Tidak bisa kalau kita menerapkan syariat Islam, dengan mengabaikan konteks sosial dan politik masyarakat setempat. Untuk itu kita perlu menjaga sistem atau metode yang menjamin Islam bisa hidup dan berkembang dalam negara. Memang ada keinginan sebagian umat, yang ingin formalisasi agama. Sebagian lainnya, memisahkan hubungan negara dan agama atau sekuler.
Hubungan keduanya, sama-sama tidak akan bersatu. Pengalaman membuktikan, upaya memformalisasi agama di Indonesia, selalu mengalami kekalahan. Sementara sekularisasi pemerintahan bisa menimbulkan kebobrokan bangsa. Oleh karena yang perlu terserap ke dalam negara adalah nilai-nilai yang terkandung dalam agama itu. Seperti nilai keadilan, kemanusiaan, ketertiban, dan lain-lain. Di bawah konsep negara itu, hidup sistem society. Kalau sudah ada sistem semacam ini, Indonesia bisa aman.

Apakah Anda setuju pemberlakuan syariat?
Kalau tingkat sosial pemberlakuan syariat, oke. Tapi kalau di tingkat government, jika dipaksakan justru kurang produktif. Ada fenomena menarik pemberlakuan syariat di Aceh. Secara perundangan, Aceh mempunyai hak penuh menerapkan syariat Islam itu baik di tingkat government maupun masyarakat. Namun, kenyataannya pemberlakuan hukum itu pun masih banyak menemui kendala. Terutama menyangkut kodefikisi hukum fikih ke hukum sosial.
Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Fikih mau jadi perda. Lalu bagaimana mengatur DPRD, yang di dalamnya ada PDIP, ormas Islam yang kualitas keislamannya berbeda, dan bagaimana dengan budaya masyarakat Aceh sendiri. Oleh karena itu penerapan itu tentu harus mempertimbangkan faktor kontekstual.

Lalu bagaimana Anda melihat pemberlakuan aturan itu, agar bisa dijalankan?
Ya tentu harus ada dukungan dari dalam, terutama dukungan pendidikan dan suasana syariat itu sendiri. Kalau cuma simbol-simbol saja akan kesulitan. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, pertama kali yang bisa dilakukan paling hanya kewajiban memakai jilbab. Itu pun tidak awet, karena polisi yang mengawasi aturan itu tidak ada. Lalu mahkamah syariat juga tidak ada infrastruktur yang mendukungnya. Jika itu mau diterapkan tentu harus ada hakim Islam, jaksa Islam, dan kondisi masyarakat yang semuanya Islami.
Oleh karenanya, perlu ada rumusan tertentu secara jelas mengenai di mana letaknya syariat itu di Indonesia. Dan ketentuan syariat apa saja yang harus terserap oleh negara. Pada tingkat undang-undang mungkin hanya bisa berlaku UU perkawinan, atau UU Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan UU syariat Islam di tingkat lokal lain. Tapi kalau dalam UUD, tentu tidak akan bisa. Karena UUD merupakan payung bagi seluruh bangsa. Jika dipaksakan maka agama lain ribut, bahkan di antara umat Islam sendiri bisa ribut.

Sikap moderasi anda merupakan cermin moderasi NU. Namun tentu ada sebagian dari warga NU yang masih menghendaki formalisasi agama ke dalam negara. Lalu bagaimana cara anda mengatasi masalah itu?
Saya kira NU tidak demikian. Selama ini NU adalah Islamnya domestik, Islam kultur. Sehingga lebih mudah diindonesiakan. NU tumbuh disini, semenjak walisongo dulu, ketika terjadi Islamisasi masyarakat Hindu dan Budha. Ini berbeda dengan masyarakat Islam di Timur Tengah. Di Indonesia satu bangsa dengan kultur banyak, sedang Timteng tidak. Selain itu, lahirnya Islam di Timteng dari kafir jahiliyah.
Di Indonesia telah ada kultur universal dari Hindu dan Budha yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, budi luhur, kemanausiaan, gotong royong, tepo seliro dan nilai-nilai universal lainnya. Kemudian nilai yang benar itu tidak dihilangkan. Namun, diarahkan ke ajaran monotheisme dengan tauhid dan ibadah. Oleh karenanya proses Islamisasi di Indonesia melalui akulturasi. Sedang di Timteng dengan perang.
Semangat dan paham semacam itu telah turun-temurun dari para wali songo ke kyai-kyai NU hingga kini. Sehingga bagi NU, hubungan negara dan agama di Indonesia pada dasarnya, sudah selesai. Namun, saya harus toleransi terhadap keyakinan Islam kelompok lain itu. Bagaimanapun tajamnya perbedaan pandangan, mereka adalah bagian dari Islam juga.

Bagaimana cara Anda menerapkan sikap toleransi itu?
Mungkin saat saya shalat jamaah di masjid Mabes Polri beberapa waktu lalu. Saat itu saya menjadi imam shalat, Ustad Ja'far --yang ditahan polisi karena hendak menegakkan syariat-- sebagai makmum. Begitu pula Kapolri, yang pada saat itu sebagai makmum saya. Lalu yang jadi pertanyaan, kalau sudah demikian, yang Muslim ini siapa? Dan tema-tema yang menjadi polemik itu, membentur siapa ?

Apa alasan Anda berani menentang KH Abdurrahman Wahid yang saat itu masih menjadi figur NU paling berpengaruh?
Bukan begitu. Hal pertama yang harus diketahui adalah bahwa Gus Dur itu bagian dari NU, bukan NU bagian dari Gus Dur. Jadi Gus Dur adalah fenomena tertentu dalam NU. Jika Gus Dur belum bersentuhan dengan kekuasaan, maka aman-aman saja. Karena ketika itu dia masih sebagai tokoh kultural. Tapi ketika Gus Dur menjadi presiden, dia telah menjadi tokoh politik.
Tapi, karena Gus Dur telanjur difigurkan oleh NU, maka posisi Ketua PBNU paling dilematis. Kalau tidak mendukung, dan tidak memenuhi emosi umat, akan salah, namun jika dipenuhi, ini bukan lagi fenomena agama, tapi sudah politik.
Akhirnya PBNU masih memiliki garis akomodasi. Yakni, bagaimana PBNU tetap melakukan kanalisasi terhadap gejolak NU, dengan tidak melarang aksi umat. Namun, pada satu titik ketika aksi itu mulai membahayakan NU secara organisasional, maka PBNU akan menyetop.
Karena kebijakan itu, PBNU dianggap kurang perhatian. Sementara oleh orang luar, PBNU dianggap terlalu politik. Tentu sebagai ketua PBNU, saya tetap melakukan klarifikasi mengenai duduk permasalahan itu. Selain itu kejatuhan memudahkan PBNU mengembalikan orientasi organisasi ini kepada relnya. Tentu masih ada benturan-benturan kecil dan resistensi dari sisa masa lalu itu. Tapi saya yakin pilihan keputusan politik saya akan diikuti orang banyak karena benar.
Sebenarnya antara saya dan Gus Dur tidak ada pertentangan. Masyarakat masih menilai lain. Saat itu Gus Dur memang punya hak untuk bicara politik, karena dia PKB. Sedangkan PBNU tidak boleh. Jadi kalau ada anggapan konflik, sebenarnya masalahnya terletak pada perbedaan wilayah perjuangan saja. Memang kelihatan ada benturan atau 'perpisahan', tapi kenyataannya tidak.

Bagaimana Anda menyikapi sikap emosional dari massa NU?
Ya itu memang risiko menjadi pemimpin. Saya tidak mengeluh karena dicaci maki atau dihujat.

Hobi Anda sekarang?
Pingpong, dan jalan-jalan.

Kalau Anda diusulkan jadi presiden?
(Hasyim tersenyum, tak langsung menjawab) Etikanya kan harus melalui organisasi. Selama ini secara organisatoris, saya belum penah menerima usulan seperti itu. Tentu saja, semua tergantung pada organisasi. Biar institusi yang menentukan semuanya.

Jika mendapat kepercayaan seperti itu apakah Anda bersedia?
Sebenarnya jawaban dari pertanyaan ini menyangkut masalah etika juga.

Bagaimana kalau Anda tak terpilih lagi sebagai Ketua PBNU 2004 nanti?
Yaa...ndak apa-apalah.. kalau tak terpilih. Itu kan hal yang biasa.

()

Republika Online : http://www.republika.co.id

Islam dalam Sewindu Reformasi

Jumat, 12 Mei 2006

Islam dalam Sewindu Reformasi



M Alfan Alfian M
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta, serta Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Hadirnya era reformasi di Indonesia pasca-lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, tidak dapat dilepaskan dari peran kalangan Islam. Indonesianis Robert W Hefner misalnya, mencatat fenomena ''civil Islam'', sebuah kekuatan pro-demokrasi yang menginginkan perubahan mendasar, khususnya dalam konteks sistem kepolitikan nasional.

Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, mengalihkan pendulum sejarahnya. Membuktikan pada dunia, Islam bukan agama penghambat demokrasi. Pergerakannya melewati dua arus: atas dan bawah. Arus atas tergambar dari dinamika politik yang melibatkan para aktor yang sejak 1990-an ''dirangkul'' oleh negara. Sementara arus bawah, tergambar oleh pergerakan umat Islam yang progresif, anak-anak muda yang bergerak di kampus-kampus dan berbagai aktivitas lembaga swadaya masyarakat.

Demokrasi menguntungkan mereka untuk lebih bebas mengekspresikan diri. Ikut terlanda euforia politik pasca-Orde Baru. Tatkala keran politik terbuka lebar, mereka berlomba membuat partai-partai politik, yang seolah menjadi lahan perjuangan baru yang lebih menjanjikan--walaupun almarhum Dr Kuntowijoyo pernah mengingatkan dampak-dampaknya.

Delapan tahun terakhir, aktivis politik Islam, baik yang bernaung di bawah partai politik berasaskan Islam, berbasis massa Islam atau mantan aktivis organisasi Islam yang berada di ''partai politik pluralis'', cukup mewarnai dinamika demokrasi Tanah Air. Meskipun demikian, isu negara Islam dalam arti Islam dijadikan dasar negara, cenderung meredup di parlemen.

Isu itu dianggap amat sensitif. Warna ''politik Islam'' di parlemen pun cenderung ''a-ideologis'', kecuali dalam beberapa kasus sempat muncul pro-kontra hebat atas pembentukan undang-undang mengenai pendidikan nasional, juga pornografi dan pornoaksi.

Kebalikannya, di beberapa daerah, isu ideologis tampak menonjol, tatkala syariat Islam diujicobakan dalam wadah hukum formal. Selain Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), beberapa pemerintah kabupaten dan kota berupaya mengadopsi ''syariat Islam'' melalui perda-perda. Tren ini merupakan suatu realitas politik yang ''sukar dibendung'', dan cukup membuat berbagai ''kalangan yang tidak sepakat'' gelisah.

Demokrasi politik di Indonesia telah memunculkan hal-hal yang pro-kontra tersendiri. Dulu, umat Islam pernah merasa sebagai ''kelompok minoritas'' dalam pentas politik nasional, banyak kelompok Islam yang teralienasi dan termarjinalisasi. Aspirasi-aspirasi politik Islam, banyak tak kesampaian. Namun kini, justru di era demokrasi, para politisi Islam dapat berijtihad politik secara lebih leluasa. Secara demokrasi kuantitatif, mereka punya kekuatan. Tetapi, tentu saja akan segera dianggap ''membahayakan'' kalau yang dijadikan dalih adalah demokrasi-mayoritas ''menindas'' minoritas.

Para politisi Muslim perlu menjelaskan tudingan-tudingan terkait hal tersebut lewat suatu forum keterbukaan. Jangan sampai para politisi Islam tampil eksklusif, jauh dari realitas sosiologis, sehingga yang muncul bukannya ''proses hukum yang tepat sasaran'', tetapi ''proses hukum yang selalu dilawan'' justru oleh kalangan umat sendiri.

Masihkah Islam ramah?
Potret lain yang mengemuka adalah tampilnya wajah Islam yang terkesankan sangar (radikal), bukan Islam ramah. Mereka hadir seiring jebolnya bendungan pembatasan ekspresi politik. Isu-isu anti-maksiat mengemuka. Mereka punya alasan untuk ''main hakim sendiri'' dalam ''memberantas kemaksiatan'', ketika aparat terkait dinilai membiarkan kemaksiatan itu terus berlangsung.

Di sisi lain, kehadiran mereka tidak dapat dilepaskan dari gejolak konflik horisontal di beberapa wilayah sensitif, semisal di Maluku dan Poso. Konflik horisontal itu memang potret runyam. Tatkala prasangka mengemuka dan ''bahan bakar'' disiramkan, konflik makin menjadi-jadi. Apa pun alasannya, keberadaan ''laskar-laskar Islam'' di daerah konflik, telah menjadi bagian dari wacana dan analisis ''Islam radikal'' di Indonesia era reformasi.

Puncaknya, tatkala kasus-kasus pemboman terungkap, yang ternyata melibatkan sebuah jaringan kelompok Islam ''bawah tanah''. Maka, otomatislah orang memotret, menganalisis, mewacanakan akan adanya keterkaitan antara terorisme internasional dengan ''Islam''.

Dalam sekejap citra Islam hancur oleh kejadian-kejadian teror tersebut. Karena wacana terorisme internasional dalam perkembangannya makin sarat dengan agenda politik adidaya, maka saat ini umat Islam Indonesia cemas dengan dua hal sekaligus. Satu sisi, mereka mengkhawatirkan terorisme itu sendiri. Sisi lain cemas akan politisasi tak berkesudahan oleh pihak asing, atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyudutkan umat Islam.

Namun wajah Islam Indonesia masih didominasi Islam ramah, bukan--istilah Abdurrahman Wahid--''Islam galak''. Keberadaan ormas-ormas besar Islam yang sering disebut sebagai ''representasi Islam arus-utama'', Muhammadiyah dan NU, tanpa ''mengecilkan'' eksistensi yang lain, cukup mampu memberikan ''payung pengaman'' bagi citra Islam Indonesia yang ''moderat''.

Krisis (pemimpin) umat
Permasalahan paling mendasar dari semua itu adalah krisis umat. Umat dan bangsa berimpitan, maka persoalan umat juga persoalan bangsa dan sebaliknya. Krisis umat, dengan demikian adalah juga krisis bangsa. Sayangnya, resep-resep yang diberikan, kadangkala membuat penyakit tambah kronis. Kebodohan kok diberi ''sinetron mistik''. Kemiskinan kok masih sebatas diberi ''ikan'', bukan ''kail''. Pengangguran kok masih sebatas diceramahi.

Sejauhmana para elite Islam memikirkan dan melakukan sesuatu bagi pencerdasan dan pengkayaan umat. Bukankah yang tampak di arus utama panggung kebangsaan-keumatan dewasa ini adalah ''melulu politik''? Mengapa yang tampak di permukaan lebih pada ornamen-ornamen artifisial, sementara substansinya kerap terabaikan?

Umat Islam juga tampaknya semakin susah mencari sosok panutan, karena aspek politis dan komersialisasi lebih mengemuka. Umat terlanda krisis, demikian pula ''pemimpin umat sejati'' yang kian langka. Ulama-ulama kultural yang alamiah, punya integritas, dan ''kharisma'' yang tidak instantif, makin sulit dicari, tertutup oleh ''ulama-ulama politik'' dan ''komersial''.

Dalam beberapa hal itu harus dapat dimaklumi. Hanya persoalannya, seberapa jauh mereka mampu ''memandu umat'' membebaskan dari kebodohan, kemiskinan, dan keterpurukan. Tugas berat para ulama, cendekiawan, dan pemimpin umat (Islam) ialah mempelopori suatu revolusi mentalitas ''manusia Indonesia''.

Pemimpin yang dibutuhkan ialah yang ''melayani'' dan bukan ''minta dilayani''. Pemotivasi, bukan pembikin kecemasan. Yang jarak antara ucapan dan perbuatan amat berimpitan. Yang berani, meminjam Mohammad Roem mengapresiasi KH Agus Salim, ''menderita''.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Republika Online : http://www.republika.co.id

Kamis, 06 Juli 2006

'Perda Agama' Berlaku di Bali

Perda baca-tulis Alquran bagian dari pendidikan.

DENPASAR--Jika peraturan daerah bernuansa syariat Islam kini gencar dipersoalkan, perda bernuansa agama Hindu sebenarnya sudah diberlakukan di Bali sejak 1986. Lewat Perda Desa Adat itu, pemerintah pusat pun menjadikan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Caka sebagai hari libur nasional.

''Implikasi Perda itu sangat luas, sampai akhirnya lahir Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman,'' kata Ketua DPW PPP Bali, Muhammad Ali Sahib, menjawab Republika di Denpasar, Rabu (5/7).

Perda Desa Pakraman yang lahir tahun 2001, lanjut Ali Sahib, direvisi lewat Perda Nomor 3/2003. Kemudian menjadi dasar lahirnya SK Gubernur Bali Nomor 33/2003 tentang Tata Cara Pembangunan Tempat Ibadah di Bali. ''Perda Desa Pakraman mengatur peranan desa tersebut beserta dengan organ-organnya, seperti keberadaan pecalang atau polisi adat Bali,'' ungkap Ali.

Lahirnya Perda Desa Pakraman sempat dibicarakan kalangan umat non-Hindu, karena dirasakan berbau diskriminatif. Namun, tetap disahkan dan kini sudah diberlakukan di Bali.

''Perda itu sangat berat bagi kami (umat non-Hindu), karena dalam penerapan di lapangan, sering kali berlebihan. Pemerintah di Bali pun merasa harus tunduk pada perda tersebut,'' kata Ali. Namun, ia termasuk umat minoritas Muslim yang harus berbesar hati menerima aspirasi mayoritas penganut Hindu.

Dirjen Bimas Islam Depag, Nazaruddin Umar, menjelaskan, masalah keagamaan memang termasuk satu dari enam hal yang diserahkan kepada pusat sesuai UU Nomor 32/2004. Namun hal ini tidak ada kaitannya dengan pembuatan perda-perda bernuansa syariah yang isinya mengatur kepentingan masyarakat setempat, seperti yang dikhawatirkan sejumlah anggota DPR. ''Masalah agama yang diserahkan ke pusat antara lain jika muncul aliran sesat di suatu daerah. Selain itu masalah Kantor Urusan Agama (KUA) atau pelaksanaan dari UU Perkawinan (Nomor 1/1974, red). Semua itu diserahkan ke pusat,'' papar Nazaruddin Umar kepada Republika, kemarin.

Sedangkan munculnya perda-perda yang bersumber dari agama, lanjut Nazaruddin, pemerintah tidak berhak mengatur selama tidak bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila, dan NKRI. Lagi pula, hingga saat ini tidak pernah lahir bernama Perda Syariat Islam (kecuali di Aceh).

''Apakah salah jika ada pemda dan DPRD dalam peraturan daerahnya menerapkan napas-napas keagamaan yang hidup di masyarakat?'' tanya Nazaruddin. Misalkan, daerah itu menghendaki masyarakatnya bebas buta aksara dan bisa membaca Alquran dengan baik. Pemda juga menginginkan agar masyarakat mengenakan pakaian yang sopan.

''Masa membuat aturan seperti itu tidak boleh. Makanya, saya lihat masalah ini terlalu didramatisir,'' tegas Nazarudin. Ia mengingatkan tentang pendapat tokoh Nasrani Th Sumarthana di acara diskusi PBNU beberapa waktu lalu. ''Kenapa tidak mencoba menggunakan hukum syariat Islam, siapa tahu dengan hukum tersebut bisa menjerat para koruptor (secara efektif),'' katanya.

Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB), Sahar L Hassan, menegaskan, perda-perda bernuansa agama lebih untuk mengembangkan norma-norma yang berkembang. ''Di Kabupaten Bulukumba, misalnya, anak-anak sejak dulu sudah biasa belajar baca-tulis Alquran. Sehingga, perda yang mengharuskan warganya melakukan hal itu, harus dilihat dari edukasi (pendidikan),'' katanya.

(aas/vie/hri )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Pancasila Diperalat Menstigma Islam

Selasa, 27 Juni 2006

Pancasila Diperalat Menstigma Islam

Mulai bergulir Kontra Memorandum di DPR.

JAKARTA--Kalangan DPR dan pengamat politik mengemukakan, Pancasila tengah dijadikan alat pencitraan buruk (stigmatisasi) terhadap syariat Islam oleh mereka yang menolak peraturan daerah (perda) antimaksiat. Perilaku 'penyelewengan' pancasilais dan Islamophobia yang bisa berakibat adu domba ini lebih berbahaya dibanding pemberlakuan syariat Islam itu sendiri yang mereka takutkan.

`'Sejak dulu tidak ada masalah terhadap penerapan perda bernuansa syariat. Ada apa ini, kok tiba-tiba masalah itu dimunculkan?'' kata anggota Komisi I DPR, Slamet Effendi Yusuf (Fraksi Partai Golkar), Senin (26/6). Secara terpisah, pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Fachry Ali, mengemukakan, kemunculan perda bernuansa syariah Islam tidak bisa dibendung lagi seperti zaman Orde Baru. Sebab, itu merupakan bentuk aspirasi dari masyarakat Indonseia yang mayoritas beragama Islam.

`'Bagaimana pun, di era demokrasi, kelompok mayoritas akan memberikan nilai atau warna bagi hukum dan regulasi yang akan dikenakan di dalam masyarakat,'' tutur Fachry. Sebanyak 56 anggota DPR--lima di antaranya mencabut dukungan--menggugat penerapan perda antimaksiat dengan menstigma Islam. Bagi Slamet, memunculkan isu perda syariat semacam ini, membangkitkan sikap saling mencurigai dan menyulut pemusuhan antarumat beragama.

''Hal ini tidak strategis untuk negara yang sedang berupaya membangun solidaritas kebersamaan. Taruhannya persatuan bangsa,'' ucap Slamet. Diingatkannya, Pancasila tidak seharusnya dijadikan sarana untuk menstigmatisasi umat agama tertentu. Keberadaan Pancasila semestinya menjadi ruang kebersamaan. Bukan untuk menakut-nakuti dan menyudutkan kelompok tertentu. `'Kita harus waspada jangan sampai isu ini memecah belah persatuan dan kerukunan umat beragama,'' ungkap Slamet.

Penerapan perda bernuansa syariat, dalam pandangan Slamet tidak ada masalah. Dengan catatan, sepanjang perda tersebut dibutuhkan dan tidak mengganggu umat agama lain. Dia mencontohkan dengan penerapan perda penyembelihan hewan. Kata Slamet, sekarang ini ada gejala upaya sistematis untuk memuncul Islamophobia. `'Sampai-sampai seorang tokoh menulis di media massa menyebutkan kalau jilbab itu dianggapnya arabisasi. Tapi kenapa orang yang memakai jas tidak pernah disebut telah terjadi eropanisasi?'' paparnya.

Contoh lain, lanjut Slamet, kasus salah tangkap dalam penerapan perda antipelacuran diekspos besar-besaran. Tapi diskriminasi terhadap perempuan berjilbab di sebuah stasiun televisi, tidak pernah diekspos. `'Semestinya upaya Islamophobia ataupun Kristenphobia tidak dikembangkan,'' tandasnya. Petisi 51 anggota DPR itu kini memunculkan reaksi di kalangan rekan mereka di Senayan. Sejumlah anggota DPR menggalang Kontra Memorandum.

Penggalangan tanda tangan Kontra Memorandum mulai beredar kemarin. `'Masih ada beberapa revisi sehingga baru bisa kita edarkan tadi sekitar pukul 12.00 WIB,'' ungkap Almuzzamil Yusuf (Fraksi PKS). Rencananya, surat itu akan disampaikan ke pimpinan DPR, Selasa ini.

Anwar Sanusi (Fraksi PPP), yang sebelumnya menjadi bagian dari 56 anggota DPR itu, berbalik arah. Ia sekarang justru ikut menandatangani Kontra Memorandum. Anwar merasa tertipu saat memberikan tandatangannya. Yang ia tahu, naskahnya bukan tentang pencabutan perda antimaksiat. n dwo/uba

Ikhtisar

* Di era demokrasi, tak bisa dinafikan, kelompok mayoritas akan memberi warna terhadap produk hukum.
* Tapi atas nama Pancasila, Islam diperlakukan seperti 'aliran sesat' yang harus ditumpas.
* Kasus salah tangkap perda antipelacuran pun dibesar-besarkan. * Namun, diskriminasi terhadap perempuan berjilbab tidak pernah diekspose dan dipersoalkan.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Pemerintah-Umat Islam Diarahan Bertabrakan

Selasa, 11 Juli 2006




JAKARTA--Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ormas-ormas Islam terus merapatkan barisan. Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin, mensinyalir saat ini ada pihak-pihak tertentu yang ingin mengadu-domba ormas-ormas Islam dengan pemerintah.

''Kami mengimbau pemerintah agar tak terprovokasi oleh kelompok-kelompok itu, karena akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,'' ujar Ma'ruf kepada wartawan usai bertemu pimpinan ormas Islam di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (10/7).

Tujuan provokasi, menurut Ma'ruf, agar ormas Islam dan pemerintah 'bertabrakan'. Situasi ini menjadi tidak kondusif karena akan mengembalikan situasi ke masa Orde Baru ketika umat Islam sebagai mayoritas banyak ditindas. Atau ke masa penjajahan, ketika bangsa ini diadu domba agar tidak meraih kemerdekaan.

Sekjen Forum Umat Islam (FUI), KH M Al-Khaththath, meminta kepada para provokator terutama yang dibiayai asing untuk sadar dan insaf. ''Hentikan provokasinya untuk menjaga persatuan bangsa,'' imbuhnya. Ma'ruf menyesalkan pernyataan wartawan Tempo dan Ketua Garda Kemerdekaan, Ahmad Taufik, yang menyebut MMI, FPI dan HTI sebagai 'preman berjubah'. Ini bisa menjadi salah satu bentuk provokasi. Hal itu dilontarkan Taufik saat mendeklarasikan gerakan antipremanisme, Senin (3/7) lalu.

Bentuk provokasi lainnya, menurut Ma'ruf, adalah upaya-upaya membenturkan Islam dan syariat Islam dengan konstitusi. Mereka yang dulu alergi terhadap doktrin Pancasila pun kini menjadi sok pancasilais.

Ma'ruf menambahkan, ormas-ormas Islam dan pemerintah akan selalu bahu-membahu menjaga keutuhan bangsa dari upaya yang ingin memecah belah kesatuan dan persatuan. ''Termasuk di dalamnya mencegah infiltasi dari pihak-pihak asing terutama dari imperialisme zionis Israel,'' tandasnya.

Ormas-ormas Islam pun bertekad untuk menjaga ukhuwah Islamiyah serta kerukunan umat beragama. Kedua hal ini merupakan unsur utama dari kerukunan nasional. ''Kami juga bertekad bersama pemerintah untuk menjaga NKRI dari usaha-usaha pihak tertentu yang ingin memisahkan diri,'' ujar Ma'ruf.

Lalu ormas-ormas Islam siap membantu pemerintah dalam menjaga Pancasila dari upaya sekularisasi. Sebab, saat ini terindikasi adanya upaya membentukan Pancasilan dengan agama. Yang lebih parah lagi adanya usaha menjauhkan Pancasila dari agama terutama Agama Islam. ''Ormas-ormas Islam bersama-sama pemerintah akan berusaha menjaga akhlak bangsa dari upaya-upaya yang ingin menghancurkan akhlak bangsa melalui pornografi, pornoaksi, dan sebagainya,'' papar Ma'ruf.

MUI dan ormas Islam pun mengingatkan agar umat Islam tak melakukan tindakan-tindakan anarkis. Selain itu, umat juga diminta untuk selalu berkoordinasi dengan MUI dan seluruh ormas Islam. ''Kami menyerukan agar umat Islam senantiasa bertaqarub kepada Allah agar terjaga dari upaya-upaya kelompok almufsidin (perusak).'' hri/vie

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Ustadz Ba'asyir: Orang Islam Penolak Perda Syariat Adalah Murtad

Senin, 03 Juli 2006
Ustadz Ba'asyir: Orang Islam Penolak Perda Syariat Adalah Murtad

Jakarta-RoL-- Pemimpin atau Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Ustadz Abu Bakar Ba`asyir mendukung sepenuhnya penerapan perda syariat oleh sejumlah pemerintah daerah dan mengangggap orang Islam yang menolak perda itu adalah murtad.

Ba`asyir menegaskan hal itu sebelum menyampaikan ceramah bertajuk "Indahnya Syariat Islam" pada acara Milad VIII Partai Bulan Bintang (PBB) di Jakarta, Senin.

Ba`asyir mengatakan jika yang menolak penerapan perda syariat tersebut orang "kafir" maka hal itu wajar, namun jika yang menolak justru orang Islam, maka itu keterlaluan.

"Kalau orang Islam yang tidak setuju, itu murtad." katanya.

Ba`asyir berpandangan, syariat Islam harus ditegakkan di Indonesia jika ingin negara ini selamat. Oleh karena itu, kata Ba`asyir yang saja menikmati udara bebas pada 14 Juni , ia akan mendukung semua pihak yang memperjuangkan syariat Islam.

"Karena alasan itulah saya datang ke sini," kata Ba`asyir ketika ditanya wartawan apakah kedatangannya di kantor Bulan Bintang mengisyaratkan dirinya akan masuk ke parpol yang saat ini diketuai Menhut, MS Kaban itu.

Ba`asyir mengatakan akan memenuhi semua undangan partai politik maupun organisasi massa Islam yang memiliki kepedulian pada penegakan syariat Islam tanpa bermaksud bergabung menjadi anggota parpol atau ormas tersebut.

Pada bagian lain, menyinggung perkembangan konflik di Palestina dan Israel, Ba`asyir menyatakan pemerintah Indonesia sudah semestinya mengirim para mujahidin ke Palestina untuk memerangi Israel.

"Israel itu musuh Allah yang harus diperangi. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia seharusnya mengirim para mujahiddin," katanya.

Peringatan Milad Partai Bulan Bintang itu sendiri tidak dihadiri oleh Ketua Umum MS Kaban yang tengah berada di Surabaya. Selain Ustadz Ba`asyir, hadir dalam acara tersebut Sekjen PBB, Sahar L. Hassan, para pengacara yang tergabung dalam Tim Pembela Abu Bakar Ba`asyir (TPABB), M Assegaf, Mahendradatta, dan Achmad Michdan.

Sementara itu Sekjen PBB, Sahar L Hassan mengatakan syariat Islam tidak perlu ditakuti karena sebagai ajaran, nilai-nilai yang ada pada Islam bersifat universal karena Islam sendiri merupakan ajaran yang membawa kebaikan pada seluruh alam (Rahmatan Lil Alamin). antara/pur

()
Republika Online : http://www.republika.co.id

DPR Sudahi Debat Perda Antimaksiat

Rabu, 05 Juli 2006

DPR Sudahi Debat Perda Antimaksiat

Daerah jangan khawatir membuat dan mengimplementasikannya.

JAKARTA--Lembaran hitam kisah petisi 51 anggota DPR terhadap peraturan daerah (perda) antimaksiat (pelacuran, perjudian, dan minuman keras/narkoba) berakhir dengan saling pengertian. Rapat Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi, Selasa (4/7), sepakat untuk tidak menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencabut perda yang bertujuan memperkuat KUHP dalam membasmi penyakit masyarakat itu.

Petisi 51 anggota DPR tersebut sempat menimbulkan suasana 'provokatif' yang bisa memancing konflik horisontal berbau SARA. Terutama, memunculkan pencitraan buruk (stigmatisasi) terhadap syariat Islam yang kebetulan sesuai dengan semangat perda antimaksiat itu.

`'Soal perda ini begitu sensitif, karena jelas-jelas menyinggung keberadaan agama tertentu. Para pimpinan fraksi sepakat dengan ikhlas, masalah perda ini diakhiri,'' kata Ketua DPR, Agung Laksono, usia memimpin Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi, di Gedung MPR/DPR, Selasa (4/6).

Dengan berakhirnya perdebatan, menurut Agung, tugas DPR ke depan akan semakin ringan dan dapat menyelasaikan agenda lain yang tak kalah penting. Kontroversi perda antimaksiat di DPR dipicu oleh surat yang ditandatangani 56 anggota DPR (lima di antaranya mencabut dukungan karena merasa tertipu) tertanggal 17 Mei 2006, yang dialamatkan kepada Ketua DPR Agung Laksono. Mereka meminta agar meneruskan ke presiden untuk mencabut perda bernuansa syariat Islam yang kini berlaku di banyak daerah.

Munculnya petisi itu dipelopori Ketua Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), Constant Ponggawa, dan banyak menggaet anggota Fraksi PDIP, yang kemudian menyulut perdebatan panas. Belakangan, muncul kontra memorandum yang didukung 134 anggota DPR dan dimotori Patrialis Akbar (FPAN). Isinya, meminta pimpinan DPR tidak menindaklanjuti permintaan para pendukung pencabutan perda antimaksiat itu.

Menurut Patrialis, tidak ada bukti yang kuat, yang dipermasalahkan Constant cs merupakan perda syariat. ''Yang ada hanyalah perda pemberantasan maksiat,'' katanya.

Dalam rapim kemarin, Constant dan Patrialis ikut hadir. Mereka sepakat menganggap persoalan telah selesai. `'Hasil Rapim DPR dan Fraksi ini akan segera disosialisasikan. Memang tidak ada kesepakatan tertulis, tapi semua sudah memahaminya,'' kata Constant.

Kendati begitu, Constan menyatakan tidak akan mencabut surat ke ketua DPR. ''Surat itu cukup diendapkan saja. Yang penting, pemerintah sudah menangkap pesan yang kita ajukan.''

Sercara terpisah Patrialis menambahkan, Rapim sepakat mengakhiri perdebatan karena perda yang dipermasalahkan lahir dari proses yang demokratis di DPRD. Perda-perda tersebut tumbuh dan berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat, sehingga kita tidak mungkin menghalangi aspirasi mayoritas rakyat.

''Terbukti, daerah yang memiliki perda-perda bernuansa syariat Islam, itu lebih aman,'' kata Patrialis. Rapim juga menyepakati, jika ada perda yang bertentangan dengan UU dan UUD 1945, ditempuh mekanisme hukum. Misalnya, mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).

Patrialis meminta agar kepala daerah dan DPRD jangan ragu melanjutkan membuat perda-perda yang berbasis pada moral dan ajaran agama. ''Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kepala daerah dan DPRD tidak perlu merasa khawatir,'' tandasnya.

( uba/dwo )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Surat Memorandum Anti Perda Syariat Islam tak Jadi Dikirim ke Presiden

Selasa, 04 Juli 2006 19:22:00
Surat Memorandum Anti Perda Syariat Islam tak Jadi Dikirim ke Presiden

Jakarta-RoL -- Rapat konsultasi antara pimpinan DPR dan pimpinan fraksi-fraksi di DPR memutuskan untuk menganggap selesai kontroversi seputar penolakan terhadap peraturan daerah yang berlandaskan syariat Islam.

"Rapat memutuskan bahwa masalah perda syariat Islam sudah dianggap selesai. Tak jadi persoalan lagi. Surat memorandum yang berkeberatan dengan perda berbau syariat Islam yang ditandatangani 56 anggota DPR tak jadi dikirim ke Presiden," kata Patrialis Akbar dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) kepada wartawan di DPR, Jakarta, Selasa.

Menurut Patrialis, semua pimpinan fraksi di DPR hadir dalam rapat itu. Pihak pimpinan DPR yang hadir, Ketua DPR Agung Laksono dan Wakil ketuanya Soetardjo Soerjogoeritno serta Zaenal Maarif.

Rapat itu diadakan untuk membahas Surat Memorandum yang ditandatangani 56 anggota DPR yang menyatakan keberatan atas munculnya perda berbau syariat Islam di sejumlah daerah. Memorandum itu disampaikan kepada pimpinan DPR dan diharapkan dapat diteruskan ke Presiden untuk membatalkan Perda-perda tersebut.

"Rapat memutuskan bahwa surat itu tidak perlu disampaikan ke Presiden karena masalahnya sudah dianggap selesai," katanya. Surat memorandum yang ditandatangani 56 anggota DPR itu juga mendapat reaksi yang berlawanan, yang dianggap sebagai Kontra memorandum dan ditandatangani oleh 134 anggota DPR.

Patrialis mengatakan, pihak FPDIP dan FPartai Damai Sejahtera juga menerima keputusan rapat bahwa perda itu dianggap selesai. "Masalah agama itu sangat rawan. Jadi kita tak perlu mempersoalkan lagi. Toh nilai-nilai agama itu juga sudah menjadi bagian dari hidup kita. Jadi tak perlu dipersoalkan lagi," demikian kata Patrialis. antara/pur


Republika Online : http://www.republika.co.id

SYARIAT-FOBIA

SYARIAT-FOBIA
Tanggapan


Sehubungan dengan tulisan Sdr Adian Husaini, ketua DDII, yang berjudul ''PDS dan Syariat-Fobia'' di Harian Republika edisi 22 Mei 2006, kami sebagai warga negara Indonesia merasa terpanggil untuk memberikan tanggapan atas tulisan beliau.

Adapun yang dipersoalkan kaum Kristen dan kami kira juga dari kaum Budha dan Hindu adalah jika syariat Islam diberlakukan secara nasional untuk semua golongan. Sepanjang produk hukum seperti undang-undang dan perda yang dijiwai syariat Islam dengan tegas (tertulis) diberlakukan khusus untuk kaum Muslim, maka tidak ada persoalan. Tetapi jika produk hukum tersebut diberlakukan secara umum, maka benar penilaian anggota DPR dari PDS bahwa bertentangan dengan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hukum yang adil tidak menekankan dari aspek mayoritas dan minoritas, tetapi bagaimana hukum itu bisa diterima oleh masyarakat sebagai suatu kebutuhan atau pedoman hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Hukum rajam atau cambuk 100 kali diberlakukan khusus untuk kaum Muslim, yaa silakan saja. Tetapi kalau digeneralisasi untuk semua orang, maka dari segi efektivitas hukum akan sulit terlaksana, karena orang-orang non-Muslim akan keberatan untuk tunduk pada peraturan hukum yang diadopsi dari syariat Islam.

Apabila setiap peraturan hukum yang ada 'bau hukum Islam' dipaksakan berlaku untuk semua orang, maka persoalan hukum akan bergeser menjadi persoalan politik. Cepat atau lambat NKRI hanya akan tinggal kenangan, meskipun sudah diamandemen dalam UUD. Sebab, hal yang tak mungkin dari segi hukum bukan mustahil dari segi politik. Oleh karena itu, kebhinekaan seharusnya dipandang sebagai perekat keutuhan bangsa dan negara Indonesia sebagaimana dimaksud Pancasila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945. Terima kasih.

Andre Paul Vincentius P
Presidium Forum Masyarakat Tomohon (Format), Jaga VII, Tomohon Utara

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

'Mereka Mewakili Siapa?

Jumat, 23 Juni 2006

'Mereka Mewakili Siapa?

NU minta mereka jangan apriori dan over acting.

JAKARTA -- Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, mempertanyakan hak 56 anggota DPR mengusik peraturan daerah (perda) yang mereka anggap bernuansa syariat Islam. ''Apa mereka itu dari daerah yang diberlakukan perda tersebut dan sudah menyerap aspirasi masyarakatnya?'' tanya Hidayat Nur Wahid, Kamis (22/6), di Ruang Pimpinan MPR.

Pada kenyataannya, lanjut Hidayat, perda tersebut membuat iklim kehidupan masyarakat menuju kondisi yang lebih baik dan nyaman. Maka, ia meragukan wakil rakyat yang menggalang penolakan telah menyerap aspirasi mereka. Ia juga menyesalkan penyebutan perda antimaksiat sebagai perda syariat Islam. ''Itu tidak tepat,'' katanya.

Jika ada orang yang menilai sebuah perda bertentangan dengan konstitusi, lanjut Hidayat, semestinya tidak meminta presiden mencabutnya. Tapi harus melalui prosedur hukum, baik lewat Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. ''Cara itu lebih elegan dari pada mempraktekkan lagi perilaku gaya zaman Orba, dengan cara menarik-narik presiden untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan demokrasi,'' tutur Hidayat.

Jangan dicabut
Secara terpisah, Ketua Umum PB NU KH Hasyim Muzadi, mengatakan, selama ini persoalan perda antimaksiat memang disikapi secara apriori dan over acting. Mestinya para anggota DPR tidak mengaitkannya dengan isu syariah dan pemerintah jangan gegabah mencabutnya.

''Yang terkandung dalam perda itu kan seputar pemberantasan perjudian, pelacuran, dan minmuman keras atau narkoba. Tidak menggunakan syariat pun sudah ada di KUHP. Tetapi lalu yang diserang langsung syariat Islam-nya, sehingga menguntungkan bandar judi, industri pelacuran, dan pengedar barang-barang yang memabukkan,'' kata Hasyim Muzadi, di sela acara ICIS II di Jakarta, kemarin.

Anggota Komisi II DPR, Jazuli Juwaini (Fraksi PKS) membandingkan perlakuan wilayah di negara yang Muslim-nya mayoritas dan minoritas. Sebagai mayoritas, orang Islam di Indonesia memperlakukan umat beragama lain dengan sangat baik. ''Apa ada negara lain yang mayoritasnya agama lain, yang memperlakukan umat Islam sebaik umat Islam memperlakukan umat agama lain di Indonesia?'' ungkap Jazuli. Semestinya umat agama lain, lanjut Jazuli, tidak mengusik kebebasan umat Islam menjalankan perintah agamanya. ''Seperti umat Islam tidak pernah menghalangi umat lain menjalankan agamanya.''

Golkar tak menyoal
Wakil Sekjen DPP Partai Golkar, Priyo Budi Santoso, menjelaskan, rapat pleno partainya yang dipimpin langsung Ketua Umum Jusuf Kalla, secara resmi telah membahas masalah perda antimaksiat. ''Rapat memutuskan agar anggota fraksi kita tidak ikut-ikut mempersoalkan masalah ini,'' kata nya.

Secara kelembagaan, keputusan Golkar sudah bulat mendukung Pancasila dan UUD 1945. Tapi dalam konteks perda yang diusik 56 anggota DPR itu, tandas Priyo, Golkar melihatnya tidak ada kaitan dengan syariat Islam. ''Sejauh kami tahu, tidak ada perda syariat Islam. Yang ada adalah perda antipelacuran, perjudian, yang tidak ada hubungannya dengan Islam ataupun non-Islam,'' kata Priyo.

Mengenai anggota FPG yang ikut menandatangani, Priyo menegaskan, DPP PG sudah membuat garis tegas. Pilihan diserahkan ke anggota. Terserah apakah mereka mengikuti perintah partai atau membangkang. ''Tapi saya dengar empat anggota kita sudah menarik dukungannya (untuk menolak perda antimaksiat).'' Priyo meminta anggota DPR tidak mempolitisasi masalah ini karena khawatir akan memunculkan persoalan baru. ''Itu sama saja membangunkan raksasa tidur. Kalau masalah ini terus diusik, akan timbul reaksi yang sangat besar dari umat Islam,'' katanya. dwo/ubaRepublika Online : http://www.republika.co.id

'Perlu Syariat Islam Berbasis Kedaerahan'

Selasa, 23 Januari 2007

SUKABUMI -- Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Ustadz Abu Bakar Ba`asyir, menyatakan, penegakan hukum atau syariat Islam berbasis kedaerahan harus segera dilakukan. Hal ini merupakan cara terbaik bagi kemaslahatan umat Islam dan umat lainnya dari ancaman segala bentuk kejahatan.

Dijelaskannya, penegakan syariat Islam merupakan cara berdemokrasi yang nilainya lebih baik dari hukum positif. ''Jika kita berbicara tentang tata negara dan demokrasi, maka tidak seharusnya menanggalkan atau mengesampingkan syariat Islam yang ada di dalamnya,'' kata pimpinan Pondok Pesantren Almukmin, Ngruki, Solo, itu, dalam Dialog Publik tentang 'Penerapan Syariat Islam Berbasis Daerah', di Gedung Juang 45 Kota Sukabumi, Jawa Barat, Senin (22/1).

Hal tersebut ditanggapi positif oleh sejumlah kalangan, baik eksekutif maupun legislatif Kota Sukabumi, dengan menandatangi suatu pernyataan sikap. Asisten Daerah II Kota Sukabumi, Pipi Kusumajaya dan Wakil Ketua DPRD Kota Sukabumi, Munandi Saleh, membubuhkan tanda tangannya sebagai tanda Kota Sukabumi siap memberlakukan syariat Islam. Pernyataan sikap juga ditandatangani Partai Bintang Bulan (PBB), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Gerakan Pemuda Islam (GPI), Pelajar Islam Indonesia (PII), dan beberapa elemen mahasiswa Kota Sukabumi.

Pernyataan sikap itu menyeru masyarakat untuk mendukung segala upaya penegakan syariat Islam. Kedua, mendesak kepada pemerintah daerah dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait untuk menerapkan syariat Islam secara legal formal dalam bentuk perda. Ketiga, mengharapkan seluruh elemen masyarakat dapat bahu-membahu untuk terlaksananya Syariat Islam.

''Seluruh umat Islam yang menolak syariat Islam adalah manusia yang masuk ke dalam golongan musyrik atau murtad,'' kata Abu Bakar Ba`asyir. Selain itu, Ba`asyir menyatakan, bila ada penolakan dari kaum kafir, itu wajar. ''Jangan pernah meminta nasihat tentang syariat Islam kepada orang orang kafir karena pasti ditentangnya dengan racun-racun yang menyesatkan,'' katanya. ant
( )


Republika Online : http://www.republika.co.id

Hukum Belanda Saja Bisa, Apalagi Hukum Islam

Jumat, 01 April 2005
Abdul Azis Kahar Muzakkar
Hukum Belanda Saja Bisa, Apalagi Hukum Islam

Lelaki berpenampilan kalem ini memiliki kharisma tersendiri, khususnya di kalangan anggota Komite Penegakan Syariat Islam. Ia adalah putra Kahar Muzakkar, salah seorang tokoh penegak Syariat Islam di Sulawesi Selatan di masa lalu.

Meski memiliki tujuan yang sama dengan sang ayah, yakni menegakkan Syariat Islam, namun langkah lelaki kelahiran Palopo, 15 Desember ini tidak sama dengan sang ayah. Jika ayahnya menggunakan cara kekerasan yang dikenal dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Aziz memilih langkah yang konstitusional dengan memperjuangkan Otonomi Khusus penegakan Syariat Islam melalui KPSI.

Ketua Lajnah Tanfidziyah KPSI Sulsel ini sudah tiga kali memimpin kelompok ini. Namun saat ini, ayah enam putra ini lebih banyak bermukim di Jakarta semenjak dipercaya menjadi salah satu wakil dari Dewan Perwakilan Daerah Sulsel. Berikut petikan wawancara wartawan Republika Andi Nuraminah dengan Abdul Aziz Kahar Muzakkar.

Sudah tiga kali Kongres Umat Islam dilaksanakan KPSI. Sebetulnya apa tujuan dan target pelaksanaan kongres tersebut?
Masing-masing kongres yang I, II dan III punya urgensi yang berbeda. Kongres I, waktu itu untuk deklarasi, kesepakatan untuk membuat KPPSI ke penegakan Syariat Islam. Yang I itu kita membuat struktur kelembagaan KPSI di semua kabupaten, dan itu selama satu tahun rampung. Kongres ke II, kita konsolidasi program. Tapi sepanjang dari kongres ke II, kita mengalami ujian-ujian. Di kongres ada bom, lalu Agus Dwikarna ditangkap, kemudian bom Makassar. Jadi sepanjang dari kongres ke II , waktu dan energi kita habis mengurusi isu terorisme. Makanya kita merasa perlu untuk kongres ke III dengan tujuan recovery dan konsolidasi program kembali. Dalam hal ini satu kabupaten di Sulsel yang sudah menelurkan empat perda yang bernuansa syariat Islam, kemudian kita jadikan pilot project. Kita sengaja membuat kongres III di situ sehingga di samping bisa menjelaskan produk-produk perda di Bulukumba, juga peserta dari daearah-daerah bisa menyaksikan langsung.

Setelah kongres berakhir, apa rekomendasinya?
Saat kongres, ada tiga komisi: komisi organisasi, rekomendasi, dan program. Jadi sebetulnya bukan hanya rekomendasi tapi juga program. Di rekomendasi itu ada hal-hal aktual. Misalnya soal pilkada, kita merokemendasikan bahwa KPSI terlibat secara aktif dalam pilkada. KPSI tidak menjadi penonton terhadap prosesi pilkada itu, karena itu adalah hal yang sangat strategis untuk kepentingan politik KPSI.

Salah satu rekomendasi meminta pemerintah dan DPRD untuk memberikan syariat Islam di Sulsel?
Itu memang target KPSI sejak didirikan. Jadi itu akan terus jadi perjuangan politik KPSI karena sejak awal kita menyatakan itu sebagai target politik KPSI. Karena kita melihat bahwa kesempurnaan pelaksanaan syariat Islam di NKRI mesti dengan otonomi khusus. Kita juga melihat bahwa otonomi khusus itu adalah sesuatu yang dimungkinkan dalam UUD 1945.

Apakah keinginan tersebut kira-kira bisa terlaksana?
Kita sadar bahwa itu tidaklah mudah tapi bukan berarti tidak mungkin. Yang jelas koridor konstitusinya ada dan jelas. Sudah ada contoh Aceh, Yogya, Papua. Jadi memang jelas landasan konstitusinya. Persoalannya kemudian kan soal politik. Disinilah KPSI berjuang secara politik untuk mencapai itu. Tapi kita juga tidak menggantungkan sepenuhnya pelaksanaan syariat Islam kepada otonomi khusus itu. Artinya, ada peluang sebagai suatu proses menuju kesitu yang sebetulnya bisa kita lakukan, yaitu melalui otonomi daerah yang berbasis kabupaten. Sehingga kita melihat bahwa proses inilah yang bisa dilaksankan sambil menyiapkan otonomi khusus. Jadi kita bisa melaksanakan syariat Islam pada otonomi daerah.

Seperti yang sudah terjadi di Bulukumba?
Ya. Kita berharap seperti itu. Saya sendiri mencanangkan dalam jangka waktu satu tahun ke depan, seluruh kabupaten di Sulsel dan Sulbar sudah bisa mengikuti jejak Bulukumba dengan menghadirkan tiga atau empat perda tentang syariat Islam.

Apakah kondisi masyarakat Sulsel menurut Anda sudah siap untuk menjalankan Syariat Islam?
Saya sangat optimis. Saya sangat yakin bahwa umat Islam di Sulsel sangat siap melaksanakan Syariat Islam. Dan ini didukung oleh hasil jajak pendapat tahun 2002 yang dilakukan Pemprov Sulsel dimana hasilnya 91,11 persen masyarakat Sulsel setuju dengan pelaksanaan syariat Islam. Jadi itu sudah didukung oleh data empirik. Tapi sebelum itu saya sendiri tidak setuju kalau ada yang mengatakan umat Islam tidak siap melaksanakan syariat Islam.

Pada dasarnya masyarakat kita kan masyarakat yang paternalistik, yang cenederung melihat elitnya saja. Jadi saya cenderung melihat bahwa yang tidak siap justru elit-elit politik. Kalau masyarakat kita, jangankan hukum Islam, hukum Belanda saja yang sangat jauh dari nilai-nilai filosofi, pandangan hidup, norma-norma yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia pada saat itu, ketika Belanda memaksakan hukum Belanda, hukum positif, ternyata diterima juga oleh masyarakat, apalagi kalau hukum Islam yang memang merupakan hukum agama, dan nilai-nilai Islam.

Jadi masalahnya ada pada elit politik?

Saya juga tidak berprasangka jelek terhadap mereka. Saya melihat masih perlu pola pendekatan. Saya tidak melihat elit politik kita juga benar-benar menolak. Saya juga melihat terdapat kelemahan dari KPSI terutama di daerah-daerah yang belum optimal dalam mendekati elit politik. Tapi disamping itu memang ada resistensi dari pihak-pihak yang sangat awam terhadap Islam, atau mungkin sudah terlalu lama terstigma tentang syariat Islam. Itu juga ada. Tapi secara posistif saya ingin mengatakan bahwa KPSI masih perlu melakukan pendekatan kepada elit-elit kekuasaan, dan itu pelan-pelan semakin mencair dalam beberapa waktu terakhir ini.

( )
Republika Online - http://www.republika.co.id

Perda Bernuansa Syariat Membawa Berkah

Senin, 24 Juli 2006 19:59:00
Perda Bernuansa Syariat Membawa Berkah

Jakarta-RoL-- Kalangan non-muslim tak perlu takut dengan peraturan-peraturan daerah bernuansa Islam, kata mantan Bupati Bulukumba Drs H. Andi Partabi Pobokori dalam diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) yang bertajuk "Perda Syariat, Tinjauan Hukum dan Empiris" di Jakarta, Senin.

Praktiknya di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan membuktikan kalangan non-muslim justru bergembira dengan penerapan perda yang bernuansa Islam, katanya. "Mereka malah berterima kasih karena keamanan terjaga dan tidak ada pemalakan lagi," katanya.

Dia menjelaskan, masyarakat Bulukumba tidak semuanya muslim. Jumlah non-muslim sekitar 2,5 persen. Mereka tidak pernah dipaksa untuk melaksanakan Perda yang memang diperuntukkan bagi kalangan muslim. Namun, mereka merasakan dampak pelaksanaan Perda-perda itu. Perda di Bulukumba yaitu kewajiban membaca Alquran, zakat, busana muslimah dan larangan judi dan minuman keras.

Berdasarkan penelitian empiris, Andi mengatakan tingkat kriminalitas menurun drastis sejak Perda-perda itu diberlakukan. "Tawuran pemuda yang biasa terjadi hilang, premanisme terkikis, demikian juga pemalakan kepada para penguasa. Karena mereka kita sadarkan dengan mengaji," kata Andi.

"Sebaliknya pendapatan daerah naik drastis dengan adanya Perda tentang zakat," katanya. Dia menceritakan seorang warga keturunan yang sangat gembira karena adanya Perda larangan judi dan miras. "Suaminya yang biasa mabuk dan judi, tak bisa lagi melakukan aksinya. Dia mengaku keluarganya jadi harmonis," katanya disambut tawa hadirin.

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto menilai perkembangan munculnya Perda bernuansa syariat ini dalam dua perspektif. Pertama, secara perspektif perkembangan, ini adalah perkembangan yang baik karena tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Menurut dia, ini menunjukkan adanya kesadaran. "Ini sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya umat Islam rindu syariah," katanya. Kedua, dari perspektif ideal. Perda-perda yang ada jauh dari ideal karena hanya mengatur masalah individual. "Padahal Islam itu juga mengatur urusan hidup bermasyarakat dan bernegara," katanya. Karena itu, penerapan Perda bernuansa syariat bisa mereduksi pemahaman Islam secara kaffah apabila itu dianggap sudah Islami.

Ismail menyatakan penerapan Perda bernuansa Syariat Islam tak perlu harus menunggu seluruh kaum muslim tahu Islam dulu. "Tak perlu ditanya dulu apakah umat siap atau tidak. Dulu ketika kapitalisme diterapkan, apakah kita pernah ditanya apakah kita sudah siap menjalankan kapitalisme," katanya.

Dia menambahkan penerapan Islam harus langsung. Dia meyakinkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin yakni membawa rahmat bagi siapa saja yang ada di dalamnya baik muslim maupun non-muslim. Lukman Hakiem Syaifuddin, anggota DPR RI dari PPP menyatakan beberapa kalangan masih phobia dengan Islam. Mereka bukan hanya dari kalangan non-muslim tetapi dari kalangan muslim sendiri. "Pekerjaan rumah kita yaitu bagaimana mengampanyekan Islam yang tidak menakutkan," katanya. antara/pur
Perda Bernuansa Syariat Membawa Berkah

Jakarta-RoL-- Kalangan non-muslim tak perlu takut dengan peraturan-peraturan daerah bernuansa Islam, kata mantan Bupati Bulukumba Drs H. Andi Partabi Pobokori dalam diskusi Forum Kajian Sosial Kemasyarakatan (FKSK) yang bertajuk "Perda Syariat, Tinjauan Hukum dan Empiris" di Jakarta, Senin.

Praktiknya di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan membuktikan kalangan non-muslim justru bergembira dengan penerapan perda yang bernuansa Islam, katanya. "Mereka malah berterima kasih karena keamanan terjaga dan tidak ada pemalakan lagi," katanya.

Dia menjelaskan, masyarakat Bulukumba tidak semuanya muslim. Jumlah non-muslim sekitar 2,5 persen. Mereka tidak pernah dipaksa untuk melaksanakan Perda yang memang diperuntukkan bagi kalangan muslim. Namun, mereka merasakan dampak pelaksanaan Perda-perda itu. Perda di Bulukumba yaitu kewajiban membaca Alquran, zakat, busana muslimah dan larangan judi dan minuman keras.

Berdasarkan penelitian empiris, Andi mengatakan tingkat kriminalitas menurun drastis sejak Perda-perda itu diberlakukan. "Tawuran pemuda yang biasa terjadi hilang, premanisme terkikis, demikian juga pemalakan kepada para penguasa. Karena mereka kita sadarkan dengan mengaji," kata Andi.

"Sebaliknya pendapatan daerah naik drastis dengan adanya Perda tentang zakat," katanya. Dia menceritakan seorang warga keturunan yang sangat gembira karena adanya Perda larangan judi dan miras. "Suaminya yang biasa mabuk dan judi, tak bisa lagi melakukan aksinya. Dia mengaku keluarganya jadi harmonis," katanya disambut tawa hadirin.

Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ismail Yusanto menilai perkembangan munculnya Perda bernuansa syariat ini dalam dua perspektif. Pertama, secara perspektif perkembangan, ini adalah perkembangan yang baik karena tidak pernah terbayangkan sebelumnya.

Menurut dia, ini menunjukkan adanya kesadaran. "Ini sebenarnya menunjukkan bahwa sebenarnya umat Islam rindu syariah," katanya. Kedua, dari perspektif ideal. Perda-perda yang ada jauh dari ideal karena hanya mengatur masalah individual. "Padahal Islam itu juga mengatur urusan hidup bermasyarakat dan bernegara," katanya. Karena itu, penerapan Perda bernuansa syariat bisa mereduksi pemahaman Islam secara kaffah apabila itu dianggap sudah Islami.

Ismail menyatakan penerapan Perda bernuansa Syariat Islam tak perlu harus menunggu seluruh kaum muslim tahu Islam dulu. "Tak perlu ditanya dulu apakah umat siap atau tidak. Dulu ketika kapitalisme diterapkan, apakah kita pernah ditanya apakah kita sudah siap menjalankan kapitalisme," katanya.

Dia menambahkan penerapan Islam harus langsung. Dia meyakinkan bahwa Islam adalah rahmatan lil alamin yakni membawa rahmat bagi siapa saja yang ada di dalamnya baik muslim maupun non-muslim. Lukman Hakiem Syaifuddin, anggota DPR RI dari PPP menyatakan beberapa kalangan masih phobia dengan Islam. Mereka bukan hanya dari kalangan non-muslim tetapi dari kalangan muslim sendiri. "Pekerjaan rumah kita yaitu bagaimana mengampanyekan Islam yang tidak menakutkan," katanya. antara/pur








































Republika Online : http://www.republika.co.id

Ma'ruf: MUI Banci yang tak Bisa Dorong Pemda Buat Perda Syariah

Kamis, 18 Januari 2007 18:09:00

Serang-RoL-- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat KH Ma'ruf Amin mengatakan, MUI yang berada di daerah agar bisa mendukung pemerintah daerahnya dalam membuat Peraturan Daerah (Perda) syariah.

"MUI yang tidak bisa mendorong Pemerintah Daerah (Pemda) dalam membuat Perda Syariah adalah MUI banci," kata KH Ma'ruf Amin pada Seminar dan Lokakarya Menyongsong Kongres Umat Islam Banten, yang diselenggarakan MUI Banten, di Serang, Kamis.

Perda syariat itu bisa saja dilakukan di daerah-daerah sepanjang tidak bertentangan dengan landasan kehidupan berbangsa dan bernegara dan harus sesuai dengan konstitusional demokratis, seperti halnya yang dilakukan di beberapa daerah seperti Perda tentang minuman keras dan prostitusi.

Selama ini, kata dia, banyak ancaman-ancaman dari orang-orang yang mempunyai paham sekularis, liberalis dan nasional fundamentalis agar semua-hukum syariah tidak perlu diaplikasikan dalam kerangka hukum formal kenegaraan, karena menurut mereka cukup nilai-nilai saja sebagai bentuk kemajemukan.

Hambatan-hambatan tersebut, menurut Ma'ruf Amin, secara nasional MUI pusat terus berupaya untuk menanganinya. Adapun upaya-upaya MUI yang dilakukan selama ini antara lain menyatukan kerangka berpikir (Manhajul Fikri) dan pemahaman agama, tidak boleh ada satu kelompok manapun yang merasa dirinya paling baik dan paling benar. Langkah lain yang dilakukan MUI, kata dia, adalah dengan upaya menyatukan gerak, atau metode gerakan (Manhajul harokah) supaya ada kesamaan langkah umat Islam dalam melakukan suatu gerakan.

Seminar dan Loka karya yang diselenggarakan oleh MUI Provinsi Banten ini dilaksanakan dalam rangka 'Menyongsong Kongres Umat Islam Banten' dan diikuti oleh tokoh ulama dan pimpinan Ormas Islam di Banten. Selain KH Ma'ruf Amin, tampil juga sebagai nara sumber Ketua Majelis Ulama Indonesia Provinsi Banten Prof DR H Suparman Usman .

Suparman Usman menyampaikan, beberapa langkah yang harus ditempuh untuk melaksanakan penerapan syariat Islam khususnya di Banten, diantaranya harus melakukan persiapan yang matang seperti melalui jalur konstitusional seperti di Aceh atau membuat konsep materi hukum Islam melalui lembaga kajian hukum Islam. antara/mim


Republika Online : http://www.republika.co.id

Demi Keutuhan Bangsa

Selasa, 11 Juli 2006

Ahmad Syafii Maarif

Ternyata apa yang dikenal dengan konsep integrasi nasional masih labil. Proses nation and character building sama sekali jauh dari selesai. Kita semua, terutama para pemimpin formal, sejak proklamasi telah lengah dan lalai dalam merawat dan memelihara rasa kekitaan anak bangsa ini karena berasumsi bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sudah mapan, kokoh, dan pasti tahan banting. Perkiraan ini jelas ahistoris, tidak berpijak atas fakta sejarah.

Mengapa? Alasannya sangat gamblang. Indonesia sebagai bangsa, bukan kumpulan suku bangsa, baru muncul awal 1920-an. Sebab itu, pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia sudah muncul sejak zaman Kerajaan Kutai yang Hindu awal abad ke-5 atau sejak kerajaan maritim Sriwijaya yang Budis akhir abad ke-7, jelas mengada-ada. Tetapi, bahwa bekas kedua kerajaan itu kemudian menjadi bagian Indonesia modern, sepenuhnya didukung fakta sejarah.

Sebagai bangsa muda, kita harus ekstra hati-hati merawat Indonesia ini. Kecerobohan sentralistik selama empat dasawarsa yang lalu jangan diulang lagi pada masa depan, sebab risikonya adalah bahwa doktrin bhinneka tunggal ika bisa berantakan, dan bangsa muda ini dapat berkeping-keping, sesuatu yang harus dicegah. Kegagalan kita dalam upaya pencegahan proses disintegrasi ini pastilah akan berujung dengan malapetaka: musnahnya Indonesia dari peta sejarah. Suatu tragedi bukan, jika itu terjadi?

Sebab itu, pendekatan yang serba politik-legalistik dalam memperjuangkan suatu kehendak atau aspirasi politik hendaklah mempertimbangkan kondisi bangsa yang masih muda dan rentan ini. Keinginanan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali. Bukankah perjuangan antimaksiat pada hakikatnya adalah perjuangan semua golongan? Dan itu semua dapat dilakukan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama.

Selain itu, perlu pula dipertimbangkan kenyataan yang berlaku selama ini. Berapa banyak undang-undang yang bertujuan melawan maksiat tetapi kandas dalam proses eksekusinya karena sebagian aparat penegak hukum merupakan bagian dari dunia gelap itu. Sebutlah misalnya masalah perjudian dan pelacuran. Sudah menjadi rahasia umum di mana-mana bahwa tempat-tempat maksiat itu pasti ada yang melindungi. Lingkaran setan semacam inilah yang harus dikaji betul secara sosiologis dengan kepala dingin melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang. Cara-cara emosional, demo dengan teriakan 'Allahu Akbar' segala, apalagi ditunggangi oleh kepentingan politik jangka pendek, pastilah akan bermuara pada kegagalan yang melelahkan.

Ujungnya Perda Syariah akan menjadi bumerang. Jika kenyataan ini berlaku, dari sisi dakwah, sungguh merupakan malapetaka. Orang akan mencibir: ternyata produk yang serba syariah itu tidak membuahkan kenyamanan dan ketenteraman. Masalah ini jauh dari sederhana. Maka, otak-otak sederhana harus mau bertanya kepada ahl al-dzikr (para pakar) dari berbagai latar keilmuan melalui pendekatan interdisiplin. Tengoklah ia dari berbagai sudut pandang. Libatkan para pakar yang berkualitas dari UIN/IAIN di samping pakar dari perguruan tinggi umum. Hendaklah disadari benar bahwa proyek legalisasi syariah adalah sesuatu yang sangat serius. Saya tidak mau menyaksikan sebuah Islam yang gagal memperbaiki akhlak bangsa yang sedang rapuh ini, gara-gara kedunguan kita.

Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu? Bukankah kegagalan proyek negara Islam Pakistan yang sarat dengan korupsi itu adalah karena kegagalan ulama konservatif untuk berurusan dengan perkembangan zaman yang bergulir tanpa henti? Mereka mengharamkan kaum perempuan jadi pemimpin, sedangkan kaum lelakinya juga tidak becus mendaratkan pesan Alquran berupa rahmat bagi seluruh alam pada proyek negara Islam yang semula didukung oleh seluruh energi bangsa baru itu.

Dalam perspektif di atas, adalah sikap gegabah yang sia-sia bila orang dengan gampang menuduh orang lain sekuler jika tidak mendukung gagasan negara Islam, seperti yang kita alami tahun 1950-an. Pengalaman Indonesia menjelang dan pascaproklamasi tentang masalah dasar negara cukup kaya untuk kita buka kembali. Janganlah energi bangsa yang sudah hampir habis terkuras ini digunakan dengan serampangan, semata-mata karena kebahlulan kita dalam membaca masyarakat Indonesia yang plural, heterogen, dan rentan ini. "Maka, ambillah pelajaran (secara sunguh-sungguh), wahai kamu yang diberi penglihatan tajam," seru Alquran dalam surat al-Hasyr (59): 2.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Wapres: Banyak Salah Pengertian Tentang Perda Syariat

Minggu, 24 September 2006 16:25:00

Washington DC-RoL--Wakil Presiden Jusuf Kalla mengaku banyak ditanya sejumlah kalangan, termasuk oleh wartawan asing, soal peraturan-peraturan daerah yang dianggap bernuansa Islam sehingga sering disebut sebagai perda syariah.

"Banyak salah pengertian tentang Islam, khususnya perda-perda syariah yang bernuansa Islam. Ini perlu dijelaskan dan diluruskan," katanya dalam pertemuan dengan masyarakat Indonesia di KBRI Washington DC, Sabtu malam (Ahad pagi WIB).

Pernyataan Wapres itu menjawab pertanyaan seorang warga mengenai perkembangan di Tanah Air khususnya tentang eksekusi kasus Tibo Cs dan otonomi daerah. Pertemuan dan dialog dipandu Dubes RI untuk Washington DC, Sudjadnan Parnohadingrat.

Menurut Wapres, memang ada sejumlah perda di beberapa propinsi, kota dan kabupaten, yang melarang perdagangan alkohol.

"Tahun 1920 di Amerika sudah ada larangan alkohol. Apa Amerika negara Islam," Tanya Wapres.

Lalu ada perda yang melarang pelacuran, karena memang prostitusi itu merupakan tindak mpidana umum dan dilarang oleh negara dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

"Ada di Aceh orang dicambuk, lalu dituduh itu pelaksanaan syariah Islam. Tapi di Singapura juga ada orang Amerika dicambuk. Apa itu Singapura negara Islam? Hukuman cambuk itu suatu cara saja," katanya.

Pada dasarnya, orang shalat, naik haji, kawin, semua pelaksanaannya didukung negara. Semua itu syariah dan mendapat dukungan negara. Ada juga yang mempersoalkan hukuman rajam, padahal belum tentu itu terjadi s 10 tahun sekali.

"Hukum Islam itu dulu cash and carry, karena waktu itu tidak ada penjara. Sekarang ada penjara, jadi cara penghukuman bisa berubah,: katanya.

Begitu juga bila ada orang yang mempersoalkan sebuah kabupaten yang pada hari Jumat mewajibkan warganya untuk memakai baju gamis atau baju koko. Itu pun dianggap sebagai pelaksanaan syariat Islam.

"Di Padang, baju semacam itu disebut gunting Cina atau baju Cina. Pernah tidak lihat Ramos Horta (PM Timor Leste, red) , hampir tiap hari dia pakai baju koko. Apa Ramos Horta Muslim? Pendeta juga pakai baju koko, Cuma sedikit beda warnanya. Jadi itu tidak ada masalah. Suster suster di biara, kan pakai jilbab juga. Kok dipersoalkan," katanya. Begitu juga kasus eksekusi Tibo Cs. Jangan dipersoalkan sebagai kasus agama atau etnis, melainkan tindak kriminal biasa.

"Soal Tibo itu cara kita untuk menegakkan hukum. Kalau sudah divonis dan tidak ada jalan hukum lain, ya sudah dilaksanakan. Eksekusi ini betul-betul soal hukum, bukan soal agama dan suku," demikian Wapres Jusuf Kalla. antara/pur




Republika Online : http://www.republika.co.id

Biar Polisi yang melakukan sweeping

Rabu, 20 September 2006

Tiga tokoh bicara senada tentang aksi penyisiran (sweeping) tempat maksiat oleh organisasi kemasyarakatan (ormas). Mereka meminta ormas-ormas tidak melakukan aksi tersebut dan menyerahkan penanganan tempat maksiat kepada polisi.

Ketiga tokoh itu--Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid; Menteri Agama, Maftuh Basyuni; dan Kapolda Metro Jaya, Irjen Adang Firman--meminta masyarakat menahan diri menjelang Ramadhan ini. Mereka berharap umat Islam memusatkan perhatian pada kekhusyukan beribadah dan tak perlu ''repot-repot'' menangani hal yang menjadi tanggung jawab polisi.

''Biarkan aparat berwenang yang melakukan sweeping,'' kata Ketua MPR kemarin. ''Kalau ada pengusaha hiburan yang melanggar, laporkan ke polisi. Pasti akan ditangani,'' ujar Kapolda Metro Jaya.

Ada nada kritik, juga introspeksi dan janji, pada pernyataan para tokoh itu. Sweeping, bagaimanapun, selama ini berakar pada ketidakcukupan tindakan atas berbagai pelanggaran hukum. Aksi razia terhadap rumah-rumah pelacuran, misalnya, adalah buah dari kejengkelan masyarakat atas kekebalan para pelanggar hukum itu.

Wajar, menjelang Ramadhan, muncul harapan besar dari masyarakat agar mereka dapat lepas dari gangguan semacam itu. Ramadhan adalah bulan mulia saat umat Islam mendapatkan waktu terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah. Mereka jauh-jauh hari sudah meminta agar aparat bersegera membersihkan tindakan maksiat. Mereka tak mau Ramadhan dikotori oleh orang-orang kebal hukum--yang menurut Menteri Agama merasa dilindungi sehingga seenaknya sendiri.

Masyarakat membutuhkan fakta tentang berjalannya hukum. Kalau kita bicara soal ''perda syariah'', misalnya, itu sebenarnya adalah suara masyarakat daerah yang menginginkan penegakan norma. KUHP memang sudah mengatur hal-hal semacam minuman keras dan prostitusi, namun yang kemudian masyarakat lihat adalah kelemahan polisi dalam penegakan hukumnya. Muncul kecurigaan bahwa aparat bisa dibeli, lalu masyarakat mengambil jalan pintas penegakan hukum dengan melakukan penghakiman sendiri.

Kita tak menginginkan hal itu terjadi menjelang dan saat Ramadhan mendatang. Tapi, kita pun tetap harus mengingatkan aparat berwenang untuk menegakkan aturan. Di Jakarta, misalnya, jelas ada Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan yang mengatur jam operasi tempat hiburan selama Ramadhan.

Bila aturan semacam ini ditegakkan, tentu takkan muncul kemarahan--yang berujung sweeping karena diskotek buka dan bising saat umat Islam menjalankan shalat Tarawih. Takkan muncul razia oleh ormas di kafe-kafe gara-gara ada orang yang mabuk pada saat umat Islam sedang berdzikir dan beriktikaf di masjid-masjid. Takkan ada kejengkelan karena televisi menyiarkan program SMS judi pada saat umat Islam bersiap untuk sahur.

Intinya ada pada toleransi--dan hal ini menjadi perhatian pokok ketiga tokoh. Semua pihak, Muslim atau bukan, berpuasa atau tidak, sama-sama menghormati bulan suci ini, sama-sama menahan diri dan bertenggang rasa. Sisi lainnya adalah ketegasan aparat, terutama polisi.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Luruskan Istilah Perda Syariat


Jumat, 16 Juni 2006

Ke-56 anggota DPR mendorong presiden bertindak otoriter.

JAKARTA -- Ketua DPR, Agung Laksono, menilai penggunaan istilah perda syariat Islam untuk menamai sejumlah peraturan daerah (perda) perlu diluruskan. Sebab perda prostitusi seperti yang diterapkan di Tangerang, kata Agung, belum tentu tepat disebut perda syariat Islam.

Menurut Agung, untuk mengetahui perda syariat Islam dapat dilakukan lewat pengkajian, bukan politisasi. Agung mengingatkan semua pihak tidak terbawa untuk menilai bahwa sekian banyak perda merupakan perda syariat Islam. ''Lihat dulu,'' katanya di gedung DPR/MPR, Kamis (14/6).

Soal adanya permintaan 56 dari 550 anggota DPR untuk mencabut yang mereka sebut perda syariat Islam, Agung mengatakan hal itu masih akan dibicarakan dengan pimpinan DPR dan Badan Legislasi DPR. Dia berharap ditemukan solusi terbaik untuk menyikapi persoalan itu.

Agung mengatakan setiap peraturan, termasuk perda, dibuat mengikuti prosedur legislasi. Agung juga mengingatkan bahwa sekalipun bukan negara agama, Indonesia juga bukan negara sekuler. Dia menunjuk falsafah hidup bangsa Indonesia yang salah satunya Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pendapat senada dikemukakan Ketua MUI Sumatra Barat, Nasroen Haroen. Di Sumatra Barat, kata dia, sampai saat ini tak ada perda syariat. Yang disebut-sebut perda syariat oleh sebagian orang, kata dia, tak lain adalah perda tentang pemberantasan penyakit masyarakat (pekat).

''Yang ada perda pekat yang dasarnya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,'' kata Nasroen Haroen kepada Republika, di Padang, kemarin. Dia meminta Sumbar tidak diusik karena menerapkan perda pekat, karena berda filosofinya dengan syariat.

Anggota Komisi III DPR, Patrialis Akbar, mengatakan ditilik dari sisi aturan perundangan, sosiologis, maupun demokrasi, tak ada masalah dengan lahirnya perda-perda yang kemudian disebut perda syariat itu. Apalagi perda-perda itupun bermanfaat memberantas perbuatan maksiat.

Patrialis menduga penolakan lebih disebabkan sentimen belaka. Kemungkinan lainnya, kata anggota Fraksi PAN, ini, para penolak adalah orang-orang yang sepak terjang kemaksiatannya menjadi terbatasi.

Ketua Fraksi PPP, Endin AJ Soefihara, mengatakan permintaan 56 anggota DPR justru mencederai demokrasi dan melawan konstitusi. Sebab perda-perda itu dibuat dengan proses demokratis. Apalagi, kata dia, konstitusi menyatakan ''Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''.

Endin menilai ke-56 orang anggota DPR yang menolak perda dan menyurati presiden untuk membatalkan perda, sedang mendorong presiden bertindak otoriter.

Efektif
Sementara itu, tiga daerah yang banyak menerapkan perda-perda antimaksiat itu seperti Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat, bereaksi keras atas sikap 56 anggota DPR. Sebab perda-perda yang dibuat efektif menekan kriminalitas dan mendokrak PAD.

Gubernur Sulsel, HM Amin Syam, mengatakan bila perda-perda yang bersumber dari nilai-nilai agama harus dibatalkan, aturan yang lebih tinggi juga harus dibatalkan. ''Di negara kita kan ada UU Zakat, UU haji, semua itu bernilai syariat Islam,'' katanya di Makassar, kemarin. Amin Syam mengatakan perda-perda itu sebenarnya tak pantas dipermasalahkan. Sebab yang dibuat adalah perda tentang baca tulis Alquran, larangan peredaran minuman keras, busana muslim, dan zakat. Semua itu berguna untuk pembentukan moral dan akhlak bangsa.

Daud Kahal, Kepala Infokom Kabupaten Bulukumba, Sulsel, mengatakan sejak minuman keras diperdakan, angka kriminalitas di daerah turun secara berarti. Sebab sejak perda terbit, jumlah orang mabuk menurun. ''Perbuatan kriminal kebanyakan dilakukan orang mabuk,'' jelasnya.

Perda zakat, kata Daud, juga sangat menolong daerah itu. Sebab partisipasi masyarakat membayar zakat meninggi dan membuat pembiayaan sarana pendidikan dan peribadatan makin pesat. Di beberapa tempat, kata Daud, penerimaan dari zakat lebih tinggi dibanding pajak.

Wali Kota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin, mengatakan langkah 56 anggota DPR tak akan menyurutkan tekadnya untuk mengajukan perda tentang miras dan zakat. Dia melihat dua aturan itu punya potensi berkontribusi besar untuk pembangunan wilayah dan peningkatan keamanan.

Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, mengatakan butuh kajian mendalam untuk merevisi sebuah perda. ''Mengubah sebuah perda tidak semudah yang dibayangkan,'' katanya di Bandung, kemarin. Ketua DPRD Padang, Panji Alam, malah heran mengapa anggota DPR mempersoalkan perda antimaksiat, wajib baca Alquran, dan lain-lain yang tak dipermasalahkan masyarakat daerah. ''Kami tidak main paksa. Kami belajar mana yang baik, mana yang buruk,'' tandasnya.

Koordinator Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, pemerintah pusat tak bisa sewenang-wenang mencabut perda, hanya karena perda itu bernuansa islami. Apalagi bila perda itu tak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi.

(dwo/ina/rul/san )
Republika Online : http://www.republika.co.id