Wednesday, January 31, 2007

Gelora Syariah Mengepung Kota

Gelora Syariah Mengepung Kota

JEJAK regulasi bernuansa Islami di Sulawesi Selatan seolah mengikuti perjalanan karier Patabai Pabokori, 54 tahun. Ketika ia kini menjabat sebagai Kepala Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan, DPRD mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Pendidikan Al-Quran, 18 April lalu. Patabai bangga. "Inilah satu-satunya perda tentang pendidikan," katanya. Wakil Gubernur Syahrul Yasin Limpo pun berharap, perda ini dapat mempercepat penurunan buta aksara Al-Quran.

Sebelum itu, saat menjabat sebagai Bupati Bulukumba untuk dua periode (1995-2005), Patabai menggolkan empat perda berspirit syariat Islam. Perda Minuman Keras; Zakat, Infak, dan Sedekah; Baca-Tulis Al-Quran bagi Siswa dan Calon Pengantin; serta Pakaian Muslim/Muslimah. Keempatnya lahir pada 2003. Kabupaten ini pun populer sebagai pionir penerapan syariat Islam di Sulawesi Selatan.

Eksperimen syariah di Bulukumba bahkan menembus pemerintahan terendah: desa. Sebanyak 12 desa dijadikan areal percontohan penerapan syariat Islam sejak awal 2005. Sedemikian kondangnya nama Bulukumba di mata pendukung syariah, sampai Kongres Umat Islam Sulawesi Selatan III, Maret 2005, pun digelar di sana. Kongres ini kental warna syariahnya. Ada rekomendasi agar umat Islam memilih kepala daerah yang punya komitmen pada syariat Islam.

Sepeninggal Patabai, implementasi syariat Islam di desa-desa pilot project itu kian pesat. Malah melampaui perda kabupaten dan provinsi. Karena desa itu berani menerapkan pidana hudud. Desa Padang, Kecamatan Gantarang, misalnya, menetapkan "peraturan desa". Isinya, aturan tentang delik perzinaan (cambuk 100 kali), qadzaf alias menuduh zina (cambuk 80 kali atau dilimpahkan ke polisi), minuman keras (cambuk 40 kali), dan pidana qishash (balasan setimpal) bagi tindak penganiayaan.

Kabupaten di Sulawesi Selatan selain Bulukumba juga tak mau ketinggalan. Pangkep, Gowa, dan Wajo seolah berlomba membuat perda syariah. Tapi dinamika ini bukan khas Sulawesi Selatan, yang pada 2002 pernah menuntut otonomi khusus penerapan syariat Islam. Suara serupa berkembang di Provinsi Banten dan Riau. Juga beberapa kabupaten/kota, semisal, Cianjur, Tasikmalaya, Pamekasan, Mataram, dan Dompu.

Gelora bersyariat-ria di berbagai daerah ini sudah bergulir lima tahunan terakhir. Tepatnya sejak otonomi daerah ditetapkan. Tapi akselerasi geliat itu terasa kian melesat belakangan ini, di tengah ingar-bingar polemik nasional tentang Rancangan Undang-Undang Anti-Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Meski RUU ini tak eksplisit mengusung idiom syariah, polemik yang mengitarinya diwarnai sentimen pro-kontra syariat Islam. Sampai ada tudingan Arabisasi dan Islamisasi di balik RUU itu.

Belum tuntas berdebat RUU APP, publik tergiring membincangkan ihwal Perda Pelacuran di Kota Tangerang. Lalu muncul kabar tentang Raperda Anti-Maksiat di Kota Depok. Tak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta juga menyiapkan Raperda Anti-Maksiat untuk DKI Jakarta.

Silang pendapat pun makin keras. Berbagai simpul pengusung syariat seolah berkejaran diburu tenggat. Perkembangan ini seperti mengamini survei nasional Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, tentang tingginya dukungan orang pada tawaran penerapan syariat Islam. Dari 2001 hingga 2004, trennya naik. Dukungannya di atas 70%.

Di lapangan, dukungan itu ditandai dengan maraknya simpul pejuang syariat. Ada Majelis Mujahidin yang memang dibentuk untuk penegakan syariat Islam. Mereka menyusun draf revisi KUHP berdasarkan syariat. Ada Komite Persiapan Syariat Islam Banten, Gerakan Penegak Syariat Islam Yogyakarta, Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syariat Islam Garut, Badan Pengkajian dan Pengembangan Syariat Islam Sukabumi, Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariat Islam Pamekasan di Madura, dan Komite Penegakan Syariat Islam di Sulawesi Selatan.

Dalam pada itu, kampanye khilafah Islamiyah (imperium Islam trans-nasional) terus-menerus disuarakan kelompok Hizbut Tahrir. Lewat berbagai aksi demonstrasi, spanduk-spanduk, ceramah, pengajian, diskusi, buku-buku, majalah, dan sebagainya. Mereka menempatkan khilafah sebagai alternatif kegagalan sistem politik (demokrasi) dan ekonomi (kapitalisme) yang tengah berlangsung.

Meski berbagai simpul itu memiliki spektrum agenda berbeda-beda, kesan yang berkembang, agenda penerapan syariat satu paket dengan kampanye khilafah dan negara Islam. Berbagai kalangan di kawasan minoritas muslim, seperti Sulawesi Utara, Bali, Papua, dan Nusa Tenggara Timur (NTT), umumnya risau melihat semarak syariat. Ada kekhawatiran pada keutuhan nasional. Agama, bagi mereka, tidak bisa masuk dalam hukum negara, termasuk dalam undang-undang.

"Agama apa saja, Islam, Kristen, Buddha, dan Hindu, tidak bisa memasukkan syariatnya dalam undang-undang," kata Victor Mailangkay, anggota DPRD Sulawesi Utara. "Karena kita telah berkomitmen dalam bingkai NKRI (negara kesatuan Republik Indonesia) yang berdasar Pancasila dan UUD 1945," ujar Sekretaris Partai Golkar Sulawesi Utara itu kepada Jurichal Antameng dari Gatra.

Ancaman pada integrasi pun dikhawatirkan Ince Sayuna, anggota DPRD NTT. "Ujung-ujungnya merupakan ancaman disintegrasi bangsa," kata Ince Sayuna kepada Antonius Un Taolin dari Gatra. "Jika syariat Islam berhasil diundangkan, kami warga NTT tidak tertutup kemungkinan akan memisahkan diri dari NKRI. Karena kami hanya satu prinsip, Pancasila harga mati landasan hukum NKRI," Ince menambahkan.

Wakil Gubernur Bali, I.G.N. Kesuma Kelakan, berpandangan bahwa semua peraturan harus dibuat lintas agama dan lintas suku. "Di Bali, kalau ada perda yang sangat Hindu, saya juga akan tentang," katanya kepada koresponden Gatra Komang Erviani. Kelakan menyerukan kembali pada komitmen awal, UUD 1945. Kalau ada yang ingin memberlakukan syariat Islam bagi Indonesia, menurut Kelakan, "Mereka berarti tidak paham UUD 45."

Anggota DPRD Papua, Yance Kayame, menilai gerakan penerapan syariat Islam tak sampai mengancam integrasi bangsa. "Tapi bisa mengancam, menyulut konflik horizontal," katanya kepada Gatot Ariwibowo dari Gatra. "Memang tidak akan sampai pada disintegrasi bangsa, namun syariat Islam itu kan ideologi. Sangat memicu konflik horizontal bila diterapkan di daerah yang Islamnya minoritas."

Sekjen Partai Damai Sejahtera, Denny Tewu, juga berpandangan bahwa ajaran spesifik agama, seperti kewajiban berjilbab bagi muslimah atau keharusan jadi pengikut Kristus, tak perlu masuk undang-undang atau perda. Denny tidak menolak bila nilai agama masuk perda atau undang-undang. "Tapi nilai agama yang universal," ujarnya. Misalnya, semua agama mengajarkan kebaikan, saling mengasihi, dan bekerja sama.

Arskal Salim, kandidat doktor hukum Islam di Universitas Melbourne, Australia, pernah menyusun lima tingkat penerapan hukum Islam, sebelum sampai pada agenda negara Islam. Pertama, hukum kekeluargaan (perkawinan, perceraian, dan kewarisan). Kedua, masalah ekonomi dan keuangan, seperti perbankan Islam dan zakat.

Ketiga, praktek ritual keagamaan, seperti kewajiban jilbab, larangan alkohol dan judi. Keempat, hukum pidana Islam, terutama penerapan sanksi model cambuk, potong tangan, dan rajam. Kelima, penggunaan Islam sebagai dasar negara.

Lima level itu disusun secara hierarkis, mulai terendah sampai tertinggi. "Tuntutan penerapan lima level hukum Islam mengimplikasikan pembentukan negara Islam," kata Arskal. "Makin tinggi level tuntutan, makin dekat menuju negara Islam," dosen Fakultas Syariah UIN Jakarta itu menambahkan. "Sebaliknya, semakin rendah level tuntutannya, semakin rendah tingkat komitmen pada negara Islam."

Bila dicermati, unsur level pertama sampai keempat saat ini sudah ada yang terserap dalam legislasi nasional. Hukum kekeluargaan, sejak 1974, terserap dalam Undang-Undang Perkawinan. Perbankan Islam mendapat payung hukum sejak 1992. Ritual agama seperti haji, zakat, wakaf, dan busana Islami sudah masuk undang-undang dan perda. Sedangkan pidana Islam telah diadopsi dalam beberapa qanun di Aceh dan peraturan desa di Bulukumba.

Hanya tingkat kelima yang gagal pada sidang Konstituante 1955. Apakah ini berarti pewujudan negara Islam tinggal selangkah lagi? Arskal menilai belum. "Saya belum melihat semua perda itu sudah sampai level keempat," katanya. Prinsip hudud dan qishash dalam Quran-hadis belum dipraktekkan. Mestinya, pencuri dipotong tangan, pezina dicambuk 100 kali, atau pemabuk dicambuk 80 kali.

Kalau pezina hanya didenda atau dipenjara, itu bukan pidana hudud, melainkan ta`zir (sanksinya dibikin penguasa untuk tujuan pembinaan). Pidana hudud bisa turun jadi ta`zir bila syarat jatuhnya sanksi hudud tak terpenuhi. Misalnya, orang berzina tapi tak disaksikan empat saksi. "Selama hudud dan qishash belum terjelma dalam perda, tapi masih lebih banyak berupa ta`zir, maka itu masih transisi dari level ketiga ke level keempat," ujarnya. Jadi, negara Islam masih cukup jauh.

Dua ormas Islam terbesar, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, tetap setia dengan Indonesia sebagai negara-bangsa. Partai Keadilan Sejahtera dan Hizbut Tahrir juga menyatakan hal serupa. Besarnya dukungan pada syariat Islam tampaknya tidak berbanding lurus dengan sokongan pada negara Islam. Indonesia saat ini baru marak sebagai "negeri syariah", bukan "negara syariah".

Asrori S. Karni dan Bernadetta Febriana, dan Anthony (Makassar)
[Laporan Utama, Gatra Edisi 25 Beredar Senin, 1 Mei 2006]
Gatra.Com

0 Comments: