Wednesday, January 31, 2007

Muhammad Ismail Yusanto: Edukasi Syariah Islam Belum Genap

NASIONAL [ GATRA Printed Edition ]


SEJAK era reformasi, sosok pria kelahiran Yogyakarta, 2 Desember 1962 ini lekat dengan gerakan penegakan syariah Islam di Indonesia. Kampanye jubir Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto tak hanya melingkupi Indonesia. Ia acap melanglang empat benua untuk memberikan ceramah soal penerapan syariah Islam di Indonesia.

Sarjana Teknik Geologi Universitas Gajah Mada ini pernah diundang ke Harvard University AS pada April 2004 untuk memberikan presentasi berjudul "Demand for Syariah as Positive Law in Indonesia: Hizbut Tahrir Indonesia's Experience and Agenda." Peserta seminar menilai, sulit bagi HTI mewujudkan cita-citanya, apalagi HTI tak ikut pemilu. Toh, mereka salut dengan HTI yang tidak mengadopsi cara kekerasan.

Wartawan Gatra Astari Yanuarti mewawancarai Ismail Yusanto untuk mengetahui lebih jauh bagaimana dan apa saja kendala penerapan syariah Islam di Indonesia. Berikut ini petikannya:

Mengapa Syariah Islam harus menjadi kerangka NKRI?
Begini, kalau bicara negara maka perlu aturan dan sistem. Ideologi yang harus dipilih sekarang hanya dua: menyertakan Islam atau sekulerisme yang lahir dari sejarah gelap Kristen yang ditolak politisi Eropa. Islam tak punya sejarah gelap seperti itu. Pertanyaannya kalau sekuler maka sistem ekonominya kapitalis, skema kebudayaannya hedonis Barat, pendidikannya materialistik, sistem politiknya demokrasi machiavelistis, dan konsep keberagamannya sinkretik. Apakah seperti ini yang akan kita pilih?

Nah, ketika kita kembali pada ideologi yang merupakan akar dari sistem. Ideologi adalah kerangka pikir paling mendasar terkait dengan pandangan kita tentang hidup. Bermasyarakat dan bernegara adalah bagian dari hidup. Dalam Islam, hidup itu kan ibadah. Maka membentuk negara maka itu ibadah, di sini ketemulah bahwa negara harus diatur dalam kerangka ibadah tadi yang disebut syariah tadi. Karena kita ingin negara kita ini negara yang beribadah. Sebab ibadah bukan hanya di mesjid. Kalau ikut sekulerisme kita soal di mesjid tapi begitu ke ekonomi kita jadi kapitalis. Menurut saya sekulerisme sangat tidak compatible dengan mayoritas penduduk Indonesia. Kita ini akan bisa menjadi sekuler selama kita mempertahankan keterpecahbelahan kepribadian kita, split personality. Itu tak enak.

Bukankah masih ada juga kelompok dalam Islam di Indonesia yang tak sepakat dengan penerapan syariat Islam?
Kalau bicara sejarah founding father (pendiri negara) kita, maka tak ada beda kalau kita bicara soal umat Islam. NU dan Muhammadiyah inginkan Islam sebagai basis negara. Sampai sekarang pun mereka tetap inginkan dasar negara Islam. Coba tengok hasil Kongres Umat Islam Indonesia tahun lalu ada 36 ormas Islam. Keputusannya menginginkan Syariah Islam menjadi solusi bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu kan konkret, Jadi kalau ingin mempertentangkan antar-kelompok dalam Islam, akan gagal karena semua sepakat dalam soal syariah.

Loh, NU kan bilang kalau NKRI itu sudah final?
Itu pernyataan Kyai Ahmad Siddiq, tidak pernah menjadi keputusan NU.

Bagaimana komitmen HTI pada NKRI terkait kampanye penerapan khilafah?
Pertama, kita itu berjuang menjadikan Indonesia lebih baik di masa mendatang. Ada dua hal, sistem yang baik dan pemimpin yang baik. Sistem syariah inilah yang paling baik karena berasal dari zat yang baik. Sedangkan pemimpin yang baik itu adalah yang mau tunduk pada syariah dan juga amanah serta penuh keberanian. Lalu bagaimana dengan NKRI ke depan? Kita malah sejalan dengan itu dengan menolak separatisme NKRI seperti di Papua, Maluku dan Aceh karena Indonesia ini harus dipertahankan persatuannya. Kira-kira begitulah.

Jadi NKRI bisa sejalan dengan Syariat Islam?
Iya, karena memang gagasan Syariat Islam ini tidak harus ditabrakkan dengan konsep NKRI.

Namun masih banyak juga yang takut syariah Islam ini akan mengancam persatuan dan kesatuan RI seperti saat penolakan masuknya tujuh kata dalam Piagam Jakarta?
Kalau kita lihat sejarah yang ditulis oleh Faisal Baasir dan Endang Syaifudin Ansori, kan tidak ada utusan Indonesia timur yang mengatakan seperti itu. Dan sejarah ini sudah diluruskan. Lagipula Piagam Jakarta ini yang buat Soekarno bukan umat Islam yang saat itu minta Indonesia berdasarkan syariat Islam. Tapi permintaan ini ditolak kalangan non-Islam, makanya jalan tengahnya ya Piagam Jakarta itu. Setelah umat muslim menerima Piagam Jakarta malah ada isu yang begitu. Jadi kita sudah legowo bukan main dengan sejarah seperti itu.

Ada juga yang tidak rasional. Jujur saja kalau ada yang menolak RUU APP karena mengancam berkesenian, loh apa kesenian yang bagus itu adalah lukisan porno? Coba lihat lukisan yang mahal-mahal itu apakah yang porno, seperti Pablo Picasso yang lukisan kubisme itu ga ada pornonya sama sekali. Pun dengan Van Gogh. Mana ada lukisan porno yang mahal. Kalau soal budaya, seperti koteka di Irian seharusnya kita peradabkan mereka dengan memakai baju. Bukannya dipertahankan begitu dan dijadikan alasan menolak APP. Soal pertentangan dengan agama Hindu maka itu kan tak mungkin. Karena kalau ikut syariah maka tidak akan tabrakan sebab semua disesuaikan dengan agama masing-masing.

Tapi kelompok minoritas menilai penerapan syariat Islam mengancam kebebasan beragama mereka?
Itu adalah stigma negatif yang berasal dari kecurigaan dan salah paham. Yang pertama harus dipahamkan pada umat muslim sendiri bahwa Islam itu rahmatan lil alamin. Bukankah sistem yang memberikan keadilan, kesejahteraan, dan keamanan itu yang mereka perlukan. Kedua, berkenaan dengan eksistensi sebagai non-muslim, maka syariah Islam kan dengan jelas mengatur termasuk bagaimana melindungi umat non-Islam. Dalam sejarah masyarakat Islam yang dibentuk di masa lalu itu kan plural dengan adanya umat non-muslim. Misalnya Spanyol yang pernah dikuasai lebih dari 700 tahun itu kan plural dengan kepemimpinan Islam. Di sana hidup damai Yahudi dan Nasrani. Pun saat Islam masuk ke Mesir. Jadi dalam sejarah sudah terkenal bagaimana Islam mengatur masyarakat plural. Sehingga tak ada alasan apa pun bagi umat non muslim takut pada syariah Islam itu.

Nyatanya masih banyak yang takut. Apakah ini karena sosialisasi pemahaman khilafah itu belum mengenai sasaran?
Memang kita belum cukup waktu untuk memberikan penjelasan pada masyarakat dengan cukup baik. Jujur saja selama lebih 30 tahun lebih kita tak boleh membicarakan soal syariah. Jadi wajar jika banyak masyarakat yang takut pada syariah. Kedua, ada juga kelompok yang sengaja menciptakan stigma negatif. Misalnya soal perda anti-pelacuran. Ini mengancam dari sisi mana pada kaum minoritas? Kita kan sangat khawatir pada perkembangan AIDS yang secara empirik karena kontak seksual. Kampanye kondom itu kan membodohi karena pori-pori lateks itu masih lebih besar dari virus HIV. Artinya harus ada tindakan preventif mencegahnya. Dengan cara setia pada pasangan sah, dan bila ada bisnis yang bertentangan dengan prinsip tadi harus dilarang. Makanya sungguh aneh bin ajaib jika kemudian ada yang orang terancam pada perda anti-pelacuran. Apakah kita akan terus membiarkan wanita menjadi budak eksploitasi seksual atas nama kebebasan. Itu kan ndak bener.

Perda-perda islami ini kan banyak didemo karena sering terjadi salah tangkap?
Nah itu kan kita bicara ekses bukan substansi. Bagaimana mungkin kita bicara ekses dengan mempermasalahkan substansi. Ini seperti kita naik pesawat lalu ada kecelakaan lalu ada kita tolak pesawat. Kan itu tidak logis, mestinya dicari solusi naik pesawat yang aman seperti apa. Jadi ekses itu bisa diatasi dengan pelaksanaan yang lebih cermat dan dibuka peluang masyarakat untuk melakukan pembelaan atas kasus salah tangkap tadi. Jadi bukan dengan menolak perdanya.

Jadi perda islami itu masih mungkin direvisi?
Bukan, tapi perlu pengawasan yang tepat atau ditambahkan pasal koreksi. Ada Muhasabah lil hukam. Koreksi pada penguasa. Itu yang harusnya dimasukkan. Itu nanti kita sarankan.

Tapi sebagian besar perda islami ini hanya mengarah pada moralitas seperti berkerudung, wajib baca Al-Qur'an. Selain itu umat non-Islam pun tetap dipaksa ikut perda, misalnya, dengan memakai kerudung. Bagaimana ini?
Kita sadari ada stereotyping tentang Islam dengan mengaitkan hanya sekadar perjudian, pornografi, pelacuran, dan jilbab. Tapi Islam kan tidak hanya itu. Syariah Islam itu kan juga mengatur ekonomi, pendidikan, layanan publik, infrastruktur. Nah ini kan ekses dari proses edukasi masyarakat yang belum genap. Termasuk pada para legislator, sehingga saat menyebut syariah Islam maka langsung dikaitkan dengan hal-hal seperti itu.

Kedua, saya ingin tekankan kita harus tangkap dulu substansinya. Tak ada aturan perda yang sungguh-sungguh buruk. Kalau pun ada kekurangan mungkin pada drafting dan infrastruktur pelaksanaannya sehingga menimbulkan ekses tadi. Misalnya kewajiban soal busana muslim buat perempuan itu kan memang agama mengaturnya demikian. Jika muslimah keberatan ini yang aneh. Makanya di dalamnya harus ada rasa iman.

Kita ini kan aneh, kalau sedang tertimpa musibah maka melolong minta tolong pada Tuhan. Tapi ketika Tuhan memerintahkan sedikit saja soal pakaian misalnya, kok menolak. Ini kan aneh. Karena itu menurut saya dalam perbincangan soal perda-perda itu harus disertai keimanan tadi, kalau tidak maka kita ini akan gagal memahami substansi yang ingin dicapai. Apalagi jika perspektif kebebasan. Mestinya dipertanyakan dulu mengapa kita menjadi seorang muslim. Once kita menjadi muslim maka kita itu terikat. Aneh kalau kita menjadi muslim tapi ingin bebas semaunya.

Jadi tugas berat buat HTI dong untuk meyakinkan kalau Syariat Islam itu bagus?
Memang. Tapi saya lihat media massa kurang fair karena mengangkat hanya dampak negatif dari perda-perda. Misalnya di Bulukumba ada empat perda: buta huruf Qur'an, busana muslim, zakat, dan miras. Saya pernah bicara dengan Bupati Bulukumba yang menyatakan, setelah perda, kriminalitas turun 80% , PAD naik 10 kali lipat dari Rp 9 Miliar menjadi Rp 90 Miliar. Ini kan tidak pernah diungkap, karena buat pers bad news is good news.

Soal revisi RUU APP dengan mengecualikan perda daerah tertentu yang berdasar budaya lokal?
Itu sebenarnya tidak benar, karena bisa menjadi loop hole untuk tetap berporno ria atas nama kebudayaan.

Bukankah suku-suku dan umat agama selain Islam di Indonesia juga berhak mempertahankan kesenian dan kebudayaan mereka?
Makanya saya bilang dalam strategi kebudayaan seperti apa yang akan dikembangkan di Indonesia ini. Jika berbasis agama, maka ketika dilakukan umat Islam ya harus sesuai dengan ajaran islam. Budaya itu kan produk manusia sehingga bisa berubah seiring perubahan manusia. Jadi menurut saya tidak logis mendasarkan pada sesuatu yang bisa berubah untuk menolak sesuatu yang memberikan arah pada pengembangan budaya.

Tapi definisi pornografi dan pornoaksi itu kan yang paling banyak dipertanyakan?
Nah di sinilah masalahnya pada basis teologis apa yang akan digunakan dalam penyusunan RUU APP. Kalau basis tidak jelas maka definisi tak jelas. Kalau kita kembali ke syariah maka basis, definisi, dan obyeknya akan jelas. Orang non muslim tak perlu khawatir, dan kalau ada muslim yang khawatir maka itu aneh.

Apakah agama lain juga berhak menuntut penegakan agamanya lewat Perda?
Bisa, kalau untuk agama mereka sendiri. Misalnya Nyepi yang diberlakukan umum di Bali. Padahal Bali kan tidak semuanya Hindu. Mestinya kan tidak diperlakukan umum, kenapa yang lain harus ikut nyepi. Kenapa dalam kasus itu tidak ada yang ribut.

Jadi syariah itu ada dua: privat dan publik. Untuk privat hanya untuk umat muslim saja seperti makanan, minuman, pakaian, ibadah dsb. Tapi ada juga yang publik seperti penataan ekonomi dan sosial budaya. Nah, jika berkenaan dengan masalah privat maka kembali ke agama masing-masing.

Tujuan perda islami katanya baik, tapi kok malah menimbulkan gejolak penolakan?
Saya keberatan dengan kata gejolak. Misalnya di Tangerang. Siapa sih yang menolak? LSM itu kan bukan dari Tangerang, tapi dari Jakarta. Mereka bikin panas dan provokasi supaya perda itu ditolak. Padahal Tangerang itu kan masyarakatnya religius. Lalu dengan Depok, sebenarnya clear saja. Kalau kelompok tadi berpikir positif dengan tidak mencampurkan esensi dengan ekses. Gejolak itu kan ada dua original atau direkayasa. Nah di tangerang itu fabricated bukan dari masyarakat di situ.

Lalu bagaimana langkah menerapkan syariah Islam di Indonesia?
Dengan edukasi lalu strategi. Sayangnya umat Islam Indonesia ini kan tidak punya strategi dalam proses penerapan syariah. Sehingga tiap daerah ambil cara sendiri-sendiri. Itu sesuatu yang tak terhindarkan dengan otda. Yang penting juga tak boleh ada pihak lain yang mengaduk-aduk.

Adakah upaya perencanaan strategi secara nasional?
Kita tak berhenti kok di tingkat nasional. Kalau pun ada salah-salah dikit maka itu wajar.

[Laporan Utama, Gatra Edisi 25 Beredar Senin, 1 Mei 2006]
URL: http://www.gatra.com/versi_cetak.php?id=94175
GATRA Printed Edition

0 Comments: