Wednesday, January 31, 2007

Republika Online : http://www.republika.co.id

Kamis, 06 Juli 2006

'Perda Agama' Berlaku di Bali

Perda baca-tulis Alquran bagian dari pendidikan.

DENPASAR--Jika peraturan daerah bernuansa syariat Islam kini gencar dipersoalkan, perda bernuansa agama Hindu sebenarnya sudah diberlakukan di Bali sejak 1986. Lewat Perda Desa Adat itu, pemerintah pusat pun menjadikan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Caka sebagai hari libur nasional.

''Implikasi Perda itu sangat luas, sampai akhirnya lahir Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang Desa Pakraman,'' kata Ketua DPW PPP Bali, Muhammad Ali Sahib, menjawab Republika di Denpasar, Rabu (5/7).

Perda Desa Pakraman yang lahir tahun 2001, lanjut Ali Sahib, direvisi lewat Perda Nomor 3/2003. Kemudian menjadi dasar lahirnya SK Gubernur Bali Nomor 33/2003 tentang Tata Cara Pembangunan Tempat Ibadah di Bali. ''Perda Desa Pakraman mengatur peranan desa tersebut beserta dengan organ-organnya, seperti keberadaan pecalang atau polisi adat Bali,'' ungkap Ali.

Lahirnya Perda Desa Pakraman sempat dibicarakan kalangan umat non-Hindu, karena dirasakan berbau diskriminatif. Namun, tetap disahkan dan kini sudah diberlakukan di Bali.

''Perda itu sangat berat bagi kami (umat non-Hindu), karena dalam penerapan di lapangan, sering kali berlebihan. Pemerintah di Bali pun merasa harus tunduk pada perda tersebut,'' kata Ali. Namun, ia termasuk umat minoritas Muslim yang harus berbesar hati menerima aspirasi mayoritas penganut Hindu.

Dirjen Bimas Islam Depag, Nazaruddin Umar, menjelaskan, masalah keagamaan memang termasuk satu dari enam hal yang diserahkan kepada pusat sesuai UU Nomor 32/2004. Namun hal ini tidak ada kaitannya dengan pembuatan perda-perda bernuansa syariah yang isinya mengatur kepentingan masyarakat setempat, seperti yang dikhawatirkan sejumlah anggota DPR. ''Masalah agama yang diserahkan ke pusat antara lain jika muncul aliran sesat di suatu daerah. Selain itu masalah Kantor Urusan Agama (KUA) atau pelaksanaan dari UU Perkawinan (Nomor 1/1974, red). Semua itu diserahkan ke pusat,'' papar Nazaruddin Umar kepada Republika, kemarin.

Sedangkan munculnya perda-perda yang bersumber dari agama, lanjut Nazaruddin, pemerintah tidak berhak mengatur selama tidak bertentangan dengan UUD 1945, Pancasila, dan NKRI. Lagi pula, hingga saat ini tidak pernah lahir bernama Perda Syariat Islam (kecuali di Aceh).

''Apakah salah jika ada pemda dan DPRD dalam peraturan daerahnya menerapkan napas-napas keagamaan yang hidup di masyarakat?'' tanya Nazaruddin. Misalkan, daerah itu menghendaki masyarakatnya bebas buta aksara dan bisa membaca Alquran dengan baik. Pemda juga menginginkan agar masyarakat mengenakan pakaian yang sopan.

''Masa membuat aturan seperti itu tidak boleh. Makanya, saya lihat masalah ini terlalu didramatisir,'' tegas Nazarudin. Ia mengingatkan tentang pendapat tokoh Nasrani Th Sumarthana di acara diskusi PBNU beberapa waktu lalu. ''Kenapa tidak mencoba menggunakan hukum syariat Islam, siapa tahu dengan hukum tersebut bisa menjerat para koruptor (secara efektif),'' katanya.

Sekjen Partai Bulan Bintang (PBB), Sahar L Hassan, menegaskan, perda-perda bernuansa agama lebih untuk mengembangkan norma-norma yang berkembang. ''Di Kabupaten Bulukumba, misalnya, anak-anak sejak dulu sudah biasa belajar baca-tulis Alquran. Sehingga, perda yang mengharuskan warganya melakukan hal itu, harus dilihat dari edukasi (pendidikan),'' katanya.

(aas/vie/hri )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: