Thursday, January 25, 2007

Republika Online : http://www.republika.co.id

Catatan Menyoal Pembaruan Islam

Oleh :


Ulil Abshar Abdalla
Mahasiswa Boston University

Di harian ini, saya membaca dua karangan yang menarik yang ditulis oleh Hamid Fahmi Zarkasyi (Republika, 28/12/2006) dan Ismail F Alatas (Republika, 5/1/2007). Tulisan Zarkasyi mencoba mengritik wacana pembaruan Islam. Sementara, tulisan Alatas secara tidak langsung menyetujui apa yang disampaikan Zarkasyi seraya memberikan penekanan pada masalah hegemoni Barat dalam bidang konsep dan pemikiran. Terhadap dua tulisan itu, saya memberi apresiasi setinggi-tingginya.

Saya ingin memberikan sejumlah komentar pada dua tulisan itu. (1) Artikel Alatas mengandung kejanggalan. Di satu pihak dia mengritik hegemoni Barat, tetapi alat intelektual yang ia pakai untuk mengritik konsep Barat itu juga datang dari Barat. Dia mengritik taksonomi Islam liberal, skriptural, tradisional, rasional, dan seterusnya yang menurutnya 'dipaksakan' (istilah yang dia pakai adalah imposisi) oleh para ilmuwan Barat, tetapi ia membawa masuk alternatif pemikiran yang memakai kerangka pemikiran Barat.

Ia mengutip sosiolog barat, George Ritzer, sekadar untuk menguraikan istilah meta analisis (yang kurang saya mengerti sepenuhnya). Istilah-istilah yang ia pinjam dari Prof Syed Farid Alatas, kepokanan Prof Syed Naquib Alatas itu, juga berbau sangat Barat.

(2) Apakah dengan demikian saya menolak kritik atas Barat? Tentu tidak. Sebelum dikritik oleh orang-orang di luar Barat, apa yang disebut 'Barat' telah dikritik justru pertama-tama oleh para ilmuwan dan sarjana yang bekerja di lembaga-lembaga ilmiah di Barat sendiri. Pengkritik tradisi orientalisme yang paling tangguh, Edward Said misalnya, lahir dalam tradisi ilmiah Barat dan anak kandung kesarjanaan Barat.

(3) Poin yang ingin saya kemukakan adalah bahwa salah satu kritik modern atas Barat adalah anak kandung dari tradisi intelektual di Barat itu sendiri. Inilah fakta yang kurang disadari oleh sebagian intelektual Muslim di dunia ketiga yang kerap melancarkan kritik atas Barat tetapi memakai perangkat intelektual yang berkembang di Barat.

(4) Saya kurang tertarik dengan sikap sebagian sarjana Muslim yang kerap jengah terhadap hegemoni Barat. Menurut saya, sikap semacam ini hanya menghabiskan energi dan kurang bermanfaat. Anda boleh marah dan jengkel pada hegemoni intelektual Barat, tetapi senyatanya tradisi ilmiah yang maju dan mapan saat ini memang ada di sana.

(5) Lebih baik energi sarjana Islam dikerahkan untuk memproduksi karya-karya cemerlang dalam bidang kajian Islam. Metode bisa dipinjam dari mana pun. Menurut saya, kurang berguna terlalu menekankan otentisitas metodologi kajian Islam dan menolak peminjaman metode tradisi akademik di luar Islam. Kajian Islam akan hidup dan sehat dengan segar-bugar justru jika sarjana Islam berani terus melakukan eksperimentasi kajian dengan memakai pelbagai ragam metodologi.

(6) Ada semangat yang saya sepakati dalam artikel yang ditulis oleh Ismail Alatas, kita harus selektif dalam menerima hal-hal yang datang dari Barat. Kita hanya mengambil dari Barat sesuatu yang berguna, seraya meninggalkan hal-hal yang tak relevan dengan Islam. Saya kira, semua sarjana Islam yang selama ini dikenal sebagai memiliki orientasi liberal bisa setuju dalam hal ini.

Sarjana dan intelektual Muslim yang saya tahu mengampanyekan penerimaan Barat secara total adalah Dr Taha Husein melalui bukunya 'Mustaqbal Al Tsaqafah fi Misr' (Masa Depan Kebudayaan Mesir). Meskipun Taha Husein mengatakan demikian, sudah pasti dia tidak bisa meninggalkan sama sekali cara berpikir yang ia peroleh dari lingkungan kebudayaan Islam, sebab ia tumbuh di sana sejak kecil. Tidak mungkin seseorang mengalami 'pembaratan' atau 'penimuran' secara total.

Dengan memakai kerangka seperti ini, saya ingin mengemukakan bahwa setiap orang yang berjumpa dengan kebudayaan lain sudah dengan sendirinya ia akan melakukan seleksi. Sikap selektif adalah refleks kebudayaan yang secara intrinsik ada pada semua orang dan masyarakat.

Problem justifikasi
(7) Masalah timbul pada tahap berikut: jika semua orang setuju dengan gagasan dasar untuk melakukan seleksi, tidak semua orang setuju dengan cara bagaimana seleksi itu dilakukan. Zarkasyi menganggap bahwa apa yang dilakukan Cak Nur dan kaum pembaharu lain di Indonesia adalah sekadar menjustifikasi konsep-konsep Barat. Gagasan seperti pluralisme dianggap sebagai benda asing yang datang dari Barat, dan peran Cak Nur hanya memberikan 'baju Islam' kepada benda asing itu.

(8) Ada sejumlah soal di sini. Apakah betul yang dilakukan Cak Nur dan para sarjana lain yang sepaham hanyalah justifikasi? Apa kriteria bahwa suatu proyek pemikiran hanya sebuah justifikasi? Jika ada kemiripan antara gagasan seorang sarjana Muslim dan gagasan serupa yang tumbuh di luar tradisi Islam, apakah hal itu menandakan bahwa yang satu menjustifikasi yang lain? Taruhlah bahwa apa yang dilakukan Cak Nur sekadar menjustifikasi konsep asing. Apa yang salah dengan sebuah justifikasi?

Al-Ghazali memberikan justifikasi kepada logika Aristotelian yang kemudian dalam lingkungan Islam berkembang dengan nama lain, manthiq. Sementara oleh sarjana Muslim yang lain (misalnya Imam Nawai dan Ibn Shalah), terutama sarjana hadis (yang sejak dulu mewakili tradisi literalisme yang antifilsafat, kadang-kadang bahkan juga anti-intelektual), bidang itu dianggap benda asing dari Yunani, dan karena itu harus ditolak. Seorang pemikir tidak kehilangan orisinalitas dan otentisitas hanya karena ia melakukan justifikasi. Jika sebuah justifikasi cukup menyakinkan dan orisinal, maka yang bersangkutan bisa dikatakan berhasil.

Dan mengapa kita takut pada justifikasi, seolah-olah semua hal yang dimiliki oleh umat Islam, termasuk pada tataran konsep, harus asli datang dari Islam sendiri, padahal kita semua tahu bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad juga bukan 'barang baru' (lihat QS 46:9). Islam hanya meneruskan tradisi yang lama yang berasal dari agama sebelumnya.

(9) Tidak semua hal bisa diberikan justifikasi dari sudut pandang Islam. Hanya pada hal-hal di mana terjadi perjumpaan antara Islam dan nilai-nilai di luar Islam lah kita bisa memberikan justifikasi. Kita tak bisa memberikan justifikasi kepada gagasan fasisme dari sudut Islam, misalnya. Jika Cak Nur bisa memberikan justifikasi kepada gagasan tentang pluralisme dan demokrasi, maka hal itu terjadi karena di sana ada pertemuan antara nilai Islam dengan nilai di luarnya.

Apa yang dilakukan Cak Nur adalah meneruskan apa yang sudah terjadi selama berabad-abad dalam warisan intelektual Islam, yakni memberikan pendasaran keagamaan pada konsep-konsep yang dipinjam dari luar Islam. Sebagaimana sudah saya sebut, banyak sarjana Muslim yang keberatan dengan ilmu mantiq atau logika Aristotelian, karena hal ini dianggap sebagai pinjaman dari luar. Al-Ghazali memberikan justifikasi dan pendasaran atas ilmu yang datang dari luar itu agar bisa diterima oleh umat Islam. Jika umat Islam menolak sesuatu yang positif hanya karena ia datang dari luar Islam, maka ini adalah sebuah kerugian besar.

(10) Memang harus diakui, ada sejumlah justifikasi yang sifatnya superfisial. Salah satu bentuk justifikasi semacam ini adalah upaya sejumlah sarjana Muslim untuk mencocok-cocokkan penemuan sains modern dengan ayat-ayat Alquran, suatu gejala yang dikenal sebagai Bucailisme. Embrio modern dari kecenderungan ini sebetulnya sudah muncul lama. Syekh Tantawi Jauhari, seorang pengajar di Dar Al 'Ulum di Kairo, menulis tafsir yang sering dikategorikan sebagai al tafsir al 'ilmi (tafsir saintifik), yaitu Tafsir Al Jawahir yang terbit pada 1943. Tafsir ini mencoba menjustifikasi penemuan-penemuan sain modern dengan ayat-ayat Alquran.

Tetapi, tentu ada justifikasi yang berhasil dan sukses. Saya memandang, justifikasi yang dilakukan Cak Nur adalah salah satu justifikasi yang berhasil, serta tidak apologetik. Cak Nur meneruskan semangat yang ditinggalkan Fazlur Rahman yang menghendaki agar umat Islam membangun suatu world view yang didasarkan pada Alquran. (11) Sikap yang layak dikembangkan sarjana Muslim ke depan adalah memandang peradaban sebagai resultante dari usaha universal yang dilakukan semua umat manusia.

Ikhtisar

- Kritik atas peradaban Barat kerap dijalankan intelektual Muslim dengan memakai perangkat intelektual yang sebenarnya berasal dari Barat.
- Melancarkan kritik terhadap Barat tidaklah diharamkan, tapi juga tidak sehat untuk menolak semua yang datang dari Barat.
- Semua sepakat bahwa saat bertemu peradaban lain, setiap pihak harus melakukan seleksi. Yang masih jadi persoalan adalah proses seleksi yang harus dijalankan.

Republika Online : http://www.republika.co.id