Wednesday, January 31, 2007

Ketakutan yang Berlebihan

Sabtu, 17 Juni 2006

Sebagian kita mungkin mengernyitkan dahi tanda "tak habis pikir". Atau cuma tersenyum kecut. Itu ketika sebanyak 56 anggota DPR di Senayan mengirimkan surat kepada Ketua DPR untuk segera menyurati Presiden agar memperbaiki dan mencabut semua peraturan daerah (perda) yang bernuansa syariat Islam.

Wajar bila kita tak habis pikir dengan maunya ke-56 wakil rakyat tersebut. Namun, sebagai anggota masyarakat yang tengah berada dalam era konsolidasi demokrasi, kita wajib menghargai mereka. Bukankah kemerdekaan berpendapat merupakan turunan dari tabiat demokrasi dan dijamin oleh UUD 1945 dasar negara kita. Itulah konsekuensi menegakkan demokrasi. Kita harus saling menghargai pendapat orang lain.

Sebetulnya tidak ada yang salah dan harus dipermasalahkan dengan perda-perda tersebut. Selain memang bukan sebagai perda syariat Islam, perda-perda tersebut sudah melalui prosedur legislasi yang benar di daerah-daerah yang menerapkannya. Tidak ada dalam perda tersebut pemaksaan keyakinan Islam kepada pemeluk agama lain.

Perda-perda tersebut memang bersumber dari hukum dan syariat Islam. Tetapi, lebih pada masalah-masalah norma dan upaya memberangus kemaksiatan. Bukan pada soal keyakinan agamanya. Untuk sesuatu yang luhur dan semua agama di luar Islam juga mengajari kebaikan tersebut, apa itu salah? Semua agama juga mengajarkan larangan berbuat maksiat. Dengan kata lain, perda-perda tersebut dibuat dalam kerangka ketertiban umum.

Kalau perda-perda yang melarang kemaksiatan itu dipermasalahkan, apakah tidak salah bila akal sehat kita "tak habis pikir" jadinya. Apalagi akibat penerapan perda-perda tersebut juga positif. Di tiga daerah yakni Sumbar, Sulsel, dan Jabar, perda-perda anti-kemaksiatan itu mampu menurunkan jumlah kejahatan serta tindak kemaksiatan itu sendiri.

Terlalu sempit dan picik kerangka berpikir kita bila mengaitkan perda-perda yang bersumber dari agama Islam akan mengganggu keutuhan NKRI. Apalagi bila dikait-kaitkan dengan isu negeri kita yang plural. Soal NKRI, bagi umat Islam sendiri --sebagaimana difatwakan MUI-- adalah harga mati dan tak bisa ditawar-tawar lagi. Masalah pluralisme, umat Islam dengan tokoh-tokohnya sejak zaman prakemerdekaan hingga kini juga sudah lebih memahaminya. Ini juga tak perlu diragukan lagi.

Janganlah kita memelihara sikap ketakutan yang berlebihan dengan lahirnya perda-perda yang bersumber dari syariat agama Islam. Apalagi "Bapak-bapak Pendiri" bangsa ini telah sepakat, sebagaimana tercantum dalam Pancasila, bahwa negara ini bukanlah negara sekuler. Tapi, sebaliknya, yakni negara yang berdasarkan "Ketuhanan Yang Maha Esa". Itu artinya jelas, tak ada masalah dengan peraturan-peraturan ataupun undang-undang yang bersumber dari agama. Terlebih bila perda atau UU yang dibuat memang mengatur norma-norma dalam khidupan masyarakat, bukan soal pemaksaan keyakinan bagi orang yang sudah beragama.

Akan halnya ajaran Islam dijadikan sumber dari perda-perda atau UU kita, juga tak perlu ditakuti. Ini wajar saja bila mengingat 87 persen penduduk Indonesia adalah pemeluk Islam. Apalagi sudah sejak abad ke-13 Islam berkembang di Indonesia dan ajaran-ajarannya dijadikan sumber dan norma kehidupan masyarakat. Jangan pernah meragukan bahwa Islam adalah rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi semua. Jangan pernah takut Islam akan menindas agama lain. Percayalah, pemimpin-pemimpin Islam akan berada di garda depan melawan penindasan itu.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: