Friday, February 9, 2007

DPRD Depok Didesak Segera Bahas Raperda Antipelacuran

DEPOK--MIOL: Kalangan organisasi massa Islam di Kota Depok mendesak DPRD Kota Depok untuk segera membahas dan mensahkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anti Pelacuran dan pelarangan minuman keras

(Miras).

Hal itu diungkapkan Sekretaris Muhammadiyah Kota Depok, Syamsul Kamar dalam dialog mengenai Raperda Anti Pelacuran, di Gedung Majelis Ulama Indonesia, Depok, Minggu (30/7).

Ormas Islam yang mendukung Raperda anti Pelacuran itu adalah Muhammadiyah, Hizbut Tahrir, Jemaah Sholat Shubuh Gabungan Kota Depok, Forum Mudzakaroh Syariat Islam, Pemuda Islam Indonesia, Remaja Islam Depok, Ittihadul Muslimah Depok.

Syamsul mengatakan, untuk mensahkan Raperda tersebut DPRD Depok membutuhkan dukungan dan masukan agar Raperda tersebut segera disahkan. "Kita akan memberikan dukungan kapanpun dan dimanapun dibutuhkan," katanya.

Lebih lanjut ia mengatakan di negara seperti Amerika Serikat (AS) saja setiap negara bagian mempunyai polisi khusus yang mengatur tentang minuman keras (Miras).

"Jadi, mengapa di negara kita yang mayoritas Muslim (malah) menjadi pertentangan," katanya.

Ditanya mengenai pihak yang menolak Raperda tersebut, Syamsul Kamar mengatakan jika itu keluar dari sikap orang Muslim perlu dipertanyakan komitmen ke-Islamannya.

Raperda tersebut, lanjut dia, tidak perlu menayakan satu per satu kepada masyarakat apakah Raperda tersebut dibutuhkan, karena yang menjadi tugas utama menjaga keamanan dan ketertiban adalah polisi dan pemerintahan

kota Depok. "Masyarakata hanya butuh keamanan dan ketertiban di ligkungannya," katanya.

Mengenai perlunya kajian akademis, ia mengatakan berdasarkan data dari Badan Narkotik Nasional (BNN) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2004 terdapat 3.000 kasus narkoba dan meningkat pada tahun 2004 menjadi 8.000 kasus.

Sebanyak 35 persen kasus tersebut terjadi di DKI Jakarta. Sedangkan di Depok terdapat 138 kasus narkoba.

"Data tersebut merupakan kajian akademis, jadi jika berdasarkan hal tersebut maka sudah setengah kajian akademis," katanya.

Sedangkan Ketua Pemuda Islam Indonesia, H. Hasanuddin Sandang mengatakan, berkaitan penerapan Raperda tersebut tidak dibutuhkan kajian akademis, karena hampir semua warga adalah masyarakat beriman.

Ia mencontohkan penerapan Perda Syariah di Bulukumba, Sulawesi Selatan, yaitu Zakat dan Miras bisa membuat masyarakat hidup tenang hingga bisa tidur dengan nyenyak, padahal sebelumnya masyarakat banyak yang resah, akibat maraknya minuman keras.

Sementara itu, Sekretaris Komisi A DPRD Kota Depok, Dahlan mengatakan, dalam penyusunan draf tersebut sama sekali tidak ada muatan politis dan tidak ada titipan sama sekali dari pihak manapun.

Draf tersebut, kata dia, nantinya akan menerima masukan dari berbagai kalangan untuk diperbaiki atau disempurnakan jika ada hal-hal yang kurang.

"Kita menerima masukan dari semua kalangan masyarakat, agar nantinya penerapan Perda tersebut akan lebih efektif," kata anggota legislatif dari PAN.

Dahlan lebih lanjut mengatakan penyusunan draf tersebut sangat hati-hati, agar tidak terjadi hal-hal yang kontroversi di masyarakat.

Menurut dia, latar belakang disiapkannya Perda tersebut untuk melindungi masyarakat dari pengaruh negatif akibat pertumbuhan dan

perkembangan Kota Depok, khususnya kalangan generasi muda.

Ia mengatakan, data dari Dinas Kesehatan Kota Depok menyebutkan dari 4.023 sampel darah syphilis dan 5.143 sampel darah HIV ditemukan sebanyak 76 orang warga Depok positif HIV/AIDS dan 23 orang terkena penyakit raja singa (salah satu jenis penyakit menular seksual).

"Data tersebut sangat riskan dan sangat mengkhwatirkan dan karena itu perlu diambil langkah-langkah pencegahan dengan menjauhkan masyarakat dari perilaku seks bebas," demikian Dahlan. (Ant/OL-06)Media Indonesia Online

Tempointeraktif.com - Perda Syariat Islam Tidak Menyalahi Konstitusi

Perda Syariat Islam Tidak Menyalahi Konstitusi
Jum'at, 16 Juni 2006 | 19:19 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Anggapan sebagian anggota DPR bahwa Peraturan Daerah (Perda) bernafaskan Syariat Islam tidak konstitusional dinilai tendensius. Sebab Perda itu dibuat dengan cara yang demokratis.

“Perda itu isinya kan mengajak kepada kebaikan, kenapa harus dibawa nama Islam segala,” kata anggota Komisi III Patrialis Akbar dalam acara Dialektika Demokrasi di ruang wartawan MPR/DPR, Jum'at siang.

Constant Ponggawa dari Fraksi Damai Sejahtera dalam diskusi itu menilai, perda-perda di sejumlah daerah sudah tidak berlandaskan pada Pancasila. “Negara kita ini kan negara yang pluralistik, kita harus lihat pada asas kebhinekaan,” ujarnya.

Patrialis menukas, jika memang alasannya kebhinekaan, kenapa perda di Bali yang mengatur tentang perayaan Nyepi dan perda tentang cara pembakaran mayat di Toraja tidak diusik. “Kenapa hanya Syariat Islam yang digembar-gemborkan?” katanya.

Chozin Cumaedy dari fraksi Persatuan Pembangunan melihat perda Syariat Islam dari tiga pendekatan. Pertama dari perspektif demokrasi, kata dia, perda yang ada sudah disusun secara konstitusional. Dari segi kewenangan pembuatan Perda merupakan kewenangan pemerintah daerah, dan ketiga, perda itu justru untuk mendidik generasi bangsa ke arah kebaikan.

Sementara itu, Dirjen Perundang undangan Hukum dan HAM, A.A. Oka Mahendra menilai, dari segi teknis penyusunannya, dari 446 perda yang ada banyak yang muatan materinya tidak sesuai dengan judul perdanya. Namun Ketidaksempurnaan itu dikarenakan sekertariat DPRD sebagai staf pendukung DPRD tidak maksimal dalam membantu pembahasan perda. Aguslia Hidayah
Tempointeraktif.com - Perda Syariat Islam Tidak Menyalahi Konstitusi

Tempointeraktif.com - MUI DKI Usulkan Perda Antikemaksiatan

MUI DKI Usulkan Perda Antikemaksiatan
Rabu, 26 April 2006 | 01:09 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Majelis Ulama Indonesia DKI Jakarta mengusulkan dibuatnya peraturan daerah mengenai antikemaksiatan. Peraturan itu mengikuti jejak Perda Tangerang tentang Pelacuran dan Miras.

"Aturan yang kami usulkan lebih komprehensif," kata Ketua MUI DKI Jakarta, Hamdan Rasyid, kemarin. Pernyataan itu dilontarkan usai pertemuan 10 ulama dengan Kepala Polda Metro Jaya, Inspektur Jenderal Firman Gani.

Menurut Hamdan, aturan yang komprehensif memuat hal seperti antiperjudian, antipelacuran, antipornografi dan antiminuman keras. "Segala bentuk kemaksiatan, tak hanya pelacuran dan miras," ujar Hamdan.

Menurut Ketua Umum MUI DKI Jakarta, Munzir Tamam, aturan yang diusulkan tak semata mengikuti aturan di Tangerang. "Konsepnya sejak lama sudah kami pikirkan," ujarnya. Pentingnya aturan itu, katanya, untuk mengurangi kemaksiatan yang telah mewabah di wilayah ibukota.

Dalam waktu dekat, katanya, akan segera dibuat tim khusus untuk menyusun draf Perda Antikemaksiatan. Rujukan pun akan diambil dari draf Perda No 8/2005. Setelah draf rampung, akan diserahkan ke dewan dan pemerintah daerah.
Tempointeraktif.com - MUI DKI Usulkan Perda Antikemaksiatan

Tempointeraktif.com - Tangerang Aktifkan Perda Ketertiban Umum

Tangerang Aktifkan Perda Ketertiban Umum
Selasa, 25 April 2006 | 17:33 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Kabupaten Tangerang mengefektifkan kembali Perda Nomor 20/2004 tentang Ketenteraman dan Ketertiban Umum untuk menjaring pelaku dan pelanggaran praktek pelacuran. Kebijakan ini keluar sambil menanti Perda pelarangan pelacuran diterbitkan.

Endang Sudjana, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menilai langkah itu diambil untuk menertibkan para pekerja seks yang bergeser ke perbatasan Kota-Kabupaten Tangerang. Maklum, Kota Tangerang sudah menerapkan Perda No 8 tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran.

Dia menjelaskan, Perda milik Kabupaten Tangerang masih digodok. Selain itu, infrastruktur penunjangnya juga belum siap, seperti petugas lapangan.

“Kami khawatir jika terburu-buru malah diperkarakan,” ujarnya hari ini.

Selain itu, Ketua Komisi A, Oji Saeroji mengatakan perlunya peraturan guna menanggulangi eksodus pekerja seks ke Kabupaten Tangerang.
Tempointeraktif.com - Tangerang Aktifkan Perda Ketertiban Umum

Tempointeraktif.com - MUI DKI: Perda Tanggerang Diadopsi Spiritnya Saja

MUI DKI: Perda Tanggerang Diadopsi Spiritnya Saja
Kamis, 27 April 2006 | 16:48 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, Kholil Nafits penyusunan kebijakan di DKI Jakarta tidak perlu mengadopsi perda kesusilaan Tanggerang mentah-mentah. "Konteks tiap daerah berbeda-beda," jelasnya ketika dihubungi Kamis (27/4).

Dia mengatakan pihaknya memang merekomendasikan agar Jakarta meniru Tanggerang dalam hal mengatur kesusilaan umum dengan menggunakan peraturan daerah. "Jakarta kan tolak ukur," katanya.

Akan tetapi, lanjut Kholil, Jakarta adalah daerah yang sangat heterogen. Semisal perda kesusilaan disetujui untuk diterapkan di Jakarta, penyusunannya harus melalui pengkajian peta sosial yang matang. "Agar tidak merusak pluralitas dan hukum harus benar-benar hidup di masyarakat," ujarnya.

Kholil mengatakan, yang perlu diadopsi dari Perda kesusilaan di Tanggerang cukup spiritnya saja yakni menciptakan tatanan yang baik untuk memperbaiki moral. Perda kesusilaan di Jakarta, dia menegaskan, tidak boleh melanggar undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Terlkait rekomendasi agar Jakarta meniru Tanggerang itu, kata Kholil, pihaknya telah menjalin koordinasi dengan polda metro jaya dan pemerintah DKI Jakarta. Agenda komunikasi berikutnya ke DPRD DKI Jakarta. Kholil tidak bersedia menjelaskan tanggapan dari pihak polda. Sedangkan pemerintah darerah Jakarta, menurut dia baru menyetujui prinsipnya secara umum.

Target rekomendasi itu tercapai, kata Kholil, belum dapat ditentukan. "Inginnya secepatnya, tapi yang lebih penting bisa dipahami publik nantinya, karena itu perlu komunikasi dan diskusi publik yang panjang," katanya. Harun Mahbub Tempointeraktif.com - MUI DKI: Perda Tanggerang Diadopsi Spiritnya Saja

Tempointeraktif.com - Peraturan Anti Maksiat Depok Jalan Terus

Peraturan Anti Maksiat Depok Jalan Terus
Senin, 12 Juni 2006 | 16:53 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sekretaris komisi A DPRD Depok, Ahmad Dahlan menyatakan pembahasan peraturan daerah anti maksiat terus berlanjut meski banyak pihak menentang. "Kita jalan terus, rapat paripurna lah nanti yang akan menentukan diterima atau di tolaknya Perda ini," kata dia di Depok tadi.

Dahlan mengaku banyak pihak yang keberatan dengan rancangan perda anti maksiat ini termaksud dari kalangan DPRD Depok sendiri. Komisi A, lanjutnya, juga kerap dihubungi pihak-pihak tertentu seperti dari kalangan pengusaha yang ingin agar perda tidak di lanjutkan. "Saya tidak pernah memberi waktu bertemu dengan mereka untuk saat ini," katanya.

Menurut Dahlan pengajuan rancangan Perda ini sah dan sesuai dengan tata tertib DPRD pasal 14. Karenanya, kata dia, bila ada anggota DPRD lain yang tidak sependapat tidak berhak untuk mengecam rancangan Perda. "Kalau mau berpendapat silahkan nanti di rapat paripurna," ujarnya.

Untuk mengakomodir pandangan masyarakat dan pihak terkait, kata Dahlan, komisi A dalam hal ini akan mengundang mereka untuk melakukan rapat dengar pendapat. Untuk itu pembahasan Perda masih akan menghabiskan waktu yang cukup panjang. Ini dimaksudkan agar perda anti maksiat tidak menjadi kontrofersi seperti yang terjadi di Tanggerang.

Draf perda anti maksiat di Depok secara garis besar berupa pengaturan penjualan, peredaran dan penggunaan minuman keras serta pelarangan praktek prostitusi. Dalam rangka penyusunan perda ini, Komisi A dalam waktu dekat juga akan survei ke beberapa Hyper Market dan Bar-Bar di Depok untuk mengontrol penjualan miras di atas 5 persen. "Apakah ada Hyper Market yang menjual lebih dari 5 persen tanpa izin," ujaranya.khairunnisa Tempointeraktif.com - Peraturan Anti Maksiat Depok Jalan Terus

Tempointeraktif.com - NU Menentang Perda Syariat

NU Menentang Perda Syariat
Sabtu, 29 Juli 2006 | 14:43 WIB

TEMPO Interaktif, Surabaya: Nahdlatul Ulama menentang peraturan daerah (Perda) bernuansa syariat Islam yang belakangan ini muncul di beberapa daerah. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Hasyim Muzadi mengatakan, bila Perda itu dibiarkan dapat mengganggu masyarakat.

“Daerah-daerah bisa membuat hukum sendiri, dan itu tidak bisa dibiarkan," kata Hasyim Muzadi seusai pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo, di Surabaya, kemarin.

Menurutnya, yang terpenting bukan menerapkan hukum Islam secara tekstual, melainkan mengambil semangatnya untuk kepentingan bersama. Perda syariat dibicarakan dalam musyawarah tersebut, karena NU menganggap hukum Islam merupakan alat untuk menegakkan masyarakat madani.
"NU mengusahakan nilai agama dapat terserap dalam hukum positif, bukan formalitasnya," kata Hasyim lagi dalam musyawarah yang dibuka Wakil Presiden Jusuf Kalla itu.

Sikap pemerintah, kata dia, sebagaimana disampaikan oleh Kalla pekan lalu, cenderung tidak mempertajam polemik soal ini. Meski menyatakan peraturan daerah yang bertentangan dengan undang-undang dan konstitusi dapat dicabut, Kalla mengatakan, sejauh ini, tidak ada peraturan daerah bernuansa syariat yang melanggar.
Tempointeraktif.com - NU Menentang Perda Syariat

Tempointeraktif.com - Muhammadiyah Belum Bersikap Soal Perda Syariat Islam

Muhammadiyah Belum Bersikap Soal Perda Syariat Islam
Sabtu, 29 Juli 2006 | 14:51 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Muhammadiyah belum mengambil sikap terhadap munculnya peraturan daerah (Perda) Syariat Islam di sejumlah daerah. Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin enggan mengomentari urgensi munculnya Perda tersebut.

"Kami belum bahas soal itu," kata Din saat dihubungi Tempo, Jum'at (28/7). Seperti diberitakan, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Hasyim Muzadi menegaskan Muktamar tahun 1984 menyebutkan NU menerima Pancasila sebagai azas tunggal.

Hasyim mensinyalir ada berbagai kelompok yang berusaha untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Oleh karenanya dia khawatir upaya itu akan membawa Indonesia ke jurang perpecahan. "Saat ini ada tarikan ke kiri dan ke kanan yang begitu rupa," katanya dalam Musyawarah Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama Surabaya.
Tempointeraktif.com - Muhammadiyah Belum Bersikap Soal Perda Syariat Islam

Tempointeraktif.com - Ketua MPR: Ajukan Uji Materi Kalau Tak Setuju Perda Maksiat

Ketua MPR: Ajukan Uji Materi Kalau Tak Setuju Perda Maksiat
Kamis, 22 Juni 2006 | 14:43 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengingatkan kepada semua pihak yang tak setuju dengan peraturan daerah yang berbau syariat Islam agar menggunakan jalur konstitusi dalam upaya membatalkan aturan itu.

"Ajukan uji materi, kalau itu setingkat undang-undang ke Mahkamah Konstitusi, kalau di bawah undang-undang ke Mahkamah Agung," ujarnya kepada wartawan di ruang rapat pimpinan MPR, hari ini.

Dari kajiannya, perda-perda yang diprotes itu kebanyakan bukan tentang syariat Islam, tapi larangan tentang perilaku maksiat, judi, dan penyakit sosial lainnya. Dia yakin kalau penerbitan aturan itu sama sekali tidak mengganggu kehidupan masyarakat.

"Tanya kepada daerah-daerah yang berlaku aturan tentang pelarangan maksiat, apakah mereka terganggu atau tidak. Semuanya berkata aman dan tenteram dengan aturan itu," ujarnya.

Hidayat sempat mempertanyakan kepentingan para anggota DPR yang menentang keberadaan perda itu. "Kalau masyarakatnya sudah merasa tenang, mereka mengatasnamakan masyarakat yang mana. Daerah yang diterapkan perda antimaksiat PAD-nya malah meningkat," ujarnya.

Raden Rachmadi
Tempointeraktif.com - Ketua MPR: Ajukan Uji Materi Kalau Tak Setuju Perda Maksiat

Tempointeraktif.com - Perdebatan Islamofobia Dikaitkan Peraturan Daerah

Perdebatan Islamofobia Dikaitkan Peraturan Daerah
Sabtu, 24 Juni 2006 | 15:18 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Perdebatan fenomena Islamofobia makin seru ketika dihubungkan dengan maraknya penetapan peraturan daerah bernuansa agama. Menurut cendekiawan dari Nahdatul Ulama, Said Agil Syirat, dirinya tidak mempermasalahkan peraturan daerah selama peraturan-peraturan tersebut tidak menimbulkan perpecahan bangsa.

“Tapi kalau sekat-sekat itu bisa mengancam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” jelasnya dalam diskusi di radio Trijaya FM, Sabtu pagi.

Luthfi Assyaukanie, pengajar sejarah pemikiran Islam Universitas Paramadina, mengatakan bahwa saat ini terdapat kenyataan sosiologis munculnya semangat keagamaan. ”Semangat keagamaan yang berlebihan akan mengancam keutuhan Indonesia,” ujarnya.

Dia berpendapat, menjaga keutuhan negara jauh lebih penting. Dia mencontohkan gerakan Hizbut Tahrir yang anti negara kesatuan RI dan mencoba untuk mengganti platform utuh Indonesia yang berdasarkan Pancasila. “Organisasi ini menolak demokrasi, dan jelas mengancam negara kesatuan RI,” tudingnya.

Constant M. Punggawa, anggota DPR RI dari Partai Damai Sejahtera, mengatakan bahwa Islamofobia timbul dari luar negeri. Menurut Constant, sebagai warga negara yang lahir di Indonesia tidak mungkin mengalami kekhawatiran seperti itu. “Kami sudah hidup bersama dengan warga muslim dari lahir,” katanya.

Mengenai adanya proses Islamisasi dalam peraturan, Constant menekankan bahwa tujuan pembuatan peraturan daerah adalah untuk sebuah tujuan yang mulia. Tapi untuk mencapai tujuan mulia tersebut tidak semata-mata dibutuhkan peraturan-peraturan baru. “Kalau saja penegak hukum melakukan tugas dengan baik, pelanggaran dapat diminimalisir,” katanya.

Wahidin Halim, Wali Kota Tangerang yang hadir dalam dialog tersebut mengaku bingung dengan perkembangan permasalahan peraturan daerah. “Kenapa ini terus menggelinding lalu ditarik ke masalah politik?” tanyanya.

Dia mengaku tidak paham bahwa peraturan daerah tentang pelacuran yang diterapkan di Kota Tangerang tiba-tiba ditarik ke peraturan daerah syariah. “Kita hanya melihat persoalan praktis di lapangan karena berkaitan dengan ketertiban sosial dan ketertiban umum,” jelas Wahidin.

Rieka RahadianaTempointeraktif.com - Perdebatan Islamofobia Dikaitkan Peraturan Daerah

Tempointeraktif.com - Penolak Perda Syariat Islam Dinilai Otoriter

Penolak Perda Syariat Islam Dinilai Otoriter
Jum'at, 16 Juni 2006 | 19:03 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Sebanyak 56 anggota DPR yang meminta pimpinan DPR untuk menyurati Presiden untuk mengubah atau mencabut Peraturan Daerah (Perda) bersyariat Islam, dianggap otoriter.

Sebab apa yang telah mereka lakukan tidak sesuai dengan aturan hukum yang ada. “Seharusnya mereka mengajukan judicial review," kata Doko Susilo, anggota Fraksi Partai Amanat Nasional kepada wartawan, Jumat siang.

Sebab yang berhak membatalkan perda syariat Islam itu bukan presiden, tetapi Makamah konstitusi atau Makamah Agung.

Ketua MPR Hidayat Nurwahid juga menyampaikan hal yang sama. Undang-undang, kata dia, sudah memberi koridor untuk mengajukan pembatalan suatu undang-undang yang dianggap bermasalah. “Tidak diajukan ke presiden, karena itu bukan kewenangannya” katanya.

Seharusnya para anggota DPR itu memberikan contoh kepada masyarakat untuk melalui jalur-jaur hukum yang ada. Ia kawatir apa yang dilakukan mereka justru membawa eksekutif melangkahi kewenangan.

Menurut Hidayat, Perda akan dinilai tepat jika dasarnya Pancasila, UUD 1945, kesatuan republik Indonesia, serta sesuai proses demokratisasi. Tetapi kehadiran perda itu justru membuat masyarakat terpecah belah dan tidak nyaman, maka perda itu tidak tepat. Aqida Swamurti
Tempointeraktif.com - Penolak Perda Syariat Islam Dinilai Otoriter

Tempointeraktif.com - Depdagri Masih Kaji Perda Larangan Pelacuran Tangerang

Depdagri Masih Kaji Perda Larangan Pelacuran Tangerang
Rabu, 19 April 2006 | 16:16 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Departemen Dalam Negeri masih mengkaji Peraturan Daerah larangan pelacuran Kota Tangerang untuk diputuskan akan dibatalkan atau tidak.

"Sedang dibahas, secepatnya diselesaikan. Kasihan kan daerahnya," kata Menteri Dalam Negeri M. Ma'ruf kepada wartawan hari ini.

Ma'ruf mengatakan semua perda harus dilaporkan ke Depdagri dan akan dievaluasi. Pemerintah, kata dia, memiliki tugas untuk mengawasi perda yang dibuat oleh pemerintah daerah.

Depdagri, kata dia, akan melihat kesesuaian perda dengan perundangan di atasnya. "Perda juga tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum," ujarnya.

Sebelumnya, Depdagri telah membatalkan 20 perda yang diterbitkan oleh provinsi, kabupaten, dan kota, terutama soal retribusi dan pajak. Sementara Perda larangan pelacuran Kota Tangerang juga akan diadopsi oleh Kabupaten Tangerang dan Kota Depok.

Oktamandjaya
Tempointeraktif.com - Depdagri Masih Kaji Perda Larangan Pelacuran Tangerang

Tempointeraktif.com - DPRD Depok Serahkan Draf Raperda Anti Maksiat

DPRD Depok Serahkan Draf Raperda Anti Maksiat
Kamis, 13 April 2006 | 15:24 WIB

TEMPO Interaktif, Depok:Komisi A DPRD Depok menyerahkan draf Rancangan Peraturan Daerah Anti Maksiat atau Minuman Keras dan Prostitusi ke eksekutif. "Secara resmi baru kami serahkan hari ini," kata Ketua Komisi A, M Triono, usai bertemu Wakil Wali Kota Depok, Yuyun Wirasaputra, hari ini.

"Tanggapannya sangat baik," aku Triono. Ia menambahkan, konsultasi dan penyerahan draf dimaksudkan untuk mendapatkan masukan dari eksekutif.

Seperti diberitakan, rancangan itu merupakan inisiatif Komisi A usai mendapat masukan dari beberapa elemen masyarakat, seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Seratus persen anggota Komisi A setuju dengan raperda ini," klaim Triono.

Menanggai permintaan beberapa anggota DPRD, seperti Wakil Ketua DPRD Agung Witjaksono dan Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan R Sugiharto tetang perlunya kajian akademis, Triono berjanji akan melakukan hal tersebut. "Memang terbentur anggaran, tetapi pasti kami lakukan (kajian akademis) bekerja sama dengan perguruan tinggi di Depok," ujarnya.

Triono juga berjanji akan meminta masukan dari elemen masyarakat yang lain, seperti kalangan pemuda dan agama di luar Islam. "Kami juga berharap raperda ini nantinya tidak bertentangan dengan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, tetapi bukan berarti harus menunggu," katanya.

Indriani Tempointeraktif.com - DPRD Depok Serahkan Draf Raperda Anti Maksiat

Tempointeraktif.com - Tangerang Sahkan Perda Larangan Minuman Beralkohol dan Larangan Pelacuran

Tangerang Sahkan Perda Larangan Minuman Beralkohol dan Larangan Pelacuran
Senin, 21 November 2005 | 17:31 WIB

TEMPO Interaktif, Tangerang:Setelah mengalami perbaikan draf raperda dan penundaan selama satu pekan, akhirnya DPRD Kota Tangerang, Senin (21/11), mengesahkan dua rancangan peraturan daerah (Raperda).

Raperda Pelarangan Pengedaran Minuman Beralkohol/Memabokkan disahkan menjadi Perda Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, serta Raperda Pelarangan Prostisusi menjadi Perda Pelarangan Pelacuran.

Dua perda itu telah ditetapkan sejak Senin ini selanjutnya akan dimasukkan dalam lembaran daerah dan akan ditetapkan oleh Depdagri. Pemerintah Kota Tangerang sendiri menyambut baik pengesahan perda tersebut.

Wali Kota Tangerang Wahidin Halim berharap agar perda itu bisa menjadi aturan yang ditaati masyarakat. "Kita akan sosialisasikan kepada masyarakat dua perda itu," kata Wahidin ditemui usai menghadiri rapat Paripurna Pengesahan Dua Raperda itu di gedung DPRD.

Wahidin juga menyatakan, soal teknisnya nanti akan diserahkan kepada instansi terkait sesuai dengan peraturan wali kota yang akan diterbitkan menyusul.

Perda Pelarangan Pengedaran dan Penjualan Minuman Berakohol dan Pelarangan Pelacuran itu disahkan atas dasar persetujuan tujuh fraksi di DPRD Kota Tangerang. Dua fraksi sebelumnya dikabarkan kurang sepakat soal bahasa pada judul, Fraksi Demokrat dan PPP, kali itu juga sudah setuju.

ayu cipta Tempointeraktif.com - Tangerang Sahkan Perda Larangan Minuman Beralkohol dan Larangan Pelacuran

Tempointeraktif.com - Masyarakat Minta Perda Anti Judi di Bekasi

Masyarakat Minta Perda Anti Judi di Bekasi
Senin, 16 Mei 2005 | 18:18 WIB

TEMPO Interaktif, Bekasi:Seratus orang dari Forum Pelajar Muslim Bekasi (FPMB) dan Aliansi Mahasiswa Peduli Bekasi (AMPIBI)mendatangi kantor Pemerintah Kota (pemkot) Bekasi, mereka menggelar unjuk rasa anti judi.

Para demonstrans mendesak Wali Kota Bekasi, Akhmad Zurfaih, kaum agamawan, DPRD Kota Bekasi dan kepolisian merumuskan peraturan daerah tentang anti judi.
Pemkot Bekasi dituntut segera menutup arena judi dan arena judi berkedok tempat hiburan malam. Mahasiswa juga mencurigai, tutupnya beberapa arena judi di segitiga emas Kota Bekasi hanya sekedarnya atau sebagai bentuk seolah-olah aparat kepolisian dan pemkot sudah menanggapi anti judi dan tak lama lagi dibuka lagi.

Menurut Koordinator aksi mahasiswa, Ariyanto, dengan tidak diterbitkan perda anti judi, sama saja Wali Kota membebaskan arena perjudian. "Wali Kota telah membebaskan perjudian. Itu terlihat, dari angin segar yang diberikannya. Dari penemuan-penemuan kami sendiri, judi itu masih ada,"kata Ariyanto.

Para pengunjuk rasa berorasi, menebar spanduk dan poster-poster bernada kecaman terhadap jajaran Wali Kota Bekasi yang tutup mata dengan adanya prakter perjudian. Selain itu, mereka juga menebarkan spanduk berisi seribu tanda tangan mahasiswa dan masyarakat menolak judi.

Para demonstrans membawa seekor ayam betina berbulu putih, digendong-gendong dan diacung-acungkan. Di leher ayam itu dipasang kalung berbahan kertas bertuliskan, "Wali Kota Bekasi." Maksudnya?"Kinerja Wali Kota seperti ayam saja,"kata Ariyanto.

Aksi itu mendapat pengawalan ketat polisi Metro Bekasi. Mereka menghadang ratusan mahasiswa di depan pintu gedung Pemkot Bekasi. Aksi desakan dan keprihatinan mahasiswa itu, akan terus berlanjut. "Kami akan terus mengumpulkan tanda tangan, menolak judi di Kota Bekasi,"kata Ariyanto.

Menurut, anggota ketua Fraksi PKSI, Wahyu Prihantono seharusnya pemkot Bekasi memprakarsai pembuatan perda agar masyarakat terhindar dari perjudian. Wahyu mengkritik kalangan tertentu, yang selama ini galak berbicara menyoal perjudian, tiba-tiba melempem seperti tertekuk lututnya. "Untuk semua pihak yang melempem, adalah modus lama. Ketika ada pihak yang tadinya galak. Tiba-tiba loyo, itu adalah modus yang biasanya untuk gertakan saja,"katanya.

Kepala Polres Metro Bekasi, Komisaris Besar Edward Syah Pernong, mengaku keberatan menanggapi anggapan masyarakat tentang kinerjanya yang melempem. "Tanya soal pernyataan judi, kamu tanya saja ke pemkot sana. Kaitannya dengan saya hanya tindakan saja,"katanya dengan nada meninggi dan matanya melotot.
Tempointeraktif.com - Masyarakat Minta Perda Anti Judi di Bekasi

Tempointeraktif.com - DPRD Bekasi Bentuk Panitia Khusus Antijudi

DPRD Bekasi Bentuk Panitia Khusus Antijudi
Senin, 30 Mei 2005 | 21:54 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Musyarawarah DPRD Kota Bekasi yang membahas masalah perjudian akhirnya menelorkan kesepakatan membentuk panitia khusus peraturan daerah yang melarang judi pada hari ini (30/5).

"Musyawarah sudah menyetujui pembentukan panitia khusus yang diharapkan akan menerbitkan peraturan daerah tentang judi," kata Wahyu Prihantono, anggota Dewan dan Ketua Fraksi PKS.

Maraknya perjudian di Kota Bekasi ini, kata Wahyu, sudah mengkhawatirkan. Karena itu, dia mendukung dan akan memperjuangkan terbitnya peraturan daerah yang mengawasi perjudian di kota ini.

Anggota Komisi D DPRD, Heri Koswara, menjelaskan, panitia musyawarah judi itu beranggotakan 17 dan akan bekerja untuk mengkaji lebih mendalam tentang rumusan Peraturan Daerah Antiperjudian.

Anggota Dewan dan juga Majelis Ulama Indonesia Kota Bekasi menyatakan kecewa karena Wali Kota Bekasi enggan menyusun Peraturan Daerah Antiperjudian.

Wali Kota Bekasi Akhmad Zurfaih membantah dirinya melindungi perjudian karena terkesan keberatan dibentuknya Peraturan Daerah Antiperjudian. "Saya ingin mengkaji dulu agar ketika jadi peraturan daerah, penerapannya menjadi lebih mudah, bukannya sebaliknya," kata dia.
Tempointeraktif.com - DPRD Bekasi Bentuk Panitia Khusus Antijudi

Tempointeraktif.com - DPRD Depok Ajukan Rancangan Peraturan Seks Bebas

DPRD Depok Ajukan Rancangan Peraturan Seks Bebas
Selasa, 09 Januari 2007 | 20:21 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta:Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Depok mengajukan draft Peraturan Daerah (Perda) Hubungan Seks Bebas dan Seks Komersial serta Perda Anti Minuman Beralkohol ke Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Anggota Komisi A DPRD Kota Depok Qurtifa Wijaya mengatakan tujuan pengajuan draft dua Perda ini adalah meminta masukan dan saran-saran tertulis atas rancangan tersebut terutama kajian secara hukum. "Kami minta masukannya," katanya kepada wartawan di gedung DPRD Kota Depok, Selasa (9/1).

Qurtifa melanjutkan, selain meminta masukan dan saran, Komisi A juga akan melakukan audiensi dengan Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islma FH UI. Rencananya audiensi akan dilakukan pada 22 Januari mendatang.Tempointeraktif.com - DPRD Depok Ajukan Rancangan Peraturan Seks Bebas

Gubernur Aceh yang Baru

Jum'at, 09 Februari 2007
EDITORIAL
Gubernur Aceh yang Baru

ACEH resmi memasuki sejarah baru di bidang pemerintahan. Bahkan sejarah baru dalam perspektif nasional.

Sejarah baru itu ialah Aceh memiliki gubernur dan wakil gubernur baru hasil pilihan rakyat secara langsung yang berasal dari calon independen. Sesuatu yang sangat istimewa, yang pertama terjadi di Republik ini, karena memang kini Aceh merupakan satu-satunya daerah yang pintu pilkadanya terbuka bagi calon independen.

Tonggak sejarah baru itu resmi diukir dengan dilantiknya Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kemarin. Pelantikan dilakukan Menteri Dalam Negeri M Ma'ruf serta dihadiri pula sejumlah duta besar negara sahabat dan para gubernur.

Yang juga perlu digarisbawahi ialah kenyataan politik bahwa rakyat Aceh ternyata lebih memilih pemimpin yang sebelumnya angkat senjata bergabung dengan Gerakan Aceh Merdeka. Sebuah bukti tersendiri, bahwa rakyat Aceh ternyata tidak memercayai tokoh-tokoh yang dicalonkan partai politik. Setidaknya, ini bukti bahwa rakyat enggan memilih pemimpin stok lama, karena menginginkan perubahan.

Dibukanya peluang calon kepala daerah dari calon independen mestinya juga diberlakukan untuk daerah lain. Undang-undang yang mengatur bahwa hanya partai politik yang berhak mencalonkan kepala daerah hendaknya segera diubah. Aturan partai politik memonopoli pencalonan pemimpin bangsa, selain tidak demokratis bagi mereka yang tidak berpartai, juga menjadikan partai politik puas berperan sebagai makelar politik. Puas dan tidak malu.

Oleh karena itu harus ada perubahan pemikiran pemerintah dan DPR untuk juga membuka pintu bagi calon independen. Bukan hanya untuk pilkada, melainkan juga untuk pemilu presiden.

Sebaliknya, Aceh juga menjadi ujian sejarah tersendiri, apakah pemimpin yang berasal dari calon independen sungguh mampu merealisasikan aspirasi rakyat dan benar-benar terbukti dapat memikul amanah rakyat.

Dan khusus Aceh, tantangan dan masalah yang dihadapi jauh lebih kompleks karena gubernur dan wakil gubernur baru menghadapi warisan masalah akibat bencana tsunami. Rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh hingga kini masih terbengkalai.

Bagi siapa pun, dipilih langsung oleh rakyat tentu merupakan beban yang sangat berat. Tetapi, khusus bagi Irwandi Yusuf, beban sangat berat di pundaknya itu menjadi berlipat ganda. Yaitu, ia juga disorot sejarah, bahwa berjuang dalam damai tidak lebih enteng daripada berjuang dengan bersenjata. Bahkan, mungkin lebih berat.

Oleh karena memikul beban yang berlipat ganda, Gubernur Irwandi jelas memerlukan dukungan yang juga berlipat ganda agar berhasil menjalankan tugasnya.

Sesungguhnya, kemajuan Aceh pascakonflik dan pascatsunami di bawah kepemimpinan Irwandi dan Nazar bukan hanya penting bagi rakyat Aceh, melainkan juga bagi bangsa ini secara keseluruhan. Sebab, perdamaian di Aceh hanya tercipta berkat terlibatnya peranan internasional. Adalah komitmen internasional pula yang menolong Aceh ketika bencana tsunami yang paling tragis dalam sejarah peradaban meluluhlantakkan Aceh.

Melalui forum ini, kita mengucapkan selamat bekerja kepada pasangan gubernur dan wakil gubernur baru, Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar. Selamat mengemban tugas yang telah dipercayakan rakyat melalui pemilu yang berlangsung lancar dan damai. Selamat memasuki babak sejarah baru yang dipercayakan rakyat kepada Anda berdua.

SOLO--MIOL: Pemkot Solo tidak tertarik untuk membahas Perda syariat

SOLO--MIOL: Pemkot Solo tidak tertarik untuk membahas usulan pengasuh Pesantren Al Mukmin Ngruki Ustad Abu Bakar Ba'asyir yang menginginkan adanya peraturan daerah Syariat Islam di kota Solo.

"Rasanya Pemkot Solo tidak akan membahasnya. Kita mengedepankan kemajemukan masyarakat kota Solo. Lagi pula perda itu tidak boleh bertentangan dengan UU di atasnya, dan UU tidak boleh bertentangan dengan UUD," tukas Wakil Wali Kota Solo Hadi Rudyatmo, Minggu, ketika dimintai komentarnya terkait usulan Ba'asyir tersebut.

Ia menambahkan bahwa sudah sangat jelas bahwa dalam UUD 45 menyebutkan NKRI ini berdasar Pancasila. Karena Pemkot Solo tidak akan menyimpangi konstitusi, dan mengingat kemajemukan dan pluralitas masyarakat kota Solo, maka sejak sejak awal, tidak pernah terpikirkan untuk membahas adanya perda untuk agama tertentu.

"Biarlah semua berjalan apa adanya, masyarakat menikmati kemajemukan dan pluralitasnya sudah penuh tanggung jawab. Jadi biarlah seperti ini, tidak perlu adanya perda yang mengatur agama tertentu," imbuhnya.

Sehari sebelumnya, Amir Majelis Mujahidin Indonesia yang juga merupakan pengasuh Pesantren Al Mukmin Ngruki, Ustadz Abu Bakar Ba'asyir ketika menerima kedatangan Muspida Kota Solo-- minus Walikota Jokowi dan Wakil Walikota Hadi Rudyatmo -- telah menyampaikan usulan perlunya kota Solo membuat Perda Syariat Islam. Mereka yang mengunjungi Ba'asyir itu antara lain Ketua DPRD Farid Badres, Kapoltabes AKBP Lutfi Lubihanto, Dandim Letkol Wisnoe PB.

Dia pun mengemukakan, sebaiknya keberadaan perda syariat Islam itu nantinya disertai dengan pemberian sanksi bagi warga yang melanggar Perda. Contoh konkretnya, jika warga muslim sampai lalai menjalankan salat lima waktu, maka polisi harus menindak.

"Perda juga harus memuat ketentuan lain seperti kewajiban puasa di bulan Ramadan, kewajiban haji bagi yang mampu dan kewajiban mengenakan jilbab bagi muslimah. Begitu halnya soal larangan judi, minuman keras dan sebagainya," ungkap Ba'asyir di depan Muspida Solo yang bersilaturahmi ke Pesantren Al Mukmin Ngruki, Sabtu (17/6).

Pada bagian lain, Ba'syir menyatakan muslim tidak akan memaksakan ajarannya kepada non muslim. Tetapi sebaliknya non muslim juga tidak boleh menghalang-halangi umat Islam dalam menjalankan kewajibannya.

Sementara itu anggota DPRD Supriyanto ketika diminta komentarnya juga menyatakan bahwa Kota Solo tidak perlu ada Perda yang mengatur agama tertentu.

"Masyarakat Kota Solo itu sangat majemuk dan pluralis. Jadi biarlah seperti ini, tidak perlu ada Perda yang mengatur untuk agama tertentu," tegas anggota Fraksi Partai Demokrat ini. (Wj/OL-03)Media Indonesia Online

Jaringan Islam Emansipatoris

Sejumlah Peraturan Daerah (Perda) syariat Islam kini mulai digugat. Penerbitannya yang tidak mengacu pada falsafah hidup bangsa, Pancasila dan UUD 1945, dipertanyakan kembali. Keberadaannya dianggap mengancam prinsip keragaman dan kemajemukan bangsa yang tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Hingga kini, tercatat puluhan perda yang mengatur pemberlakuan syariat Islam. Di antaranya Indramayu dengan Perda No 7 Tahun 1999, Bengkulu dengan Perda No 24 Tahun 2000 dan Instruksi No 3 Tahun 2004. Solok memberlakukan Perda No 10 Tahun 2001 dan Perda No 6 Tahun 2002. Sumatera Barat dengan Perda No 11 Tahun 2001 dan instruksi Wali Kota Padang pada 7 Maret 2005. Di Balukumba dengan Perda No 4 Tahun 2003, Enrekang dengan Perda No 6 Tahun 2005, Maros dengan Perda No 15 Tahun 2005, serta Nusa Tenggara Barat, Takalar, Sinjai, Gowa, Banten, Tasikmalaya, dan Cianjur.

Ditambah lagi penetapan yang secara langsung memberlakukan syariat Islam, seperti di Pamekasan dengan Surat Edaran Bupati No 450 Tahun 2002. Mengarah ke hal yang sama adalah Riau, membentuk Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam yang digalang oleh Hisbut Tahrir Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Juga Garut, bupatinya membentuk Lembaga Pengkajian Persiapan Penerapan Syariat Islam. Sementara di tingkat nasional adalah munculnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

Salah Kaprah

Berbagai turunan peraturan pemerintah dan undang-undang itu disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang salah kaprah. Perda-perda syariat menunjukkan umat Islam makin terjebak dalam sektarianisme. Prinsip keragaman yang merupakan fakta natural dikalahkan oleh sikap ananiyah (egoisme) kelompok yang merasa paling benar dan merasa paling berhak menentukan baik-buruk dan benar-salah.

Satu sisi hal ini disebabkan euforia reformasi. Kebebasan berpikir dan menentukan nasib sendiri yang selama Orde Baru dibendung, sebab reformasi bendungan itu bobol sehingga air bah keinginan dan cita-cita mengalir deras tak terkontrol dan tanpa arah. Rambu-rambu dasar kebangsaan pun tak pelak hanyut terbawa air bah itu.

Sisi lainnya adalah sebab pemahaman keagamaan yang beku. Syariat Islam dipahami sebatas aspek-aspek formalnya. Fikih yang sebetulnya sekadar pemahaman dan penafsiran keagamaan untuk masa dan tempat tertentu, dikaburkan menjadi Syariat dan seakan-akan sempurna dan memuat segala sesuatu.

Ditegaskan di sini bahwa Syariat adalah nilai-nilai global-universal bagi terciptanya tatanan sosial yang adil dan manusiawi. Rincian petunjuk teknis dan realisasinya berkomunikasi dengan hiruk-pikuk kemanusiaan sesuai masa dan tempatnya. Di sini khazanah Ushul Fikih sudah menegaskan, al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman (perputaran ada atau tidaknya hukum berdasarkan pada sebabnya), taghayyur al-hukm bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah (perubahan hukum mengikuti perubahan zaman dan tempat).

Karenanya yang penting sekarang ini adalah menggali Syariat (bukan Fikih) untuk diaplikasikan di kehidupan riil masyarakat. Pemahaman salah kaprah bahwa Syariat Islam terletak pada bentuk dan baju harus segera diluruskan kembali, mengarah pada prinsip nilai yang diperuntukkan kemaslahatan manusia.

Wahabisme

Pemahaman keagamaan yang demikian sering disebut Wahabisme. Wahabisme adalah salah satu paham keislaman yang berpandangan kaku dan formalistik, didirikan oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahab (1701-1793 M). Perjuangannya di bidang akidah dan ketauhidan, mengembalikan akidah umat Islam kepada tauhid yang jauh dari khurafat, tahyul dan bid’ah.

Corak pemikiran Wahabisme adalah tekstualis. Ini berakibat maqashid al-syari’ah (prinsip dasar tujuan syariat) tidak didalami secara lebih serius, bahkan cenderung diabaikan.

Wahabisme menekankan kebenaran harus sesuai teks kitab suci. Penalaran-penalaran yang tidak bersumber dari kitab suci dianggap sesat dan menyesatkan. Tak pelak, khazanah tradisi (‘urf) dan kebenaran yang memercik dari setiap sudut pandang diberangus tanpa kompromi.

Ikonoklasme (pemberangusan budaya) tidak terhindarkan. Kegarangan Muhammadiyah pada 1980-an kepada komunitas Nahdlatul Ulama berkaitan tawashul, tahlilan dan ziarah kubur hanya sebagian kecil dari ekspresi Wahabisme. Wahabisme merupakan doktrin keagamaan resmi pemerintah Arab Saudi. Wajar kiranya jika Arab Saudi membela Wahabisme mati-matian, karena merupakan sumsum negara.

Seperti halnya Pancasila dan UUD 1945 yang memang harus direalisasikan mati-matian dalam hiruk-pikuk kenegaraan dan kebangsaan kita. Lucunya Wahabisme mau diperlakukan sama di negeri ini. Sehingga yang terjadi adalah Arabisasi alih-alih ingin melakukan Islamisasi. Islam yang semestinya sangat luwes di setiap masa dan tempat, terdistorsi hanya seperti kultur dan sosiologi Arab.

Persoalan lainnya adalah Wahabisme sering dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan seperti di kerajaan Arab Saudi. Ijtihad untuk pembebasan masyarakat dan daya kritis terhadap kesewenang-wenangan penguasa dibelenggu dengan dalih kembali kepada kitab suci (Al-Quran dan Hadits). Inilah rawannya paham keagamaan jika sudah masuk struktur kenegaraan dan kebangsaan. Ia berpotensi menjadi alat kekuasaan. Sejarah kelam pemberangusan mazhab-mazhab lain oleh mazhab yang berkolaborasi dengan kekuasaan sudah jamak diketahui. Sejarah kelam penggunaan doktrin keagamaan untuk justifikasi kepentingan dan egoisme kelompok tertentu sudah sering kita saksikan.

Hubb al-Wathan

Kecenderungan Wahabisme adalah cermin dari lemahnya nasionalisme. Karena itu, sekarang saatnya mengampanyekan semangat nasionalisme. Semboyan hubb al-wathan min al-iman (cinta tanah air bagian dari keimanan) harus didengungkan kembali oleh kelompok-kelompok agama. Pada masa revolusi semboyan ini terbukti menyatukan berbagai kelompok agama menentang penjajahan.

Menilik pesan K.H. Ahmad Shiddiq dalam Muktamar NU 1984, umat Islam harus mendasarkan komunikasinya di dunia pada, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seagama), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia).

Kesadaran beragama tidak menyebabkan kesadaran terhadap kebangsaan dan kemanusiaan luntur. Keyakinan terhadap agama tertentu tidak boleh merusak pilar-pilar kebangsaan dan kemanusiaan.

Hal-hal seperti itulah yang tentu saja harus kita pahami, bahwa kecenderungan untuk memformalkan syariat Islam itu bisa bersinggungan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana telah dipatrikan dalam sila kedua dari Pancasila.

Dalam konteks itu, jika saat ini ada upaya dari pemerintah pusat untuk menertibkan (ke arah pencabutan) peraturan daerah dan keputusan lain yang terkait dengan pemberlakuan syariat Islam itu, dapat dipahami sebagai upaya untuk meluruskan kembali jalan Pancasila. Bangsa Indonesia telah tertakdirkan sebagai sebuah komunitas yang beraneka ragam. Karena itu, sikap hormat terhadap perbedaan merupakan kesejatian orang Indonesia apa pun agamanya.* Jaringan Islam Emansipatoris

Membendung Perda Syariat - Radar Sulawesi Tengah Online

Berita Opini
Jumat, 29 September 2006
Membendung Perda Syariat

Oleh M. Hasibullah Satrawi

PERDA syariat kembali menjadi isu panas yang diperbincangkan banyak pihak. Menurut sebagian masyarakat, perda syariat adalah jawaban bagi banyak masalah yang melilit bangsa ini, terutama menyangkut dekadensi moral. Sedangkan sebagian lain berpandangan berbeda. Bagi mereka, perda syariat adalah masalah tersendiri. Munculnya perda syariat justru menambah tumpukan masalah yang ada.

Tulisan ini mencoba mengurai beberapa persoalan mendasar terkait pro kontra perda syariat, terutama menyangkut pemahaman tentang syariat. Secara kebahasaan syariat berarti jalan. Di dalam Alquran terdapat tiga ayat yang bermakna jalan (Qs. 45: 18, 5: 48, dan 42: 13). Syariat Islam berarti jalannya umat Islam. Syariat Kristen berarti jalannya umat Kristen. Begitu pula dengan syariat Yahudi. Lebih jauh Alquran menyebutkan, masing-masing agama mempunyai syariat tersendiri (Qs. 5: 48).

Umat beragama dianjurkan mengikuti jalannya (syariat) masing-masing. Para ulama kemudian memaknai jalan dengan ajaran. Jalan Islam berarti ajaran Islam. Mengikuti jalan Islam berarti mengamalkan ajarannya.

Pada tahap ini harus dibedakan antara syariat, pemahaman terhadap syariat, dan penerapan terhadap pemahaman syariat. Dalam pemikiran Islam, pemahaman terhadap syariat disebut dengan istilah fikih.

Adapun penerapan terhadap fikih yang tak lain adalah pandangan relatif manusia terhadap ajaran syariat yang absolut disebut dengan istilah tathbîqu ahkâmil fiqh (penerapan terhadap hukum-hukum fikih), bukan tathbîqu as-syarî'ah (penerapan terhadap syariat). Terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara syariat, fikih, dan tathbîqu ahkâmil fiqh. Syariat murni ilâhî (dari Tuhan), sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh bersifat manusiawi.

Syariat murni dari Tuhan, sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh seutuhnya dari manusia dan bersifat relatif. Syariat tidak pernah salah. Sedangkan fikih dan tathbîqu ahkâmil fiqh sering salah kaprah, atau bahkan salah sama sekali.

Pada tahap berikutnya, fikih menjadi mapan dan menjadi disiplin ilmu tersendiri, yaitu ilmu fikih. Sebagai kreasi manusia, fikih yang bertujuan memahami syariat sarat dengan perbedaan dan pergulatan. Berbeda dengan syariat yang tunggal (dalam satu agama), fikih terbagi ke dalam banyak aliran dan mazhab. Ada mazhab Syafi'iyah, Hanafiyah, Malikiyah, Hanbaliyah, Dzahiriyah, dan masih banyak aliran lain.

Bahkan, tak berlebihan bila dikatakan bahwa setiap muslim mempunyai fikihnya sendiri terhadap ajaran syariat. Karena itu, perbedaan, pluralitas pemahaman, atau bahkan debat terbuka, adalah hal lumrah dalam dunia fikih.

Di sini jargon penerapan syariat Islam atau bahkan perda syariat tampak jelas "belangnya". Sebab, yang mereka maksud dengan penerapan syariat Islam sesungguhnya adalah penerapan terhadap keputusan atau hukum-hukum fikih (tathbîqu ahkâmil fiqh) yang tak lain hasil ijtihad imam, atau mazhab tertentu dalam permasalahan tertentu. Bila demikian, keputusan atau hukum fikih mana yang hendak diterapkan? Dengan kata lain, pandangan fikih mazhab mana dan pandangan fikih imam siapa yang hendak dijadikan perda?

Pertanyaan ini selamanya akan menggantung. Sebab, para pendukung jargon penerapan syariat Islam atau perda syariat tak memperhatikan perbedaan syariat, fikih, dan penerapan terhadap keputusan fikih. Sebagian (mungkin) memahami perbedaan ini, namun karena alasan dan kepentingan tertentu, mereka memilih diam, bahkan mendukung penuh jargon penerapan syariat Islam.

Karena itu, menurut hemat saya, salah satu yang harus dilakukan untuk membendung perda syariat adalah mengurai secara lebih mendalam dan terinci ajaran-ajaran syariat dan mengenal lebih dekat dunia fikih yang sarat perbedaan dan pergulatan itu.

Diakui atau tidak, belakangan tradisi fikih semakin melemah dalam dunia Islam. Akibatnya, acap kita merasa silau dengan keragaman, perbedaan, dan pergulatan pemikiran. Sebaliknya, keragaman dan perbedaan sering diakhiri dengan cara-cara kekerasan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan maslahat kebangsaan.

Adalah ironis ketika ilmu fikih sebagai potret pemahaman dinamis dan progresif terhadap syariat Islam menjadi stagnan, atau bahkan terancam punah. Fikih yang digunakan saat ini adalah fikih di masa lalu. Padahal, kebutuhan dan kemaslahatan yang ada saat ini jauh berbeda dengan kebutuhan dan kemaslahatan di masa lalu. Masa sekarang membutuhkan "fikih kita", bukan "fikih mereka".

"Fikih kita" bisa dirumuskan dengan merekonstruksi "fikih mereka". Dengan kata lain, harus ada pembaruan paradigmatik dalam fikih. Setidaknya dalam dua hal, pertama, pembaruan ushul fikih, atau dasar-dasar fikih. Dalam dunia fikih, ushul fikih bagaikan "pola pikir" bagi seseorang. Gerak-gerik fikih sangat ditentukan oleh "pola pikir" ini.

Bila pola pikirnya tekstualis, produk fikihnya pun kurang lebih sama. Dan, itulah yang terjadi dengan fikih Islam selama ini. Ushul fikih tampak sangat tekstualis, bahkan simplistis.

Salah satu kaidah ushul fikih, contohnya, menyebutkan, setiap perintah berarti wajib (kullu amrin yaqtadhî al-wujûb). Sedangkan setiap larangan berarti haram (kullu amrin yaqtadhî at-tahrîm).

Padahal, secara logika, secara kebiasaan, atau bahkan secara agama, perintah tak selamanya bermakna wajib, sebagaimana larangan tak selamanya bermakna haram. Karena perintah dan larangan sering dimaksudkan sebagai seruan moral (al-irsyâd, an-nadb, al-ibâhah, dll.).

Bahkan, kalau kita mengacu kepada Alquran, ayat-ayat yang secara spesifik mengharamkan dan menghalalkan sangatlah sedikit -bila dibandingkan dengan ayat-ayat moral.

Sebaliknya, ayat-ayat moral sangatlah banyak. Begitu juga hadis Nabi. Karena itu, teks-teks yang bersifat anjuran moral seharusnya menjadi batasan dan patokan bagi teks-teks penghalalan dan pengharaman. Bukan sebaliknya.

* M Hasibullah Satrawi, sarjana hukum Islam dari Al-Azhar Kairo, Mesir. saat ini peneliti di P3M Jakarta. Membendung Perda Syariat - Radar Sulawesi Tengah Online

Hidayatullah.com - Perda Syariat Tak Masalah

Perda Syariat Tak Masalah Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Senin, 26 Juni 2006
Partai Golkar dan Wakil Presiden menerima Perda bernuansyah Syariat Islam. Sementara itu, Wapres mendukung asal tidak berlebihan

Hidayatullah.com—Sikap dukungan Partai Golkar dikeluarkan terkait polemik desakan kalangan LSM dan kalangan Kristen terhadap perda-perda yang bernuansa syariat Islam. Menurut Ketua DPP Partai Golkar Yahya Zaini, yang juga koordinator bidang keagamaan Partai Golkar itu mengatakan, Golkar tidak alergi terhadap perda syariat. Hanya, penamaan dan norma-normanya harus diperlunak sehingga tidak memicu kontroversi, khususnya dari penolak syariat.

"Sesuai otonomi daerah, Golkar mendukung lahirnya perda-perda syariat sepanjang diminta masyarakat setempat dan tidak ada keberatan dari pihak lain," jelasnya. Golkar mendukung karena perda syariat terbukti telah memperkecil tingkat kejahatan dan hanya mengatur ketertiban sosial.

"Yang diatur soal larangan miras atau berjudi. Jadi, jangan soal kewajiban salat lima waktu, puasa, dan sejenisnya. Penamaannya pun harus lunak betul sehingga menjadi kebutuhan bersama," paparnya.

Soal anggota dewan dari Golkar yang mengajukan petisi, Yahya menyebut itu hanya sikap pribadi. Sepanjang belum diputuskan DPP dan fraksi, anggota berhak menyuarakan pendapat. "Tapi, sikap DPP jelas, yaitu mendukung sepanjang normanya mengatur keteraturan sosial dan diminta masyarakat," tegas sekretaris Fraksi Partai Golkar (FPG) itu.

Sementara itu, Wakil Presiden M. Jusuf Kalla meminta, agar keberadaan peraturan daerah (Perda) yang mengandung nilai-nilai syariat Islam tidak berlebihan dan sifatnya memfasilitasi umat Islam menjalankan kewajiban beragama.

"Semestinya perda-perda itu jangan berlebihan dan mengambil alih fungsi agama," kata Wapres ketika meresmikan Masjid Al-Markaz Al-Islami, di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Ahad kemarin sebagaimana dikutip Antara.

Menurut Wapres, sebagai umat Islam tentu saja ia mengingini tidak ada yang tidak melaksanakan syariat Islam.

Ia pun mengatakan, perda yang memuat syariat Islam sifatnya adalah memelihara dan memfasilitasi umat Islam dalam menjalankan kewajibannya. [cha, berbagai sumber]
Hidayatullah.com - Perda Syariat Tak Masalah

detikcom - Akbar Vs Kalla Soal Perda Syariat

detikcom - Akbar Vs Kalla Soal Perda Syariat
24/06/2006 15:26 WIB

Akbar Vs Kalla Soal Perda Syariat
Ken Yunita - detikcom

Jakarta - Pernyataan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla soal perda bernuansa syariat Islam membuat Akbar Tandjung khawatir. Mantan Ketum Golkar ini mengingatkan kalau ucapan Kalla tidak sesuai dengan prinsip dasar Golkar.

"Ketua Umum Golkar itu mengatakan tidak ada soal dengan perda bernuansa syariat Islam. Pernyataan itu menurut saya, dia sudah jauh dari dasar-dasar perjuangan Golkar. Jelas Golkar menolak negara Islam atau negara yang berdasarkan syariat Islam karena kita ini Pancasila. Ini sudah jadi prinsip dasar Golkar," cetus Akbar.

Hal ini disampaikan dia dalam seminar soal demokrasi di Universitas Paramadina, Pondok Indah, Jakarta Selatan, Sabtu (24/6/2006).

"Jadi bagaimana bisa Ketua Umum Golkar bisa berkata seperti itu? Saya agak khawatir dengan pernyataan dia itu," ucap Akbar.

Ditegaskan mantan Ketua DPR ini, dirinya termasuk yang tidak setuju dengan perda bernuansa syariat Islam. Alasannya, perspektif soal Islam di Indonesia belum sama.

"Indonesia yang begini majemuk, jika ada UU bernuansa syariat Islam berkembang, maka jangan terkejut kalau nanti suatu hari ada saudara kita yang menyatakan: kami tidak bisa lagi bersama-sama dengan Indonesia karena sudah tidak cocok," kata Akbar.

"Saudara-saudara kita yang berada di wilayah timur akan melepaskan diri karena merasa tidak cocok itu. Jangan mentang-mentang mayoritas, terus tidak menghormati pandangan dari kaum minoritas," kritik Akbar.

Usai acara seminar, Akbar kepada wartawan menilai ucapan Kalla yang mengkhawatirkan itu semakin menjauhkan Kalla dari konstituennya terhadap rakyat.

Dewan Penasihat Golkar harus ambil sikap terhadap pernyataan Kalla? "Wah ini kan pandangan saya. Saya tidak tahu apakah Dewan Penasihat menyikapi dengan sesuatu atau tidak. Saya kan bukan anggota Dewan Penasihat, kecuali iya, mungkin saya akan menyampaikan pandangan itu, tapi kan tidak, ini pandangan pribadi," tandas Akbar. (sss/)

detikcom - Inilah Perda Pelacuran Tangerang yang Kontroversial Itu

detikcom - Inilah Perda Pelacuran Tangerang yang Kontroversial Itu
17/03/2006 13:07 WIB

Inilah Perda Pelacuran Tangerang yang Kontroversial Itu
Nurul Hidayati - detikcom

Jakarta - Gara-gara Lilis Lindawati-lah Perda Pelacuran Pemkot Tangerang jadi sorotan. Bahkan harian Kompas yang gencar menurunkan berita itu didemo Jumat (17/3/2006).

Cerita Lilis ini bermula ketika pada Senin 27 Februari sekitar pukul 20.00 WIB. Karyawati sebuah restoran di Cengkareng ini ditangkap petugas Trantib karena "keluyuran" malam-malam sehingga dituduh pelacur.

Esoknya dia diadili bersama 27 perempuan lainnya yang senasib dalam pengadilan tindak pidana ringan (tipiring). Pengadilan tipiring ini digelar bersamaan dengan HUT ke-13 Kota Tangerang pada 28 Februari.

Padahal Lilis "keluyuran" pada pukul 20.00 WIB karena baru saja pulang kerja. Dia lalu naik angkutan kota Roda Niaga jurusan Kalideres, Tangerang. Ketika sampai di Gerendeng, ia turun dari angkot dan mencari tumpangan angkot lain menuju rumahnya di daerah Sepatan, Kabupaten Tangerang. Biasanya, Lilis yang sedang hamil 2 bulan ini baru tiba di rumah pukul 23.00 WIB.

Nah, saat sedang menunggu angkutan menuju rumahnya itulah dia ditangkap Trantib. Meski dia menyangkal sebagai pelacur, dia tetap saja dijatuhi hukuman 8 hari penjara dan denda Rp 300 ribu.

Dalam sidang, Lilis gagal menghadirkan saksi yang bisa menyatakan dia bukanlah pelacur. Dia dihukum berdasakan pasal 4 Perda Pelacuran.

Perempuan 36 tahun itu baru dibebaskan pada hari ke-4 pada pukul 09.35 WIB setelah suaminya, seorang guru golongan III C, membayar denda.

Dari isi Perda Pelacuran itu, yang dinilai paling krusial adalah pasal 4, pasal yang menjerat Lilis dkk. Inilah bunyi lengkap Perda Pelacuran tersebut:

PERATURAN DAERAH KOTA TANGERANG
NOMOR 8 TAHUN 2005
TENTANG
PELARANGAN PELACURAN

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :
1. Daerah adalah Kota Tangerang.

2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tangerang.

3. Walikota adalah Walikota Tangerang.

4. Pelacuran adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik di tempat berupa hotel, restoran, tempat hiburan atau lokasi pelacuran ataupun di tempat-tempat lain di daerah dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa.

5. Tim adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Walikota yang keanggotaannya terdiri dari Dinas/Instansi dan pihak terkait.

6. Pelarangan adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/tidak diperkenankan.

7. Pelacur adalah setiap orang baik pria ataupun wanita yang menjual diri kepada umum untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan.

8. Hubungan seksual adalah hubungan perkelaminan antara dua jenis kelamin yang berbeda atau dua jenis kelamin yang sama.

BAB II
PELARANGAN

Pasal 2
(1) Setiap orang di Daerah baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama dilarang mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan pelacuran.

(2) Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama-sama untuk melakukan perbuatan pelacuran.

(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini, berlaku juga bagi tempat-tempat hiburan, hotel, penginapan atau tempat-tempat lain di Daerah.

Pasal 3
Setiap orang dilarang membujuk atau memaksa orang lain baik dengan cara perkataan, isyarat, tanda atau cara lain sehingga tertarik untuk melakukan pelacuran.

Pasal 4
(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan-jalan umum, dilapangan-lapangan, di rumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung-warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut-sudut jalan atau di lorong-lorong jalan atau tempat-tempat
lain di Daerah.

(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat yang kelihatan oleh umum.

BAB III
PENINDAKAN DAN PENGENDALIAN
Bagian Pertama
Penindakan

Pasal 5
(1) Walikota berwenang menutup dan menyegel tempat-tempat yang digunakan atau yang patut diduga menurut penilaian dan keyakinannya digunakan sebagai tempat pelacuran.

(2) Tempat-tempat yang ditutup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilarang dibuka kembali sepanjang belum ada jaminan dari pemilik/pengelolanya bahwa tempat itu tidak akan digunakan lagi untuk menerima tamu dengan maksud melakukan perbuatan pelacuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini.

Pasal 6
Terhadap orang yang terjaring razia karena melanggar ketentuan Pasal 4 Peraturan Daerah ini, Walikota atau pejabat yang ditunjuk mengembalikan yang bersangkutan kepada keluarganya atau tempat tinggalnya melalui Kepala Kelurahan untuk dibina.

Bagian Kedua
Pengendalian

Pasal 7
Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Tim.

Bagian Ketiga
Partisipasi Masyarakat

Pasal 8
(1) Setiap masyarakat atau siapapun berkewajiban untuk melaporkan kepada petugas atau pejabat yang berwenang apabila ia mengetahui langsung atau menduga kuat sedang berlangsungnya kegiatan pelacuran.

(2) Petugas atau pejabat yang berwenang setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, wajib menindaklanjutinya serta memberikan perlindungan kepada si pelapor.

BAB IV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 9
(1) Barang siapa melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah ini, diancam kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.15.000.000,- (Lima belas juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini, adalah Pelanggaran.

BAB V
P E N Y I D I K A N

Pasal 10
Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 9 ayat (2) Peraturan Daerah ini, dilakukan oleh Penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilingkungan Pemerintah Daerah yang pengangkatannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 11
(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada Pasal 10 Peraturan Daerah ini, mempunyai wewenang dan kewajiban melaksanakan penyidikan sebagai berikut :

a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang terhadap adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penyitaan benda atau surat;

e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

f. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui Penyidik Umum memberitahukan hal tersebut kepada Penuntut Umum, tersangka atau keluarganya;

i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 12
Hal-hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan kemudian oleh Walikota.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 13
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang.

Ditetapkan di T a n g e r a n g
pada tanggal 23 Nopember 2005

WALIKOTA TANGERANG,

Cap/ttd

H. WAHIDIN HALIM
(nrl/)

detikcom - CPNS Mesti Bisa Baca Al Qur'an

19/04/2006 16:30 WIB
Perda Makassar
CPNS Mesti Bisa Baca Al Qur'an
Gunawan Mashar - detikcom

Makassar - Pemberlakuan Perda Pendidikan Al Qur'an di Makassar kemungkinan akan dibuntuti sejumlah peraturan lain. Salah satunya: Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) musti bisa baca kitab suci umat Islam itu.

"Alangkah naifnya bila di sekolah formal diajarkan pendidikan baca Al Qur'an sementara para pegawai di kantoran tidak tahu baca Al Qur'an. Kemungkinan, akan menyusul dengan sendirinya aturan bahwa calon pegawai harus bisa baca Al Qur'an dan punya sertifikat pendidikan Al Qur'an," ujar Anas Genda, anggota Pansus Ranperda Pendidikan Al Qur'an, ketika ditemui di DPRD Sulsel, Jl Urip Sumohardjo, Makassar, Rabu (19/04/2006).

Menurut Anas, Perda Pendidikan Al Qur'an sebagai langkah awal untuk mengentaskan buta baca Al Qur'an di Sulsel. "Ini baru langkah awal, aturan lain akan menyusul dengan sendirinya," terang Anas, yang juga politikus Partai Golkar Sulsel ini.

Perda Pendidikan Al Qur'an disahkan oleh DPRD Sulsel pada Sidang Paripurna yang digelar pada Selasa kemarin (18/4/2006). Dalam Perda ini diatur bahwa pendidikan Al Qur'an diwajibkan menjadi mata pelajaran dalam muatan lokal yang diajarkan di tiap sekolah di Sulsel.

Perda Maksiat Menyusul

Setelah Perda Pendidikan Al Qur'an disetujui DPRD Sulsel, kini, menurut Anas, anggota DPRD Sulsel tengah mempersiapkan Perda tentang Pemberantasan Maksiat.

"Saat ini tengah kami rumuskan bersama teman-teman yang lain. Dalam perda ini akan diatur tentang pelarangan perbuatan maksiat, seperti judi, minuman keras, prostitusi, dan lain-lain," ujarnya.(nrl/)
detikcom - CPNS Mesti Bisa Baca Al Qur'an

detikcom - Perda Syariat Islam Mencemaskan

31/05/2006 12:00 WIB
Azyumardi Azra:
Perda Syariat Islam Mencemaskan
Ramdhan Muhaimin - detikcom

Jakarta - Intelektual muslim Azyumardi Azra mencemaskan munculnya banyak Perda Syariat Islam di berbagai daerah.

Kemunculan perda itu dinilai sebagai bentuk ketidakberdayaan aparat hukum terhadap berbagai pelanggaran dan tindak kejahatan di masyarakat.

"Perda-perda syariat itu mencemaskan," kata Azyumardi Azra saat memberikan materi dalam seminar "60 Tahun Peringatan Hari Lahir Dasar Negara Indonesia" di Auditorium Bumiputera FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Rabu (31/5/2006).

Dia juga mengatakan, perda-perda syariat tersebut harus dilihat secara hukum nasional. Apabila perda tersebut banyak yang bertentangan dengan hukum nasional, maka sebaiknya dicabut dan dihapuskan.

Menanggapi maraknya aksi kekerasan oleh sekelompok orang yang mengatasanamakan agama di beberapa daerah yang memberlakukan perda syariat, Azyumardi mengatakan, kelompok tersebut harus dibawa ke meja hijau.

Rektor UIN Syarif Hidayatullah ini mengingatkan kembali pentingnya revitalisasi Pancasila. Sebab sejak Indonesia merdeka hingga saat ini Pancasila masih relevan bagi masyarakat Indonesia yang plural daripada ideologi yang lain. (san/)

detikcom - Perda Syariat Islam Mencemaskan

detikcom - Syafii Ma'arif: Perda Syariat Bentuk Keputusasaan Sesaat

detikcom - Syafii Ma'arif: Perda Syariat Bentuk Keputusasaan Sesaat:
15/06/2006 13:51 WIB

Perda Syariat Tidak Merugikan Warga di Daerah
Gunawan Mashar - detikcom

Makassar - Kontroversi seputar permintaan 56 orang anggota DPRD RI agar Peraturan Daerah (Perda) di sejumlah kabupeten kota di Indonesia yang bernuansa syariat Islam untuk dilakukan peninjauan kembali, terus bergulir. Salah seorang anggota DPRD Sulsel, Ramli Haba, malah menganggap keberadaan Perda Syariat di sejumlah daerah adalah cermin dari aspirasi masyarakat.

"Perda Syariat tidak merugikan warga di daerah. Harusnya kita menyikapi ini secara bijaksana, proses adanya Perda bernuansa islam tidak serta merta namun melalui proses yang panjang. Dan itu bagian dari keinginan masyarakat setempat," tutur Ramli Haba, anggota DPRD Sulsel dari fraksi PAN.

Menurut Ramli, penerapan Perda Syariat malah terkesan memahami nuansa penerapan otonomi daerah, karena berdasarkan aspirasi di daerah. "Seperti di sejumlah daerah di Sulsel, penerapan itu dikehendaki oleh mayoritas islam, dan itu perlu dihormati," terangnya

Di Sulsel, sejumlah daerah memang menerapkan Perda yang bernuansa Islam. Antara lain Kabupaten Bulukumba, Maros, Pangkep, dan Jeneponto. Di Bulukumba misalnya, penerapan rill Perda bernuansa syariat Islam berupa keharusan kepala-kepala dinas di Pemkab untuk baca Alqur'an.

Pun, beberapa waktu lalu DPRD Sulsel telah mensahkan Perda baca qur'an di tiap sekolah yang ada di Sulsel.

Lebih lanjut, Ramli malah mengannggap bahwa kelompok yang meminta Perda Syariat ditinjau ulang, perlu dipertanyakan sendiri. "Kelompok islam yang fhobia islam atau kelompok lain yang mempunyai kepentingan jangka pendek," curiganya. (asy/)

Baca juga:

* Agung Laksono:
Perda Syariat Perlu Dikaji
* Perda Syariat Tidak Akan Munculkan Islam Phobia
* Mendagri Akan Batalkan Semua Perda yang Langgar Konstitusi
* Syafii Ma'arif: Perda Syariat Bentuk Keputusasaan Sesaat


Informasi Pemasangan Iklan:
Elin Ultantina
Email : iklan@detiknews.com
Telepon. 62-21-7941177 ext.521,526
SMS Iklan

Pesan LEMPUK DURIAN SUMATERA lewat internet, pesanan dikirim ke alamat, pembayaran via transfer bank. Mudah, Cepat, Praktis. Kunjungi WWW.RIAUSARI.COM (6281537549800)
Lihat SMS Cara Pemasangan


Click Here


Fasilitas: NewsUpdate, Forum, Suara Pembaca

© 2007 detikcom, All Rights Reserved | Redaksi | Kotak Pos | Info Iklan | Disclaimer

detikcom - Perda Syariat Tidak Merugikan Warga di Daerah

detikcom - Perda Syariat Tidak Merugikan Warga di Daerah:
detikcom

::detikMobile Multimedia | XL | MENTARI & MATRIX | TELKOMSEL | IM3 | FLEXI ::
detikNews | detikFinance | detikFood | detikHot | detiki-Net | detikSport | Foto | Indeks
Info Iklan |SMSiklan | Sepakbola | Ticket Box | detikShop | Surat dari Buncit


Click Here
detikNews
09/02/2007 22:27 WIB
Komnas HAM Lamban Tangani Kasus Talangsari

detikNews
09/02/2007 21:54 WIB
Diduga Lakukan Illegal Mining, 3 WN Malaysia Ditahan

detikNews
09/02/2007 21:08 WIB
Kontingen di Libanon Dapat Bantuan 2 Kamar Mandi

detikNews
09/02/2007 20:08 WIB
SBY Tugaskan BUMN & Polri Bantu Bersih Lumpur

detikNews
09/02/2007 20:05 WIB
Waspadai Pendidikan Jadi Modus Perdagangan Wanita


15/06/2006 13:51 WIB

Perda Syariat Tidak Merugikan Warga di Daerah
Gunawan Mashar - detikcom

Makassar - Kontroversi seputar permintaan 56 orang anggota DPRD RI agar Peraturan Daerah (Perda) di sejumlah kabupeten kota di Indonesia yang bernuansa syariat Islam untuk dilakukan peninjauan kembali, terus bergulir. Salah seorang anggota DPRD Sulsel, Ramli Haba, malah menganggap keberadaan Perda Syariat di sejumlah daerah adalah cermin dari aspirasi masyarakat.

"Perda Syariat tidak merugikan warga di daerah. Harusnya kita menyikapi ini secara bijaksana, proses adanya Perda bernuansa islam tidak serta merta namun melalui proses yang panjang. Dan itu bagian dari keinginan masyarakat setempat," tutur Ramli Haba, anggota DPRD Sulsel dari fraksi PAN.

Menurut Ramli, penerapan Perda Syariat malah terkesan memahami nuansa penerapan otonomi daerah, karena berdasarkan aspirasi di daerah. "Seperti di sejumlah daerah di Sulsel, penerapan itu dikehendaki oleh mayoritas islam, dan itu perlu dihormati," terangnya

Di Sulsel, sejumlah daerah memang menerapkan Perda yang bernuansa Islam. Antara lain Kabupaten Bulukumba, Maros, Pangkep, dan Jeneponto. Di Bulukumba misalnya, penerapan rill Perda bernuansa syariat Islam berupa keharusan kepala-kepala dinas di Pemkab untuk baca Alqur'an.

Pun, beberapa waktu lalu DPRD Sulsel telah mensahkan Perda baca qur'an di tiap sekolah yang ada di Sulsel.

Lebih lanjut, Ramli malah mengannggap bahwa kelompok yang meminta Perda Syariat ditinjau ulang, perlu dipertanyakan sendiri. "Kelompok islam yang fhobia islam atau kelompok lain yang mempunyai kepentingan jangka pendek," curiganya. (asy/)

detikcom - Perda Syariat Rusak Kebhinekaan

detikcom

::detikMobile Multimedia | XL | MENTARI & MATRIX | TELKOMSEL | IM3 | FLEXI ::
detikNews | detikFinance | detikFood | detikHot | detiki-Net | detikSport | Foto | Indeks
Info Iklan |SMSiklan | Sepakbola | Ticket Box | detikShop | Surat dari Buncit


Click Here
detikNews
09/02/2007 21:54 WIB
Diduga Lakukan Illegal Mining, 3 WN Malaysia Ditahan

detikNews
09/02/2007 21:08 WIB
Kontingen di Libanon Dapat Bantuan 2 Kamar Mandi

detikNews
09/02/2007 20:08 WIB
SBY Tugaskan BUMN & Polri Bantu Bersih Lumpur

detikNews
09/02/2007 20:05 WIB
Waspadai Pendidikan Jadi Modus Perdagangan Wanita

detikNews
09/02/2007 19:36 WIB
SBY Persilakan Wacana Pemindahan Ibukota


24/06/2006 14:42 WIB
Anggota FPDS:
Perda Syariat Rusak Kebhinekaan
Nala Edwin - detikcom

Jakarta - Anggota DPR dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS) Constant Mama Ponggawa menolak diterapkannya perda yang bernuansa syariat Islam.

"Saya minta perda berdasarkan aturan agama tertentu tidak perlu ada, karena dapat merusak rasa kebhinekaan dan bisa menimbulkan ego kedaerahan," kata Constant dalam diskusi di Timebreak Cafe, Plaza Semanggi, Jakarta, Sabtu (24/6/2006).

Constant juga menyakini masyarakat Indonesia tidak mengidap phobia Islam.

"Karena sejak kecil orang yang beragama lain pun hidup bersama dengan masyarakat muslim yang jumlahnya mayoritas di Indonesia. Kalau masyarakat luar yang tidak kenal Islam sesungguhnya, ya mungkin mengidap ketakutan terhadap Islam," jelasnya.

Mengenai masalah pelacuran, judi dan minuman keras, Constant mengoptimalkan KUHP dalam penegakan hukum.

Perda Pelacuran

Dalam kesempatan yang sama, Walikota Tangerang Wahidin Halim menegaskan Perda Pelacuran yang diterapkan di Tangerang bukanlah masalah syariat Islam.

Menurut dia, masyarakat Tangerang tidak setuju dengan adanya pelacuran itu. Sebab KUHP tidak menimbulkan efek jera bagi seseorang melakukan prostitusi.

"Untuk itulah kita buat Perda Pelacuran," cetusnya.(aan/)

detikcom - Perda Syariat Rusak Kebhinekaan

detikcom - Amien: Perda Syariat Harus Distop di Daerah Plural

detikNews
09/02/2007 19:36 WIB
SBY Persilakan Wacana Pemindahan Ibukota


24/06/2006 16:03 WIB

Amien: Perda Syariat Harus Distop di Daerah Plural
Gede Suardana - detikcom

Denpasar - Penerapan perda bernuansa syariat Islam di daerah plural tidaklah bijak. Sebab bertentangan dengan ideologi negara yang merangkul kemajemukan warga.

"Kalau turunan dari syariat Islam bertentangan dengan ideologi negara, harus dihentikan," tegas mantan Ketua Umum PAN Amien Rais.

Hal ini disampaikan dia usai acara pelantikan dan pengukuhan pengurus DPW PAN Bali di Hotel Kartika Plaza, Kuta, Bali, Sabtu (24/6/2006).

"Misalnya di suatu daerah, masyarakatnya terbagi dalam beberapa agama atau suku yang lain-lain, tentu tidak bijak kalau ada kekuatan putih yang memaksakan kehendaknya," kata Amien.

Namun jika syariat Islam diturunkan menjadi perda yang tidak bertentangan dengan Pancasila, menurutnya, itu masuk akal.

"Seperti di Aceh, memang seluruh anggota DPR-nya minta syariat Islam. Tentu kita tidak bisa apa-apa. Tentu tidak boleh ada pemaksaan," terang Amien.

Pada era reformasi, Aceh menjadi otonomi khusus yang menerapkan syariat Islam. Sebab Aceh betul-betul khusus sekali. Namun bukan berarti daerah-daerah yang lain bisa.

"Misalnya di Bali yang 80 persen Hindu, karena ada hal-hal prinsip Hindu yang bisa diturunkan menjadi pedoman yang tidak bertentangan dengan Pancasila, saya kira cukup legal, legitimate, sah, dan tidak masalah," tandas Amien. (sss/)


detikcom - Amien: Perda Syariat Harus Distop di Daerah Plural

Perda Syariat; Aspirasi Masyarakat Daerah?

Tatang Astarudin
syariat.pdf (application/pdf Object)

Perda Shariah and Indonesian Women

Paper Dewi Candraningrum tentang Perda Syariah dan Perempuan
PaperPERDASHARIA.pdf (application/pdf Object)

Korban Pertama dari Penerapan Syariat Adalah Perempuan - Jaringan Islam Liberal (JIL)

Jaringan Islam Liberal (JIL)
Jum'at, 9 Februari 2007
Edisi Bahasa Indonesia
pencarian



milis jil » newsletter jil »

* Depan
* Tentang JIL
* Program
* Kontak

Dr. Moeslim Abdurrahman:
Korban Pertama dari Penerapan Syariat Adalah Perempuan
Wawancara | 16/09/2001

Kalau kita belajar dari pengalaman di Sudan atau Pakistan atau negeri Islam lainnya yang lebih dahulu melakukan penerapan syariat Islam, saya kira, pihak pertama yang paling merasakan dampak pelaksanaan syariat islam adalah kaum perempuan. Ini karena banyaknya regulasi dalam Islam dalam pelbagai hal. Misalnya, soal pengenaan pakaian dan lain-lain.

Banyak dampak negatif yang bakal muncul dari pemaksaan penerapan syariat Islam di Indonesia. Dari soal kemiskinan, ketidakadilan hukum, hingga perampasan hak-hak kewarganegaraan akibat sentralisme kekuasaan pada hanya satu penafsiran. Korban pertama yang bakal muncul akibat penerapan syariat Islam itu adalah kaum perempuan. Karena, menurut Dr. Moeslim Abdurrahman, banyak sekali regulasi dalam Islam yang membatasi ruang gerak kaum perempuan. Simak wawancara Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal dengan pengamat keagamaan yang juga seorang aktivis LSM itu.

Apa sih dampak dari pelaksanaan syariat Islam yang sekarang ramai dituntut sebagian kaum muslim di Indonesia?

Kalau kita belajar dari pengalaman di Sudan atau Pakistan atau negeri Islam lainnya yang lebih dahulu melakukan penerapan syariat Islam, saya kira, pihak pertama yang paling merasakan dampak pelaksanaan syariat islam adalah kaum perempuan. Ini karena banyaknya regulasi dalam Islam dalam pelbagai hal. Misalnya, soal pengenaan pakaian dan lain-lain.

Kedua, kelompok minoritas non-muslim. Alasannya, saat ini kita sedang mencari tafsiran sesungguhnya kalau syariat islam diterapkan dalam bentuk hidup bersama. Apakah kalau kita merefer kepada Piagam Madinah, masih tergambar bahwa kelompok Islam berkuasa dan oleh karenanya ada perlindungan. Sementara kelompok non-Muslim menjadi warga kelas dua.

Ketiga, sebagaimana yang terjadi di Sudan dan lain-lain, kalau syariat Islam diterapkan dengan asumsi hukum hudud dilaksanakan secara konsisten, maka orang-orang miskin menjadi korban paling pertama.

Mengapa demikian?

Ya karena kalau orang mencuri ayam kan jelas dia telah mencuri sesuatu. Sementara bagi pejabat atau penguasa yang melakukan korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan kan belum jelas betul.

Dalam hukum Islam atau fiqh kita juga belum ada bab khusus tentang korupsi?

Ya belum ada al-fashlu min al-korupsi. Ha..ha..ha..

Saya akan membahas dari yang pertama, yakni mengenai implikasi terhadap perempuan. Bisakah Pak Muslim berbicara lebih detil mengenai hal itu?

Pada awal-awal misalnya, katakanlah kita nggak usah berbicara di Afghanistan yang terlalu ekstrem dalam melaksanakan syariat Islam dan berimplikasi secara serius terhadap kaum perempuan. Di Iran saja, pada awalnya, yang paling gelisah dan merasakan akibatnya adalah kaum perempuan. Padahal masyarakat Iran jauh lebih terdidik. Mereka sangat dibatasi dengan regulasi Islam.

Mengapa di Iran Khatami menang? Ya karena salah satu faktornya ia mendapat dukungan kuat dari perempuan yang ingin interpretasi yang lebih liberal soal syariat Islam. Misalnya, soal jilbab, soal keterbatasan-keterbatasan, soal muhrim (baca; mahram) dan lain-lain. Kita sudah terbiasa dengan perempuan yang kaya, atau pengusaha, yang sudah janda dan ingin berumrah atau naik haji, bisa saja pergi sendirian. Artinya, soal muhrim bisa diartikan kembali dalam kehidupan global sekarang ini.

Menurut Anda, mereka yang mengusulkan syariat islam sudah memikirkan implikasi-implikasi seperti itu?

Saya belum tahu. Dulu saat Masyumi memperjuangkan Piagam Jakarta, menurut saya berdasar bacaan saya terhadap pemikiran Natsir dan Mohammad Roem, dan jika mereka menang dalam sidang konstituante, tentu yang muncul adalah tafsiran modern terhadap penerapan syariat Islam. Karena ide-ide mengenai Islam yang muncul dari mereka adalah ide-ide yang ditimba dari modernitas dan demokrasi.

Sekarang ini, saya khawatir, merupakan perpanjangan dari apa yang so-called penekanan identitas ketimbang gagasan-gagasan genuine yang menjadi kutub perjumpaan Islam dengan modernisme. Ini karena kelompok yang memunculkan syariat Islam saat ini sangat miskin wacana dan perjumpaannya dengan gagasan-gagasan baru itu.

Adakah contoh negara muslim di mana penerapan syariat berpengaruh pada hak-hak kaum perempuan?

Kalau kita melihat Arab Saudi, kaum perempuan ribut dengan polisi agama dan mereka menuntut bisa menyetir sendiri dan memiliki driver’s licence sendiri. Itu bersifat contested namanya. Masalahnya, apakah nanti perempuan terpelajar akan menggugat hal itu atau tidak?

Intinya, kelompok penuntut syariat Islam masih terjebak pada isu-isu besar tanpa membicarakan hal-hal detil?

Di Sudan, sudah menjadi satu pengalaman menarik, di mana di Sudan selatan yang menjadi minoritas akibatnya tidak merasa memiliki negara. Nah, sama halnya dengan Indonesia. Bisa jadi, orang-orang Islam di Indonesia bagian Timur yang nota bene minoritas ketimbang Indonesia bagian Barat, apakah mereka merasa seperti Sudan selatan yang tidak merasa memiliki negaranya sendiri.

Nah, lebih kompleks lagi, saat Otonomi Daerah dilaksanakan, misalnya Propinsi Banten yang formula penerapan syariatnya bisa jadi berbeda dengan daerah lain. Misalnya, di Jawa Tengah, para kyainya yang juga minum anggur kolesom cap Orangtua yang ada alkoholnya karena dianggap jamu. Bisa jadi di propinsi lain hal itu tidak bisa diterima. Intinya, soal syariat Islam itu masuk dalam kategori imagination.

Anda tadi menyebutkan dampak syariat Islam akan merepotkan orang Miskin. Apa alasannya?

Salah satu contoh: Karena dampak kemiskinan misalnya, seorang perempuan yang terpuruk secara sosial. Kemudian dia tidak ada pilihan, tidak bisa bekerja di pabrik garmen dan lain-lain akhirnya terperosok ke dunia pelacuran. Itu bukan fenomena, bila ia menjadi pelacur itu bukan karena women choice. Tidak ada seorang perempuan yang bercita-cita jadi pelacur kecuali sangat terpaksa.

Lantas bila ada pelaksaan syariat Islam, mereka kemudian ditertibkan, dirazia lalu ditangkapi dan didera, dirajam. Persoalan kemiskinan ini belum tuntas terselesaikan kemudian kita mendapat tambahan pekerjaan. Tidak bisa syariat Islam melupakan akar persoalannya. Orang-orang Islam yang termarginalisasi ini menderita dua kali. Pertama, secara sosial ia menderita dan kedua, secara syariah, ia menjadi viktim pertama. Sementara, kita yang merazia mereka, dan kita membayangkan diri sebagai orang yang paling suci melaksanakan syariat, kemudian merasa paling berhak merajam atas nama Allah. Ini persoalan sepele saja.

Atau, orang-orang yang terkena PHK misalnya, seperti banyak diberitakan di koran, ia lantas mencuri ayam tetangganya karena anaknya sakit keras.

Kalau ada argumen, katakanlah, kalau mereka kuat imannya pasti tidak akan mencuri. Coba mereka kuat imannya, pasti tidak akan mencuri?

Ya, tapi kalau orang nggak bisa makan bagaimana memperkuat iman. Bukankah ada adagium mengatakan kada al-faqru an yakuna kufran (orang fakir dekat dengan kekafiran). Poin saya, persoalan-persoalan sosial dan ketimpangan lebih merupakan masalah struktural. Ya, semata-mata persoalan kehidupan, tergantung kebijakan politiklah. Kalau kita melaksanakan syariat Islam secara keras, sesuai prosedur, dan letterlijk, misalnya orang mencuri langsung diamputasi tangannya.

Artinya, yang paling penting adalah keadilan dulu?

Ya, sebenarnya bukan hanya syariat Islam. Hukum positif bila dilaksanakan dengan semangat seperti itu juga merugikan kaum marginal. Misalnya, ada Perda yang mengabaikan semangat keadilan juga akan mendatangkan kemudharatan. Apalagi bila diilhami oleh pengatasnamaan hukum Tuhan, itu makin membuat stres. Seolah-olah orang memiliki kekuatan supranatural atas nama Allah untuk menghukum yang lain. Bisa jadi malah tidak sesuai dengan kandungan Islam yang menekankan keadilan, kepentingan umum dan lain-lain.

Mengapa masalah serius untuk menangani struktur keadilan dalam bidang ekonomi-politik tak pernah disinggung?

Ini menjadi perdebatan lama. Ada yang menafsirkan Islam secara substansial atau ada yang cenderung skriptural dan lain-lain. Problemnya, karena Islam menjadi kekuatan simbolik, maka tafsirannya tidak bisa terlepas dari relasi-relasi kekuasaan.

Maksudnya?

Siapa yang berkuasa pada saat syariat Islam dilaksanakan seolah-olah dia yang merasa punya otoritas untuk menafsirkan. Jadi ada pergulatan tafsir di sini, baik di antara orang-orang Muslim itu sendiri maupun dengan yang lain dalam hal memperebutkan makna-makna syariat Islam. Di situ ada orang yang lebih menekankan aspek fikihnya yang cenderung skripturalis atau sebaliknya, ada yang lebih menangkap esensinya.

Mengapa yang mengemuka penafsiran yang cenderung skripturalis? Dan mengapa tafsir yang lebih esensialis tidak muncul?

Karena biasanya orang-orang yang masuk kategori memperjuangkan Islam secara substansial itu sudah menjadi bagian dari perjuangan human struggle yang lebih universal. Tidak ada beban sama sekali untuk terkait dalam bagian mencari identitas.

Intinya, Anda bukan sedang menentang syariat Islam, tapi berusaha memberikan pertimbangan lain mengenai aspek-aspek syariat Islam?

Ya. Sekarang kan enak kita orang Islam punya banyak pilihan, entah mau menabung di bank Umum atau bank syariah. Kalau dalam banyak hal kita punya banyak pilihan, hal itu akan lebih baik daripada kita diseragamkan oleh satu pilihan melalui tangan negara. Saat ini kita hidup tanpa merasa berkurang keislaman, tapi hidup secara rahmatan lil alamin. Ada yang dalam hal jilbab demikian, sementara di lain pihak menafsirkan pakaian muslim demikian, dan lain-lain.

Dengan kata lain, negara tidak perlu dilibatkan dalam persoalan ini?

Benar. Kita terlalu ambisius menuntut negara memformalkan hukum Islam, padahal dalam banyak hal negara sudah melakukan etatisme. Misalnya, negara sudah mengatur zakat, shadaqah, infak dan lain-lain. Itu pun di satu sisi ada positifnya, di sisi lain ada juga negatifnya. Dengan demikian, seolah-olah kelompok Islam di luar negara menjadi manja dan tidak menjadi kekuatan civil society yang kuat karena semuanya dilakukan oleh negara.[]



Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=175

Hak cipta © 2001-2006, Jaringan Islam Liberal (JIL). Kontak: redaksi@islamlib.com


Korban Pertama dari Penerapan Syariat Adalah Perempuan - Jaringan Islam Liberal (JIL)

Perda Syariah di Sulsel dan Sumbar

Perda Al Qur'an di Sekolah Akan Diberlakukan di Sulsel
Gunawan Mashar - detikcom

Makassar - Pendidikan baca Al Qur'an akan menjadi salah satu mata pelajaran di sekolah-sekolah formal di Sulsel. Pasalnya, kini DPRD Sulsel telah menyetujui pemberlakuan Perda ini pada rapat Paripuna DPRD Sulsel yang digelar Selasa 18 April.

Dengan pemberlakuan ini, berarti tiap sekolah di Sulsel wajib memasukkan pendidikan Al Qur'an dalam mata pelajaran muatan lokal.

"Kecuali sekolah yang didominasi oleh siswa yang tidak beragama Islam. Namun, siswa Islam yang sekolah di sekolah dominan non Islam, musti mengikuti pendidikan Al Qur'an lewat jalur informal," tutur Anas Genda, anggota Pansus Ranperda Pendidikan Al Qur'an, DPRD Sulsel ketika ditemui detikcom di Gedung DPRD Sulsel, Jl Urip Sumohardjo, Rabu (19/04/2006).

Dalam Perda ini, diatur 3 jalur Pendidikan Al Qur'an yang diajarkan kepada siswa.

Jalur pertama adalah lewat pendidikan formal. "Setiap sekolah yang dominan Islam, wajib mengajarkan pendidikan Al Qur'an," ucap Anas.

Jalur kedua yakni melalui pendidkan informal, yaitu pengajaran mengaji di rumah. "Informal ini melalui orangtua. Misalnya ia mengajar anaknya mengaji. Tapi ini berlaku bagi anak yang sekolah di sekolah yang banyak muridnya beragama non Islam," terang Anas.

Jalur ketiga yakni jalur nonformal. Jalur ini berupa Tempat Pendidikan Al Qur'an (TPA) dan sejenisnya. Khusus jalur informal dan nonformal pemberlakukannya lebih lanjut akan diatur dalam peraturan gubernur.

Peserta Didik Bersertifikat

Dengan adanya Perda ini, setiap siswa yang telah lulus mata pelajaran ini akan diberi sertifikat. "Nah pemberian sertifikat untuk jalur informal dan nonformal yang akan diatur lebih detail oleh peraturan gubernur agar sertifikatnya tidak asal kasih. Juga agar tenaga pengajarnya tidak sembarangan lebih lanjut akan ditentukan bagaimana kualifikasinya," beber Anas.

"Pada jalur informal, akan ditentukan syaratnya sehingga si anak yang diajar secara informal ini layak mendapat sertifikat," kata Anas, yang juga wakil ketua Komisi E DPRD Sulsel.(nrl)

W. Sumatra to require Koran skills

Syofiardi Bachyul Jb, The Jakarta Post, Padang

The West Sumatra provincial administration is getting closer to
requiring Muslim students and couples intending to get married to be
proficient in reciting the Koran.

The obligation is part of a regional regulation on Koran education
approved by the West Sumatra legislative council on Tuesday.

The deputy chairman of the council, Mahyeldi Ansarullah, told The
Jakarta Post that the regulation sprang from the council's
initiative and was deliberated in just one month with the full
support of all factions.

Despite the short period of deliberation, however, the regulation
had been discussed with a number of community groups, he added.

"The regulation was deliberated after the discovery of many students
in West Sumatra who were unable to read and recite the Koran. This
finding is worrying because it takes place in a region with a
majority population of Muslims," he said.

At the Imam Bonjol State Islamic Institute, for example, 30 to 35
percent of student applicants were not capable of reciting the
Koran. In a number of regions, only two out of every six couples
intending to get married were able to recite the Koran, he said.

Asked whether such a regulation would truly raise the quality of
education and human resources in West Sumatra, Mahyeldi said he
thought it would.

"The religious factor will stimulate the spirit to learn and raise
the desire to advance. Therefore I'm pretty sure this regulation
will help improve the quality of education," he said.

Under the regulation, all Muslim students would be obliged to hold
certificates from informal institutions such as the Koran Education
School
before applying to higher education levels. If they did not
have a certificate, their parents would be asked to sign a
commitment to send their children to the Koran courses.

Any Muslim couples applying for marriage who could not recite the
Koran would be turned down until they became proficient.

Sudarto, the director of Pusaka, a nongovernmental organization
promoting pluralism, said the West Sumatra legislative council was
emphasizing a triviality.

"The quality of education and human resources in West Sumatra is
still relatively poor compared to those in other regions, let alone
in advanced countries. Does proficiency in reciting the Koran
automatically improve the quality of education? It doesn't,
right? ... It's true that we are poor, but we're also trying to
solve the problem in a strange way."

Sudarto said the deliberation of the regulation could be classified
as collusion because the regulation was financed by the state with
taxes collected from various groups, including non-Muslims.

It's unfair for the legislative council to prioritize one segment of
society, he said.

"Its substance is very weak. Does proficiency in reciting the Koran
improve competitiveness? Does such a proficiency make West Sumatra
people smarter, thereby boosting the capability of human resources?
This is explicitly irrelevant," said Sudarto, who is also a religion
teacher at a highly regarded private school in Padang, the capital
of West Sumatra.

Perempuan dalam Arus Perempuan dalam Arus

Perempuan dalam Arus

Formalisasi Syariat Islam di Tasikmalaya*)

I. Kabupaten Tasikmalaya Dan Syariat Islam

Suksesi kepemimpinan Nasional pada tahun 1998 yang selanjutnya lazim disebut sebagai era Reformasi, secara langsung telah berpengaruh kuat pada adanya perubahan kekuatan dan orientasi politik masyarakat sampai ke daerah-daerah. Kabupaten Tasikmalaya yang selama bertahun-tahun praktis berada dalam kendali dan pengaruh GOLKAR (Orde Baru) dengan paradigma sosial-politiknya yang sekularistik, namun pada beberapa waktu berikutnya setelah era reformasi yang ditandai dengan semangat keterbukaan dan desentralisasi itu berlangsung, menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan kondisi dimana Orde Baru mencengkram kuat kekuasaan.

Partai politik di Kabupaten Tasikmalaya yang mendapatkan suara cukup signifikan pada pemilu tahun 1999 adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11 kursi, Partai Golkar 9 kursi, PDI-P 7 kursi dan Partai Kebangkitan Bangsa 5 kursi. Sedangkan Partai Amanat Nasional 3 kursi, Partai Kedilan dan persatuan (PKP) 1 kursi dan Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi.

Adanya perubahan kekuatan politik sebagaimana dapat di lihat dengan munculnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai pemenang pemilu 1999 di Kabupaten Tasikmalaya telah mendorong beberapa pimpinan partai politik yang berasaskan islam dan tokoh agama (islam) menyuarakan keinginan diberlakukannya syariat islam di Tasikmalaya.

Euforia reformasi dan Syariat Islam selanjutnya amat mewarnai proses-proses politik dalam penyusunan legislasi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Sekalipun secara keseluruhan “partai islam” sebenarnya bukanlah kelompok terbesar di DPRD Kabupaten Tasikmalaya (hanya 13 kursi dari 45 kursi yaitu yang diperoleh dari dari PPP 11 kursi dan dari PBB 2 kursi). Namun realitas yang terjadi dalam setiap proses penyusunan perda “kelompok partai islam” ini nampak sangat menonjol dan menentukan, terlebih dengan pasifnya partai-parai yang berasas non-islam telah semakin memberi kesan kehendak memberlakuan syariat islam di Kabupaten Tasikmalaya merupakan kehendak dari masyarakat Tasikmalaya secara keseluruhan.

Salah satu produk legislasi di tingkat Kabupaten Tasikmalaya yang amat berpengaruh terhadap merebaknya (sekaligus juga maraknya resistensi !) pemberlakuan Syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya adalah Perda No. 3 tahun 2001. Salah satu substansi terpenting dari Perda No. 3 tahun 2001 yang dianggap menjadi basis-legitimasi pemberlakuan “syariat islam” di Kabupaten Tasikmalaya adalah Visi-nya, yaitu : “Tasikmalaya yang Religius/Islam sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Dan untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah daerah kabupaten Tasikmalaya selanjutnya menjabarkan dalam misi dan program.

Beberapa jabaran misi dan program dalam perda No 3 tahun 2001 yang dianggap paling banyak menimbulkan kontroversi dan perdebatan adalah :

1. “Pemulihan keamanan dan ketertiban yang berdasarkan kepada ajaran moral, agama, etika dan nilai-nilai budaya daerah (BAB VI, POINT 3 SUB 5)

  1. “Penyiapan Perda-perda Islami” (BAB IV “STRATEGI PEMBANGUNAN”, POINT C “STRATEGI PEMBANGUNAN KEAGAMAAN, SOSIAL DAN BUDAYA”, SUB A POINT KE-6)

II. Pandangan Masyarakat Mengenai Syariat Islam

Isu mengenai penegakkan Syariat Islam di Tasikmalaya sebenarnya bukan hal baru, karena jauh sebelum era reformasi isu Syariat Islam telah lumayan kencang bergulir melalui gerakan bersenjata DI/TII. Namun akhirnya sejarah juga membuktikan pada mayoritas ummat islam Tasikmalaya tidak menghendaki formalisasi syariat Islam itu. Buktinya adalah ummat islam Tasikmalaya sendiri ikut membantu TNI untuk membubarkan DI/TII. Sekalipun pada 3-4 tahun terakhir isu penegakkan Syariat Islam kembali menghangat dibicarakan, namun sebenarnya ditingkat pemahaman dan operasional diantara ummat islam berbeda-beda. Memang 95% lebih penduduk Tasikmalaya beragama islam.

Selain itu, kabupaten Tasikmalaya juga terkenal dengan banyaknya pesantren yang ada (pada Renstra tahun 2001 ada sekitar 700-an pesantren namun pada revisi Renstra tahun 2003 “cuma” ada 400-an pesantren ?). Sebagian besar ummat islam Tasikmalaya berafiliasi ke 3 Ormas keagamaan, yaitu NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah dan PERSIS (Persatuan Islam). Namun dari ketiga Ormas ini ternyata berbeda pandangan perihal pemaknaan syariat islam atau religius/islami.

Apakah syariat islam itu ? Apakah syariat islam itu wajib di formalasisikan ? Sebenarnya kalau dikaji dan diteliti secara lebih serius akan banyak dijumpai banyaknya tafsir dan pandangan diantara ummat islam di Tasikmalaya atas kedua pertanyaan diatas. Namun secara garis besar, maka setidaknya ada 3 kelompok dalam masyarakat Tasikmalaya yang menyikapi syariat Islam secara berbeda.

Kelompok pertama, adalah mereka yang mendukung penerapan syariat Islam. Kelompok ini terdiri dari anggota-anggota dewan di parlemen kabupaten terutama dari partai-partai yang berlandaskan agama (PPP dan PBB), ormas-ormas keagamaan yang selama ini memang sangat kencang meniupkan gagasan masyarakat Islam (Persis, Masyumi, KAMMI) termasuk di sana adalah organisasi pemuda/laskar-laskar (Taliban, Mujahidin, dan lain-lain), ulama-ulama dan santri pesantren di wilayah pinggiran (yang juga jadi basis pendukung PPP Tasikmalaya). Menurut kelompok ini, karena umat Islam adalah 99% penduduk Tasikmalaya, maka sudah sewajarnya syari'at Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka menyerukan umat Islam untuk kembali pada al-Qur'an dan as-Sunah, agar berbagai problema sosial politik yang sekarang melanda bangsa Indonesia dapat diatasi.

Sementara kelompok kedua adalah, mereka yang lebih kritis dalam menafsirkan syariat Islam. Syariat Islam menurut kelompok ini lebih bersifat substansial atau kontekstual dari pada formal atau tekstual. Kelompok ini bukan tak setuju syari'at Islam, tapi menolak pemahaman keagamaan kelompok pertama. Menurut mereka, apa yang dipahami kelompok pertama sebagai syari'at Islam tak lain adalah fikih yang dikembangkan ulama Islam awal. Problemanya, dengan beragamnya sudut pandang fikih yang terdapat di negeri ini, pendapat kelompok manakah yang akan dijadikan rujukan ? Argumen lain dari kelompok ini adalah Islam harus bersifat inklusif, artinya menjadikan semua bagian dalam masyarakat sebagai keberagaman yang tidak bisa dipisahkan. Kelompok ini terdiri dari NU, Muhammadiyah, Akademisi, dan LSM-LSM

Kelompok ketiga, adalah mereka yang bersifat apatis terhadap isu ini. Kelompok ini adalah kelompok yang terbesar dalam masyarakat. Bagi kelompok ini syariat islam maupun tidak begitu penting karena tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari yang sudah begitu sulit. Kelompok ini terdiri dari masyarakat urban yang marginal secara ekonomi, masyarakat abangan, petani gurem dan sebagainya.

III. Kasus-kasus Kebijakan Syariat Islam Terhadap Perempuan

Selain Perda No 3 tahun 2001 di atas, masih ada beberapa kebijakan pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung, hendak menunjukkan “kesungguhan” pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya memberlakukan Syariat Islam. Kebanyakan dari kebijakan pemerintah ini sebenarnya masih berbentuk intruksi, surat edaran atau himbauan Bupati yang dalam ilmu hukum sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum. Namun sekalipun tidak memiliki kekuatan hukum, surat intruksi, edaran atau himbauan Bupati ini secara sosiologis amat berpengaruh di tingkat masyarakat, khususnya terhadap para pegawai pemerintahan.

Salah satu dari kebijakan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang mengundang kritik dan kontroversi adalah Surat edaran Bupati No. 451/SE/04/Sos/2001 Tentang Upaya Peningkatan Kulitas Keimanan dan Ketaqwaan. Point yang selanjutnya dipandang “mengekang kebebasan” masyarakat islam dalam memahami konsep aurat bagi perempuan muslimah, yaitu dengan adanya klausul “Dianjurkan kepada siswi SD, SLTP, SMU/SMK, Lembaga pendidikan kursus dan Perguruan Tinggi yang beragama Islam untuk mengenakan pakaian seragam sesuai dengan ketentuan yang menutup aurat”. Pada tingkat prakteknya yang diakui sebagai ketentuan menutup aurat bagi perempuan adalah “kewajiban memakai jilbab ”.

Kondisi yang alami oleh perempuan Tasikmalaya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi yang di alami oleh para perempuan pada umumnya di Indonesia. Kungkungan budaya patriarkhi secara pasti terus menerus membatasi ruang gerak perempuan untuk memperoleh hak asasinya secara penuh, seperti kebebasan berkiprah di wilayah-wilyah publik. Sekalipun gaung gerakan keadilan gender telah merebak di mana-mana sejak lama (juga di Kabupaten Tasikmalaya), namun fakta di lapangan menunjukkan perempuan masih dianggap dan diposisikan sebagai sub-ordinasi dari laki-laki. Bukti paling kongkrit dari adanya sub-ordinasi ini adalah masih minimnya perempuan memperoleh kesempatan menduduki jabatan-jabatan publik.

Jumlah perempuan di Kabupaten Tasikmalaya adalah 787.373 jiwa, sementara laki-laki berjumlah 778.553 jiwa, sehingga total penduduk Kabupaten Tasikmalaya adalah 1.565.906 jiwa. Melihat data kependudukan ini, maka jelaslah sebenarnya komposisi perempuan sedikit lebih besar dari laki-laki. Namun sayangnya sekalipun secara kuantitas perempuan berjumlah besar namun hanya sedikit saja perempuan yang memperoleh kesempatan berkiprah dalam jabatan-jabatan publik. Di DPRD Kabupaten Tasikmalaya saja dari 45 anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya (hasil pemilu 1999) hanya 3 orang saja yang berjenis kelamin perempuan.

Saat Bupati Tasikmalaya mengangkat 5 camat perempuan dari 39 kecamatan yang ada (masing-masing untuk kecamatan Cisayong, Salawu, Salopa, Jamanis, dan Cikatomas), Fraksi PPP yang merupakan fraksi terbesar di DPRD Tasik menolak rencana itu, bahkan menganggap pengangkatan itu sebagai pengkhianatan Bupati atas visi religius/Islami. Uu Ruzhanul Ulum, sang Ketua Fraksi PPP, sebagaimana banyak dikutip oleh media dan paper hasil penelitian, seraya mengutip sebuah hadits Rasulullah tentang kemungkinan rusaknya sebuah kaum bila dipimpin perempuan, Uu juga dengan berapi-api menyatakan :

“Islam melarang mengangkat perempuan sebagai pemimpin, termasuk menjadi camat. Yang berhak menjadi pemimpin baik dalam pemerintahan maupun rumah tangga adalah laki-laki. Makanya kita akan menentang usaha-usaha pemberdayaan perempuan kalau itu bertentangan dengan syariat Islam. Kalau suatu kaum dipimpin oleh perempuan maka tinggal tunggu kehancurannya. Saya tidak ingin Tasikmalaya hancur karena dipimpin oleh perempuan”.

IV. Membangun Sinergi Antar Elemen Civil Society Dan Penguatan Hak-hak Perempuan

Keberadaan elemen Civil Society, Organisasi Rakyat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tasikmalaya telah banyak diakui kiprahnya baik dalam konteks pemberdayaan masyarakat maupun dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol pemerintah. Sekalipun masing-masing elemen Civil Society memiliki kekhasan karakteristik dan program namun pada saat-saat tertentu seperti saat mempressure kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan publik maka berbagai elemen Civil Society ini secara sadar menggalang kebersamaan dengan membuat sebuah aliansi misalnya.

Awal-awal tahun 2000-an erupakan saat-saat yang kurang menggembirakan dalam iklim demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tasikmalaya. Euforia “islam politik” dengan pandangannya yang cenderung skripturalis sempat membawa ketegangan ditingkat masyarakat. “Aksi-aksi moral” sepihak yang dilakukan oleh kalangan “Islam politik” ini seperti sweeping terhadap tempat-tempat hiburan dan razia terhadap perempuan yang keluar rumah malam-malam memunculkan keprihatinan banyak pihak. Ada dua alasan yang menyebabkan sepak terjang kelompok “islam politik” nampak begitu leluasa.

Pertama, mereka berargumentasi bahwa semenjak ditetapkan Perda No 3 Tahun 2001 perihal Visi Kabupaten Tasikmalaya yang Religius/islami maka mulai saat itu pula secara sah kabupaten Tasikmalaya berhak memberlakukan “Syariat Islam”.

Kedua, pasifnya tokoh-tokoh agama yang berpandangan moderat (sekalipun mayoritas) terhadap fenomena sosial yang muncul (juga adanya gerakan militeralisasi oleh Kelompok “islam politik” seperti sweeping-sweeping).

Bertitik-tolak dari kedua akar permasalahan diatas, maka elemen civil society yang dipelopori oleh Aspirasi Perempuan (ASPER), CERDAS, NAHDINA, Lingkar Kajian Agama dan Hak Asasi Manusia (LKAHAM), PMII, KOHATI dan lain-lain sepakat melakukan tiga counter gerakan (program) sekaligus.

Pertama struktural (program counter formalisasi syariat islam) yaitu berupaya untuk melakukan revisi terhadap Perda No 3 Tahun 2001 yang banyak disalah artikan sebagai basis-yuridis pemberlakuan syariat islam di Tasikmalaya. Kedua melalui program di lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren-pesantren) yaitu dengan melakukan dialog-dialog kritis perihal hak-hak perempuan. Ketiga program kemasyarakatan yaitu dengan melakukan pendampingan-pendamping dan sosialisasi hak-hak perempuan kepada masyarakat luas.

Untuk menjalankan program (counter) formalisasi Syariat Islam, LKAHAM dengan didukung oleh elemen civil society lainnya setelah melakukan kerja-kerja akademis dan politik selama kurang lebih dua tahun akhirnya berhasil mendesakkan adanya revisi Perda No 3 Tahun 2001. Revisi Perda No 3 Tahun 2001 atau yang berikutnya disebut sebadai Perda No. 13 Tahun 2003 memang masih mencantumkan kalimat Religius/islami dalam paragraf awal visinya. Namun kalimat Religius/islami itu tidak bisa lagi diklaim sebagai basis argumentasi pemberlakuan syariat islam karena pada jabaran misi dan programnya sama sekali tidak menyebut perlunya formalisasi-formalisasi keislaman dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara lengkap visi yang tercantum dalam Perda No. 13 Tahun 2003 adalah “Tasikmalaya yang Religius/Islami, sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera, serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”.

Sementara Misi yang ditetapkan adalah :

q Mewujudkan sumberdaya manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlaqul karimah

q Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan keagamaan

q Mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mandiri

q Mewujudkan kepemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih

q Mewujudkan pembangunan daerah melalui pemberdayaan masyarakat

q Mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui pengembangan agribisnis dengan didukung oleh sektor lain

q Mewujudkan tata ruang dan pengelolaan pertanahan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan

Membaca teks dalam Perda No. 13 Tahun 2003 diatas maka bisa dikatakan tidak ada lagi alasan yuridis yang bisa dilakukan oleh kelompok “islam politik” untuk melakukan gerakan sepihak semacam sweeping dan razia terhadap perempuan yang keluar malam-malam.

Program sosialisasi hak-hak perempuan melalui lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren-pesantren) adalah karena lembaga-lembaga pendidikan menduduki posisi yang penting baik secara sosiologi maupun politik terhadap pandangan masyarakat. Tokoh dan semua elemen yang terkait dengan persoalan pendidikan secara faktual sangat didengar dan diikuti oleh masyarakat.

Namun sayangnya beberapa tokoh pendidikan (agama) masih ada yang kurang respek dengan isu hak-hak perempuan sehingga perlu digarap secara serius untuk mengenal dan menjadi pembela hak-hak perempuan. Elemen civil society yang ckonsern dengan bidang pendidikan dan Majlis Ta’lim ini adalah Nahdina Cipasung, CERDAS, Muslimat, Fatayat dan lain-lain.

Sementara program kemasyarakatan lebih terkait dengan upaya sosialisasi hak-hak perempuan dan soliditas di tingkat elemen civil society. Gerakan kemasyarakatan ini tentu saja memiliki posisi yang teramat penting juga. Karena tanpa kerja-kerja kemasyarakatan yang menyolidkan antar elemen civil society maka gerakan struktural akan menjadi lemah. Beberapa kerja kemasyarakatan yang telah dilakukan oleh elemen civil society di Tasikmalaya diantaranya adalah Pendampingan PSK dan kelompok tabungan di Mangkubumi dan Kawalu Oleh Aspirasi Perempuan (ASPER).

Secara kualitas dan kuantitas berbagai strategi dan program diatas telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Secara kualitas program kultural-kemasyarakatan telah merambah banyak dimensi kehidupan, seperti pendampingan terhadap PSK, advokasi korban razia dan penggundulan oleh Thaliban, memajukan ekonomi perempuan melalui arisan ibu-ibu dan sebagainya. Sementara secara kuantitas gerakan kultural melalui lembaga pendidikan dipandang berhasil adalah karena pada setiap kegiatan yang memperbincangkan perihal hak-hak perempuan selalu dihadiri oleh peserta dan undangan dengan jumlah yang besar.

Bahkan kajian perihal hak-hak perempuan tidak saja terjadi pada diskusi atau seminar ilmiah yang diadakan di ruang-ruang sempit dan terbatas melainkan sudah beberapa kali dimuat dalam opini di media cetak lokal (SK Priangan) yang pada waktu-waktu sebelumnya tidak pernah terjadi.

Secara ringkas ketiga program diatas dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Identifikasi Masalah

Program

Sasaran

Target/

Out put

Realisasi

Adanya peraturan daerah yang melanggar/tidak responsif terhadap hak-hak perempuan

Syariat

Islam

Kritik yuridis :

1. Perda No. 3 Tahun 2001 perihal visi Religius/islami (penegakkan syariat islam)

2. Surat edaran Bupati No.451/SE/04/Sos/2001 perihal peningkatan dan keimanan ketaqwaan (salah satu pointernya adalah mengharuskan memakai busana yang menutup aurat bagi siswi SD, SLTP dan SLTP)

Revisi terhadap peraturan-peraturan yang melanggar kepentingan perempuan

Memperluas jaringan yang pro hak-hak perempuan di lingkungan birokrasi dan partai politik

§ Adanya revisi Perda No 3 tahun 2001 menjadi perda No 13 tahun 2003 yang lebih respek terhadap penguatan SDM, ekonomi rakyat dan hak perempuan

§ Tidak efektifnya Surat edaran Bupati No. 451/SE/04/Sos/2001 dan membebaskan siswi perempuan untuk menggunakan busana yang pilihnya

Kuatnya pandangan yang memposisi-kan perempuan sebagai subordinasi laki-laki

Minimnya keterlibatan perempuan sebagai penentu kebijakan di sekolah/

pesantren

Pendidi-kan

Sekolah-sekolah

Pesantren

Tersosialisasi-nya hak-hak perempuan secara luas

Mengupayakan keterlibatan perempuan sebagai penentu kebijakan di sekolah/

pesantren

Respon terhadap keberadaan dan hak-hak perempuan meningkat

Lemahnya SDM dan ekonomi perempuan

Lemahnya kesadaran perempuan atas hak-hak yang dimilikinya

Kemasyarakatan

Majlis Ta’lim

Kelompok Tabungan Ibu-ibu

Tersosialisasi-nya hak-hak perempuan

Pendampingan kegiatan ekonomi dan kesadaran berorganisasi

Pemahaman atas hak-hak perempuan tersebar meluas

Kesadaran berorganisasi-ekonomi meningkat (kegiatan arisan secara reguler terus berjalan sekaligus menjadi forum diskusi mengenai hak-hak perempuan

Akhirnya setelah menguraikan secara panjang perihal perempuan dan syariat islam di Tasikmalaya serta berbagai upaya yang telah dilakukan oleh elemen-elemen sivil society berkaitan dengan isu hak asasi manusia dan hak-hak bagi perempuan, maka ada beberapa catatan berikut ini yang menurut kami penting untuk menjadi perhatian semua pihak.

V. Penutup

Apakah isu formalisasi Syariat Islam masih relevan di Tasikmalaya sekarang ini ? Apakah dengan bergulirnya formalisasi syariat islam di Tasikmalaya menyebabkan adanya perubahan kondisi sosial yang lebih baik, khususnya bagi keadilan perempuan ? Kalau memperhatikan keadaan yang telah terjadi selama ini maka kecenderungan isu atau motivasi memformalisasi syariat islam tidak menjanjikan adanya kondisi sosial yang lebih berkeadilan dan bermartabat. Selalu saja makna syariat islam dalam ranah politik selalu dimaknai dengan pemahaman islam yang konservatif, kurang responsif dengan isu hak asasi manusia dan keadilan gender.

Jadi, memperhatikan ulasan diatas maka perlunya terus menerus melakukan kajian terhadap berbagai peraturan daerah (kebijakan publik) terutama yang dipandang potensial akan merugikan kepentingan perempuan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sekaligus dengan terus menerus mengefektifkan gerakan kultural terutamanya yang berkaitan dengan sosialisasi hak-hak perempuan.

Akhirnya setelah menguraikan secara panjang perihal perempuan dan syariat islam di Tasikmalaya serta berbagai upaya yang telah dilakukan oleh elemen-elemen sivil society berkaitan dengan isu hak asasi manusia dan hak-hak bagi perempuan, maka ada beberapa catatan berikut ini yang menurut kami penting untuk menjadi perhatian semua pihak.

1. Untuk melakukan pressure terhadap pemerintah yang telah menetapkan kebijakan publik yang merugikan masyarakat maka perlu adanya konsolidasi diantara elemen civil socitey baik untuk penyempurnaan konsep maupun untuk menambah kekuatan pressure group/politik.

2. Perlunya menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan politik yang memiliki kesamaan visi dan pandangan terhadap hak-hak perempuan.

3. Konsolidasi, sharing dan kerja-kerja kultural harus terus menerus dilaksanakan oleh masing-masing elemen civil society sehingga bisa saling melengkapi dan bekerjasama secara efektif.

4. Perlunya jalinan kerja sama dengan para profesional seperti ahli hukum yang dapat membantu saat elemen civil society melakukan advokasi/pendampingan terhadap kasus-kasus hukum tertentu.

Tasikmalaya, awal April 2004



*) Makalah ditulis dalam rangka seminar Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam (Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten) yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 26 April 2004 di Hotel Ambhara Kebayoran, Jakarta Selatan. Dipresentasikan oleh Dida Nurhayati, Heni Hendrayani dan Jejeng tim perwakilan Tasikmalaya (Jaringan Kajian Islam dan Advokasi Perempuan).