Saturday, February 24, 2007

Transformasi Politik Aliran - Rabu, 11 Agustus 2004

Transformasi Politik Aliran

Oleh Suhadi

SETELAH Pemilu presiden 2004 berlangsung, analisis politik banyak bermunculan di media massa, termasuk pengujian ulang "politik aliran" yang pernah berkembang tahun 1950-an. Berbagai analisis itu menarik karena akan memeriksa apakah sepanjang 40 tahun terjadi kontinuitas atau diskontinuitas geneologi sejarah budaya-politik kita.

Kuntowijoyo (Kompas, 7/7/ 2004) menyatakan politik Indonesia bergerak menuju apa yang ia sebut "pragmatisme-religius", kian kaburnya identitas religius-sekuler. Dijelaskannya, pragmatisme religius merupakan antropo-teosentrisme. Kuntowijoyo mencatat yang tersisa dari dikotomi itu apa yang oleh Max Weber disebut ketegangan kreatif antara zweckrational dan wertrational, pemikiran yang murni rasional menjadi satu dengan pemikiran berdasar nilai. Sehingga yang ada hanya pertentangan "aktualitas", bukan "ideologis".

Senada dengan Kuntowijoyo, Lance Castles (Kompas, 9/7/20 04) menulis pola aliran sudah berakhir. Keraguan muncul dari Muhammad Ali (Kompas, 15/7/ 2004) yang merespons dengan pertanyaan apakah benar yang terjadi lenyapnya dikotomi sekuler-religius? Ali merekomendasikan pencarian jalan tengah yang "seharusnya" bagi politik kita ke depan.

TERLEPAS dari kritik yang dilontarkan, karya Geertz, The Religion of Java (1960) masih menjadi bacaan cukup penting tentang asal muasal politik aliran. Trikotomi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Jawa ke dalam varian abangan, santri, priyayi menjadi dasar pelembagaan organisasi politik berdasar aliran. Sebelumnya, C. Poensen (1886) dan Snouck Hurgronje (1899-1906), telah memopulerkan istilah abangan dan putihan yang menjadi dasar sarjana Barat dalam melihat polarisasi masyarakat Jawa. Sebagai klasifikasi sosiologis dan antropologis semuanya tentu tidak clear-cut.

Pengalaman Pemilu 1955 menjelaskan polarisasi masyarakat Jawa ke dalam empat partai besar: PKI ("abangan"), NU (santri "tradisionalis), Masyumi (santri "modernis") dan PNI ("priyayi"). Di lima karesidenan di mana PKI amat besar-Kediri, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Madiun-terjadi konflik horisontal yang dahsyat tahun 1965-1966. Meski Robert Cribb (1990) menyebut konflik-konflik horizontal itu lebih berdimensi ekonomi, namun penulis banyak menemui cerita lisan di desa-desa yang menyebutkan polarisasi aliran memang tumbuh subur saat itu.

Pemilu pertama masa Orba tahun 1971, menjadi babak baru diskontinuitas sejarah politik aliran. Dalam titik inilah sebenarnya kita baru bisa memeriksa kapan batas-batas kekaburan tercipta dan apa saja yang mempengaruhinya. Aswab Mahasin (1993) telah melakukan kajian proses pengkaburan (blurring) politik aliran. Dia mengajukan konsep "santrinisasi abangan" dan "santrinisasi priyayi". Fakta kuatnya mobilitas santrinisasi ke dalam politik kekuasaan juga menunjukkan telah terjadi "priyayinisasi santri". Kuntowijoyo menyebut, dan saya sepakat, peran lembaga pendidikan agama yang diselenggarakan negara memiliki andil besar dalam mengkaburkannya.

Namun dua hal lain meski disebut, sesuatu yang tidak kalah berpengaruh. Pertama, menciptakan lembaga politik yang amat canggih, Golkar, yang menjadikan kian samarnya solidaritas ideologis. Memang dua partai lain masih dibangun atas dasar sentimen ideologis, partai-partai Islam ke PPP dan partai abangan dan non-Islam ke PDI. Golkar menjadi ruang baru yang ingin selalu keluar dari dikotomi ideologis, meski pergeseran dari yang semula abang-mbranang ke ijo royo-royo di akhir kekuasaannya amat jelas tergambar. Karena itu, partai ini, kini memiliki "kekenyalan" strategis dan setidaknya memiliki beban ideologis secara historis.

Kedua, masyarakat Islam terbesar, nahdliyin, memiliki modal kultural, seperti tahlilan yang amat mempengaruhi pengkaburan ketegangan antara kaum santri dan abangan. Institusi ini mampu menjadi jembatan antara mereka yang "taat beragama" dan yang "tidak taat" dalam pergaulan sosial sehari-hari. Dalam forum kultural itu kaum abangan secara tiba-tiba merasa dirinya di dalam (inside) komunitas santri, tanpa harus kehilangan identitasnya awal sebagai abangan.

Sampai di sini NU mampu menciptakan mekanisme inklusi sosial yang smooth. Orang abangan masuk dalam komunitas santri secara halus tanpa harus melepas identitasnya semula. Sebab pada praktiknya di desa-desa, mereka hampir tidak pernah mempermasalahkan secara vulgar apakah sholat lima waktu atau tidak; puasa penuh di bulan ramadhan atau tidak. Meski hampir selalu ada ceramah agama di dalam forum tahlilan, namun tidak dalam seruan yang keras.

KENYATAANNYA, hasil proses blurring itu dalam politik lokal kontemprorer tidak bisa digeneralisir. Misalnya untuk kasus Kediri dan Kudus, sejauh pengetahuan penulis, dikotomi kian kabur. Dominasi kaum santri sudah amat kuat dan mendominasi secara politik, budaya dan kekuasaan. Mungkin dua tempat itu menjadi fenomena umum di Jawa kontemporer. Tetapi di Solo, ketegangan antara kaum santri dan kaum abangan-yang menyebut diri kejawen-masih amat kuat, terus menerus direproduksi. Solo yang sejak menjelang reformasi disibukkan berbagai kerusuhan massa masih bisa dipilah, bahkan secara geografis, antara Solo bagian Selatan yang lebih "santri" dan bagian Utara yang lebih "abangan". Di kota ini "radikalisme" agama tumbuh subur, begitu pula res- pons terhadapnya dari kelompok kejawen "radikal".

Pertanyaan berikutnya apakah dikotomi budaya, lebih-lebih politik, antara santri- abangan, religius-sekuler secara umum lenyap? Penulis berpendapat sebaiknya kita tidak tergesa-gesa menarik jawaban, lebih-lebih kalau hanya menjadikan Pilpres menjadi barometer. Mengapa? Sebab akan membuat kita kurang jeli melihat fakta-fakta relasi agama dan politik yang akan berkembang dalam politik Indonesia kontemporer saat ini dan ke depan, baik dalam skala nasional lebih-lebih di tingkat lokal.

Beberapa kenyataan sosial politik berikut ini mungkin menarik diperhatikan.

Usulan Piagam Jakarta dalam Amandeman UUD 1945 tahun 2000 menunjukkan kekuatan "politik aliran" masih terkonsolidasi dengan baik. Meski gagal, tetapi keinginan untuk menghidupkan dasar keagamaan sebagai basis ideologi masih kuat di sebagian masyarakat. Keberhasilan kelompok tertentu mengajukan pasal pendidikan agama dalam UU Sisdiknas No 20/ 2003 merupakan contoh masih kuatnya politik aliran. Sempat juga muncul gagasan RUU Kerukunan Umat Beragama tahun 2003. Dalam konteks lokal, gagasan penerapan Syariat di Padang, Tasikmalaya, Cianjur, Pamekasan, Mataram, Makasar dan tempat lain, jelas menjadi ruang eksperimentasi baru politik agama.

Penulis berpendapat, aneka fenomena kontemporer seperti keinginan meng-UU-kan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang sementara ini masih berstatus Inpres, gagasan tentang Kitab Undang-Undang Hukum "Pidana Islam" (?), RUU Hukum Terapan Peradilan Agama, dan Perda "Syariat Islam" (?) dalam otonomi daerah, bukan hanya fenomena "pragmatisme-religius"? Penulis melihat, sedang terjadi transformasi politik aliran yang penting diperhatikan, bukan hanya secara teoritis, tetapi lebih-lebih dalam realitas politik dalam kaitan dengan demokratisasi. Sehingga penting memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dalam melihat realitas politik Indonesia kontemporer, bukan malah mempersempitnya.

Suhadi Direktur Program Institut Kajian Islam LKiS, Yogyakarta; Tim Peneliti di Melbourne Institute of Asian Languages and Societies, Universitas Melbourne Australia


Transformasi Politik Aliran - Rabu, 11 Agustus 2004

Monday, February 12, 2007

- Direktorat Jenderal Otonomi Daerah

Untuk yang UU Pemerintah Daerah tahun 2004, klik di sini

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 22 TAHUN 1999TENTANGPEMERINTAHAN DAERAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah;

bahwa dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah;

bahwa dalam menghadapi perkembangan keadaan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta tantangan persaingan global, dipandang perlu menyelenggarakan Otonomi Daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah, sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah, yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037) tidak sesuai lagi dengan prinsip penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu diganti;

bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153) yang menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan pemerintahan Desa, tidak sesuai dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 dan perlunya mengakui serta menghormati hak asal-usul Daerah yang bersifat istimewa sehingga perlu diganti;

bahwa berhubung dengan iu, perlu ditetapkan undang-undang mengenai Pemerintahan Daerah untuk mengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
Mengingat :
Pasal 1 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme;
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3811).
Dengan PersetujuanDEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH.
BAB IKETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para Menteri;
Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah beserta perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Daerah.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, selanjutnya disebut DPRD, adalah Badan Legislatif Daerah.
Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Otonom oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Desentralisasi.
Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah dan atau perangkat pusat di Daerah.
Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan Desa dan dari Daerah ke Desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang disertai pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang menugaskan.
Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Wilayah Admisnitrasi adalah wilayah kerja Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Instansi Vertikal adalah perangkat Departemen dan atau Lembaga Pemerintah Non-Departemen di Daerah.
Pejabat yang berwenang adalah pejabat Pemerintah di tingkat Pusat dan atau pejabat Pemerintah di Daerah Propinsi yang berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Kecamatan adalah wilayah kerja Camat sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Kelurahan adalah wilayah kerja Lurah sebagai perangkat Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota di bawah Kecamatan.
Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
BAB IIPEMBAGIAN DAERAH
Pasal 2
(1) Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi dalam Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang bersifat otonom.
(2) Daerah Propinsi berkedudukan juga sebagai Wilayah Administrasi.
Pasal 3
Wilayah Daerah Propinsi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan.
BAB IIIPEMBENTUKAN DAN SUSUNAN DAERAH
Pasal 4
(1) Dalam rangka pelaksanaan asas Desentralisasi dibentuk dan disusun Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, dan Daerah Kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
(2) Daerah-daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain.
Pasal 5
(1) Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi Daerah, sosial-budaya, sosial-politik, jumlah penduduk, luas Daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
(2) Pembentukan, nama, batas, dan ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Undang-Undang.
(3) Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu Daerah, perubahan nama Daerah, serta perubahan nama dan pemindahan ibukota daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Syarat-syarat pembentukan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
(1) Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan atau digabung dengan Daerah lain.
(2) Daerah dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah.
(3) Kriteria tentang penghapusan, penggabungan, dan pemekaran Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Penghapusan, penggabungan dan pemekaran daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dengan Undang-Undang.
BAB IVKEWENANGAN DAERAH
Pasal 7
(1) Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.
(2) Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standarisasi nasional.
Pasal 8
(1) Kewenangan Pemerintahan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka desentralisasi harus disertai dengan penyerahan dan pengalihan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia sesuai dengan kewenangan yang diserahkan tersebut.
(2) Kewenangan Pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut.
Pasal 9
(1) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya.
(2) Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom termasuk juga kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
(3) Kewenangan Propinsi sebagai Wilayah Administrasi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Pasal 10
(1) Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Daerah di wilayah laut, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, meliputi:
eksplorasi, eskploitasi, konservasi, dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut;
pengaturan kepentingan administratif;
pengaturan tata ruang;
penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh Daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh Pemerintah; dan
bantuan penegakan keamanan dan kedaulatan negara.
(3) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota di wilayah laut, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), adalah sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi.
(4) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan yang diatur dalam Pasal 9.
(2) Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja.
Pasal 12
Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 13
(1) Pemerintah dapat menugaskan kepada Daerah tugas-tugas tertentu dalam rangka tugas pembantuan disertai pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemerintah.
(2) Setiap penugasan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VBENTUK DAN SUSUNAN PEMERINTAHAN DAERAH
Bagian KesatuUmum
Pasal 14
(1) Di Daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.
(2) Pemerintah Daerah terdiri atas Kepala Daerah beserta perangkat daerah lainnya.
Bagian KeduaDewan Perwakilan Rakyat Daerah
Pasal 15
Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan, dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 16
(1) DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di Daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan Pancasila.
(2) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari Pemerintah Daerah.
Pasal 17
(1) Keanggotaan DPRD dan jumlah anggota DPRD ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Alat kelengkapan DPRD terdiri atas pimpinan, komisi-komisi dan panitia-panitia.
(3) DPRD membentuk fraksi-fraksi yang bukan merupakan alat kelengkapan DPRD.
(4) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), diatur dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 18
(1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang:
memilih Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Walikota/Wakil Walikota;
memilih anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Utusan Daerah;
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, atau Walikota/Wakil Walikota;
bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota membentuk Peraturan Daerah;
bersama dengan Gubernur, Bupati, atau Walikota menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
melaksanakan pengawasan terhadap:
pelaksanaan Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan lain;
pelaksanaan Keputusan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
kebijakan Pemerintah Daerah; dan
pelaksanaan kerja sama internasional di Daerah;
memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah terhadap rencana perjanjian internasional yang menyangkut kepentingan Daerah; dan
menampung dan menindaklanjuti aspirasi Daerah dan masyarakat.
(2) Pelaksanaan tugas dan wewenang, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 19
(1) DPRD mempunyai hak:
meminta pertanggungjawaban Gubernur, Bupati, dan Walikota;
meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah;
mengadakan penyelidikan;
mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah;
mengajukan pernyataan pendapat;
mengajukan Rancangan Peraturan Daerah;
menentukan Anggaran Belanja DPRD; dan
menetapkan Peraturan Tata Tertib DPRD.
(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 20
(1) DPRD dalam melaksanakan tugasnya berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan tentang suatu hal yang perlu ditangani demi kepentingan negara, bangsa, pemerintahan, dan pembangunan.
(2) Pejabat negara, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat yang menolak permintaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun karena merendahkan martabat dan kehormatan DPRD.
(3) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 21
(1) Anggota DPRD mempunyai hak:
pengajuan pertanyaan;
protokoler; dan
keuangan/administrasi.
(2) Pelaksanaan hak, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 22
DPRD mempunyai kewajiban:
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta mentaati segala peraturan perundang-undangan;
membina demokrasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah;
meningkatkan kesejahteraan rakyat di Daerah berdasarkan demokrasi ekonomi; dan
memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya.
Pasal 23
(1) DPRD mengadakan rapat secara berkala sekurang-kurangnya enam kali dalam setahun.
(2) Kecuali yang dimaksud pada ayat (1), atas permintaan sekurang-kurangnya seperlima dari jumlah anggota atau atas permintaan Kepala Daerah, Ketua DPRD dapat mengundang anggotanya untuk mengadakan rapat selambat-lambatnya dalam waktu satu bulan setelah permintaan itu diterima.
(3) DPRD mengadakan rapat atas undangan Ketua DPRD.
(4) Pelaksanaan ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRD.
Pasal 24
Peraturan Tata Tertib DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD.
Pasal 25
Rapat-rapat DPRD bersifat terbuka untuk umum, kecuali yang dinyatakan tertutup berdasarkan Peraturan Tata Tertib DPRD atas atas kesepakatan di antara pimpinan DPRD.
Pasal 26
Rapat tertutup dapat mengambil keputusan, kecuali mengenai:
pemilihan Ketua/Wakil Ketua DPRD;
pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
pemilihan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Utusan daerah;
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
penetapan perubahan dan penghapusan pajak dan retribusi;
utang piutang, pinjaman dan pembebanan kepada Daerah;
Badan Usaha Milik Daerah;
penghapusan tagihan sebagian atau seluruhnya;
persetujuan penyelesaian perkara perdata secara damai; dan
kebijakan tata ruang.
Pasal 27
Anggota DPRD tidak dapat dituntut di pengadilan karena pernyataan dan atau pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPRD, baik terbuka maupun tertutup, yang diajukan secara lisan atau tertulis, kecuali jika yang bersangkutan mengumumkan apa yang disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal-hal yang dimaksud oleh ketentuan mengenai pengumuman rahasia negara dalam buku kedua Bab I Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 28
(1) Tindakan penyidikan terhadap anggota DPRD dapat dilaksanakan atas persetujuan tertulis Menteri Dalam Negeri bagi anggota DPRD Propinsi dan Gubernur bagi anggota DPRD Kabupaten dan Kota, kecuali jika yang bersangkutan tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan.
(2) Dalam hal anggota DPRD tertangkap tangan melakukan tindak pidana, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selambat-lambatnya dalam tempo 2 kali 24 jam diberitahukan secara tertulis kepada Menteri Dalam Negeri dan/atau Gubernur.
Bagian KetigaSekretariat DPRD
Pasal 29
(1) Sekretariat DPRD membantu DPRD dalam menyelenggarakan tugas dan kewenangannya.
(2) Sekretariat DPRD dipimpin oleh seorang Sekretaris DPRD yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas persetujuan pimpinan DPRD.
(3) Sekretariat DPRD dalam melaksanakan tugasnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada pimpinan DPRD.
(4) Sekretariat DPRD dapat menyediakan tenaga ahli dengan tugas membantu anggota DPRD dalam menjalankan fungsinya.
(5) Anggaran Belanja Sekretariat DPRD ditetapkan dengan Keputusan DPRD dan dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Bagian KeempatKepala Daerah
Pasal 30
Setiap Daerah dipimpin oleh seorang Kepala Daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah.
Pasal 31
(1) Kepala Daerah Propinsi disebut Gubernur, yang karena jabatannya adalah juga sebagai wakil Pemerintah.
(2) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan sebagai Kepala Daerah, Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi.
(3) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaiman dimaksud pada ayat (2), ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Dalam kedudukan sebagai wakil Pemerintah, Gubernur berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(5) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 32
(1) Kepala Daerah Kabupaten disebut Bupati.
(2) Kepala Daerah Kota disebut Walikota.
(3) Dalam menjalankan tugas dan kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati/Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/Kota.
(4) Tata cara pelaksanaan pertanggungjawaban, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dalam Peraturan Tata Tertib DPRD sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 33
Yang dapat ditetapkan menjadi Kepala Daerah adalah warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
setia dan taat kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pemerintah yang sah;
tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang menghianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang dinyatakan dengan surat keterangan Ketua Pengadilan Negeri;
berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Atas dan/atau sederajat;
berumur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun;
sehat jasmani dan rohani;
nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;
tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;
tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan negeri;
mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daaerahnya;
menyerahkan daftar kekayaan pribadi; dan
bersedia dicalonkan menjadi kepala Daerah.
Pasal 34
(1) Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan.
(2) Calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah, ditetapkan oleh DPRD melalui tahap pencalonan dan pemilihan.
(3) Untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, dibentuk Panitia Pemilihan.
(4) Ketua dan para Wakil Ketua DPRD karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua Panitia Pemilihan merangkap sebagai anggota.
(5) Sekretaris DPRD karena jabatannya adalah Sekretaris Panitia Pemilihan, tetapi bukan anggota.
Pasal 35
(1) Panitia pemilihan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (3), bertugas:
melakukan pemeriksaan berkas identitas mengenai bakal calon berdasarkan persyaratan yang telah ditetapkan dalam Pasal 33;
melakukan kegiatan teknis pemilihan calon; dan
menjadi penanggung jawab penyelenggaraan pemilihan.
(2) Bakal calon Kepala Daerah dan bakal calon Wakil Kepala Daerah yang memenuhi persyaratan sesuai dengan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Panitia Pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan kepada DPRD untuk ditetapkan sebagai calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah.
Pasal 36
(1) Setiap fraksi melakukan kegiatan penyaringan pasangan bakal calon sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam Pasal 33.
(2) Setiap fraksi menetapkan pasangan bakal calon Kepala Daerah dan bakal calon Wakil Kepala Daerah dan menyampaikannnya dalam rapat paripurna kepada pimpinan DPRD.
(3) Dua fraksi atau lebih dapat secara bersama-sama mengajukan pasangan bakal calon Kepala Daerah dan bakal calon Wakil Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 37
(1) Dalam Rapat Paripurna DPRD, setiap fraksi atau beberapa fraksi memberikan penjelasan mengenai bakal calonnya.
(2) Pimpinan DPRD mengundang bakal calon dimaksud untuk menjelaskan visi, misi, serta rencana-rencana kebijakan apabila bakal calon dimaksud terpilih sebagai Kepala Daerah.
(3) Anggota DPRD dapat melakukan tanya jawab dengan para bakal calon.
(4) Pimpinan DPRD dan pimpinan fraksi-fraksi melakukan penilaian atas kemampuan dan kepribadian para bakal calon dan melalui musyawarah atau pemungutan suara menetapkan sekurang-kurangnya dua pasang calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang akan dipilih satu pasang di antaranya oleh DPRD.
Pasal 38
(1) Nama-nama calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD dikonsultasikan dengan Presiden.
(2) Nama-nama calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota yang akan dipilih oleh DPRD ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPRD.
Pasal 39
(1) Pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPRD yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD.
(2) Apabila jumlah anggota DPRD belum mencapai kuarom, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan rapat dapat menunda rapat paling lama satu jam.
(3) Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), belum dicapai, rapat paripurna diundur paling lama satu jam lagi dan selanjutnya pemilihan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah tetap dilaksanakan.
Pasal 40
(1) Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
(2) Setiap anggota DPRD dapat memberikan suaranya kepada satu pasang calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dari pasangan calon yang telah ditetapkan oleh pimpinan DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4).
(3) Pasangan calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara terbanyak pada pemilihan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden.
Pasal 41
Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.
Pasal 42
(1) Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk untuk bertindak atas nama Presiden.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji.
(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Gubernur/Bupati/Walikota dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
(4) Tata cara pengucapan sumpah/janji dan pelantikan bagi Kepala Daerah ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian KelimaKewajiban Kepala Daerah
Pasal 43
Kepala Daerah mempunyai kewajiban:
mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana cita-cita Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945;
memegang teguh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
menghormati kedaulatan rakyat;
menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan;
meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat;
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat; dan
mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan Daerah bersama dengan DPRD.
Pasal 44
(1) Kepala Daerah memimpin penyelenggaraan Pemerintahan Daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD.
(2) Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD.
(3) Kepala Daerah wajib menyampaikan laporan atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri dengan tembusan kepada Gubernur bagi Kepala Daerah Kabupaten dan Kepala Daerah Kota, sekurang-kurangnya sekali dalam satu tahun, atau jika dipandang perlu oleh Kepala Daerah atau apabila diminta oleh Presiden.
Pasal 45
(1) Kepala Daerah wajib menyampaikan pertanggungjawaban kepada DPRD pada setiap akhir tahun anggaran.
(2) Kepala Daerah wajib memberikan pertanggungjawaban kepada DPRD untuk hal tertentu atas permintaan DPRD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2).
Pasal 46
(1) Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, baik pertanggungjawaban kebijakan pemerintahan maupun pertanggungjawaban keuangan, harus melengkapi dan/atau menyempurnakannya dalam jangka waktu paling lama tiga puluh hari.
(2) Kepala Daerah yang sudah melengkapi dan/atau menyempurnakan pertanggungjawabannya menyampaikannya kembali kepada DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bagi Kepala Daerah yang pertanggungjawabannya ditolak untuk kedua kalinya, DPRD dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden.
(4) Tata cara, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 47
Kepala Daerah mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjuk kuasa untuk mewakilinya.
Bagian KeenamLarangan Bagi Kepala Daerah
Pasal 48
Kepala Daerah dilarang:
turut serta dalam suatu perusahaan, baik milik swasta maupun milik Negara/Daerah, atau dalam yayasan bidang apapun juga;
membuat keputusan yang secara khusus memberikan keuntungan bagi dirinya, anggota keluarganya, kroninya, golongan tertentu, atau kelompok politiknya yang secara nyata merugikan kepentingan umum atau mendiskriminasikan warga negara dan golongan masyarakat lain;
melakukan pekerjaan lain yang memberikan keuntungan bagi dirinya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berhubungan dengan Daerah yang bersangkutan;
menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang patut dapat diduga akan mempengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya; dan
menjadi advokat atau kuasa hukum dalam suatu perkara di pengadilan, selain yang dimaksud dalam Pasal 47.
Bagian KetujuhPemberhentian Kepala Daerah
Pasal 49
Kepala Daerah berhenti atau diberhentikan karena:
meninggal dunia;
mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;
berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru;
tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33;
melanggar sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3);
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48; dan
mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangannya atas kasus itu ditolak oleh DPRD.
Pasal 50
(1) Pemberhentian Kepala Daerah karena alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ditetapkan dengan Keputusan DPRD dan disahkan oleh Presiden.
(2) Keputusan DPRD, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dihadiri oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya dua pertiga dari jumlah anggota yang hadir.
Pasal 51
Kepala Daerah diberhentikan oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun atau lebih, atau diancam dengan hukuman mati sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 52
(1) Kepala Daerah yang diduga melakukan makar dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberhentikan untuk sementara dari jabatannya oleh Presiden tanpa melalui Keputusan DPRD.
(2) Kepala Daerah yang terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dinyatakan dengan keputusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden, tanpa persetujuan DPRD.
(3) kepala Daerah yang setelah melalui proses peradilan ternyata tidak terbukti melakukan makar dan perbuatan yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diaktifkan kembali dan direhabilitasi selaku Kepala Daerah sampai akhir masa jabatannya.
Pasal 53
(1) DPRD memberitahukan akan berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah secara tertulis kepada yang bersangkutan, enam bulan sebelumnya.
(2) Dengan adanya pemberitahuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah mempersiapkan pertanggungjawaban akhir masa jabatannya kepada DPRD dan menyampaikan pertanggungjawaban tersebut selambat-lambatnya empat bulan setelah pemberitahuan.
(3) Selambat-lambatnya satu bulan sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir, DPRD mulai memproses pemilihan Kepala Daerah yang baru.
Pasal 54
Kepala Daerah yang ditolak pertanggungjawabannya oleh DPRD, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53, tidak dapat dicalonkan kembali sebagai Kepala Daerah dalam masa jabatan berikutnya.
Bagian KedelapanTindakan Penyidikan Terhadap Kepala Daerah
Pasal 55
(1) Tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden.
(2) Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan yangdiancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; dan
dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.
(3) Setelah tindakan penyidikanm sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan, hal itu harus dilaporkan kepada Presiden selambat-lambatnya dalam 2 kali 24 jam.
Bagian KesembilanWakil Kepala Daerah
Pasal 56
(1) Di setiap Daerah terdapat seorang Wakil Kepala Daerah.
(2) Wakil Kepala Daerah dilantik oleh Presiden atau pejabat lain yang ditunjuk, bersamaan dengan pelantikan Kepala Daerah.
(3) Sebelum memangku jabatannya, Wakil Kepala Daerah mengucapkan sumpah/janji.
(4) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut:"Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Wakil Gubernur/Wakil Bupati/Wakil Walikota dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
(5) Ketentuan-ketentuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33, Pasal 41, Pasal 43 kecuali huruf g, Pasal 47 sampai dengan Pasal 54, berlaku juga bagi Wakil Kepala Daerah.
(6) Wakil Kepala Daerah Propinsi disebut Wakil Gubernur, Wakil Kepala Daerah Kabupaten disebut Wakil Bupati, dan Wakil Kepala Daerah Kota disebut Wakil Walikota.
Pasal 57
(1) Wakil Kepala Daerah mempunyai tugas:
membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan kewajibannya;
mengkoordinasikan kegiatan instansi pemerintahan di Daerah; dan
melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.
(2) Wakil Kepala Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
(3) Wakil Kelapa Daerah melaksanakan tugas dan wewenang Kepala Daerah apabila Kepala Daerah berhalangan.
Pasal 58
(1) Apabila Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Kepala Daerah diganti oleh Wakil Kepala Daerah sampai habis masa jabatannya.
(2) Apabila Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, jabatan Wakil Kepala Daerah tidak diisi.
(3) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, Sekretaris Daerah melaksanakan tugas Kepala Daerah untuk sementara waktu.
(4) Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah berhalangan tetap, DPRD menyelenggarakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selambat-lambatnya dalam waktu tiga bulan.
Bagian KesepuluhKedudukan Keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
Pasal 59
Kedudukan keuangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian KesebelasPerangkat Daerah
Pasal 60
Perangkat Daerah terdiri atas Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan lembaga teknis Daerah lainnya, sesuai dengan kebutuhan Daerah.
Pasal 61
(1) Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah.
(2) Sekretaris Daerah Propinsi diangkat oleh Gubernur atas persetujuan pimpinan DPRD dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.
(3) Sekretaris Daerah Propinsi karena jabatannya adalah Sekretaris Wilayah Administrasi.
(4) Sekretaris Daerah Kabupaten atau Sekretaris Daerah Kota diangkat oleh Bupati atau Walikota atas persetujuan pimpinan DPRD dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.
(5) Sekretaris Daerah berkewajiban membantu Kepala Daerah dalam menyusun kebijakan serta membina hubungan kerja dengan dinas, lembaga teknis, dan unit pelaksana lainnya.
(6) Sekretaris Daerah bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
(7) Apabila Sekretaris Daerah berhalangan melaksanakan tugasnya, tugas Sekretaris Daerah dilaksanakan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Pasal 62
(1) Dinas Daerah adalah unsur pelaksana Pemerintah Daerah.
(2) Dinas dipimpin oleh seorang Kepala Dinas yang diangkat oleh Kepala Daerah dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat atas usul Sekretaris Daerah.
(3) Kepala Dinas bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretaris Daerah.
Pasal 63
Penyelenggaraan wewenang yang dilimpahkan oleh Pemerintah kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah dalam rangka dekonstrasi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), dilaksanakan oleh Dinas Propinsi.
Pasal 64
(1) Penyelenggaraan bidang pemerintahan yang menjadi wewenang Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, dilakukan oleh instansi vertikal.
(2) Pembentukan, susunan organisasi, formasi, dan tata laksananya, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 65
Di Daerah dapat dibentuk lembaga teknis sesuai dengan kebutuhan Daerah.
Pasal 66
(1) Kecamatan merupakan perangkat Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang dipimpin oleh Kepala Kecamatan.
(2) Kepala Kecamatan disebut Camat.
(3) Camat diangkat oleh Bupati/Walikota atas usul Sekretaris Daerah Kabupaten/Kota dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat.
(4) Camat menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Bupati/Walikota.
(5) Camat bertanggung jawab kepada Bupati atau Walikota.
(6) Pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 67
(1) Kelurahan merupakan perangkat Kecamatan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan.
(2) Kepala Kelurahan disebut Lurah.
(3) Lurah diangkat dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi syarat oleh Walikota/Bupati atas usul Camat.
(4) Lurah menerima pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari Camat.
(5) Lurah bertanggung jawab kepada Camat.
Pasal 68
(1) Susunan organisasi perangkat Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
(2) Formasi dan persyaratan jabatan perangkat Daerah ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Pemerintah.
BAB VIPERATURAN DAERAH DAN KEPUTUSAN KEPALA DAERAH
Pasal 69
Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah atas persetujuan DPRD dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 70
Peraturan Daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah lain dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 71
(1) Peraturan Daerah dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar.
(2) Peraturan Daerah dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dengan atau tidak merampas barang tertentu untuk Daerah, kecuali jika ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 72
(1) Untuk melaksanakan Peraturan Daerah dan atas kuasa peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, kepala Daerah menetapkan keputusan Kepala Daerah.
(2) Keputusan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan Daerah, dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 73
(1) Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat mengatur diundangkan dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah.
(2) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mempunyai kekuatan hukum dan mengikat setelah diundangkan dalam Lembaran Daerah.
Pasal 74
(1) Penyidikan dan penuntutan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah dilakukan oleh pejabat penyidik dan penuntut sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Dengan Peraturan Daerah dapat juga ditunjuk pejabat lain yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah.
BAB VIIKEPEGAWAIAN DAERAH
Pasal 75
Norma, standar, dan prosedur mengenai pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak, dan kewajiban, serta kedudukan hukum Pegawai Negeri Sipil di Daerah dan Pegawai Negeri Sipil Daerah, ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 76
Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pasal 77
Pemerintah Wilayah Propinsi melakukan pengawasan pelaksanaan administrasi kepegawaian dan karir pegawai di wilayahnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VIIIKEUANGAN DAERAH
Pasal 78
(1) Penyelenggaraan tugas Pemerintah Daerah dan DPRD dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Penyelenggaraan tugas Pemerintah di Daerah dibiayai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 79
Sumber pendapatan Daerah terdiri atas:
pendapatan asli Daerah, yaitu:
hasil pajak Daerah;
hasil retribusi Daerah;
hasil perusahaan milik Daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
lain-lain pendapatan asli Daerah yang sah;
dana perimbangan;
pinjaman Daerah; dan
lain-lain pendapatan Daerah yang sah.
Pasal 80
(1) Dana perimbangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, terdiri atas:
bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam;
dana alokasi umum; dan
dana alokasi khusus.
(2) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perdesaan, perkotaan, dan perkebunan serta Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diterima langsung oleh Daerah penghasil.
(3) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan serta kehutanan dan penerimaan dari sumber daya alam, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diterima oleh Daerah penghasil dan Daerah lainnya untuk pemerataan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), ditetapkan dengan Undang-undang.
Pasal 81
(1) Pemerintah Daerah dapat melakukan peminjaman dari sumber dalam negeri dan/atau dari sumber luar negeri untuk membiayai kegiatan pemerintahan dengan persetujuan DPRD.
(2) Pinjaman dari dalam negeri diberitahukan kepada Pemerintah dan dilaksanakan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Peminjaman dan sumber dana pinjaman yang berasal dari luar negeri, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mendapatkan persetujuan Pemerintah, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Tata cara peminjaman, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 82
(1) Pajak dan retribusi Daerah ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) Penentuan tarif dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 83
(1) Untuk mendorong pemberdayaan Daerah, Pemerintah memberi insentif fiskal dan nonfiskal tertentu.
(2) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 84
Daerah dapat memiliki Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pembentukannya diatur dengan Peraturan Daerah.
Pasal 85
(1) Barang milik Daerah yang digunakan untuk melayani kepentingan umum tidak dapat digadaikan, dibebani hak tanggungan, dan/atau dipindahtangankan.
(2) Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD dapat menetapkan keputusan tentang:
penghapusan tagihan Daerah sebagian atau seluruhnya;
persetujuan penyelesaian sengketa perdata secara damai; dan
tindakan hukum lain mengenai barang milik Daerah.
Pasal 86
(1) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya satu bulan setelah ditetapkannya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(2) Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir.
(3) Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang bersangkutan.
(4) Pedoman tentang penyusunan, perubahan, dan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah disampaikan kepada Gubernur bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri bagi Pemerintah Propinsi untuk diketahui.
(6) Pedoman tentang pengurusan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan Daerah serta tata cara penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, pelaksanaan tata usaha keuangan Daerah dan penyusunan perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB IXKERJA SAMA DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 87
(1) Beberapa Daerah dapat mengadakan kerja sama antar Daerah yang diatur dengan keputusan bersama.
(2) Daerah dapat membentuk Badan Kerja Sama Antar Daerah.
(3) Daerah dapat mengadakan kerja sama dengan badan lain yang diatur dengan keputusan bersama.
(4) Keputusan bersama dan/atau badan kerja sama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), yang membebani masyarakat dan Daerah harus mendapatkan persetujuan DPRD masing-masing.
Pasal 88
(1) Daerah dapat mengadakan kerja sama yang saling menguntungkan dengan lembaga/badan di luar negeri, yang diatur dengan keputusan bersama, kecuali menyangkut kewenangan Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.
(2) Tata cara, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 89
(1) Perselisihan antar-Daerah diselesaikan oleh Pemerintah secara musyawarah.
(2) Apabila dalam penyelesaian perselisihan antar-Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdapat salah satu pihak yang tidak menerima keputusan Pemerintah, pihak tersebut dapat mengajukan penyelesaian kepada Mahkamah Agung.
BAB XKAWASAN PERKOTAAN
Pasal 90
Selain Kawasan Perkotaan yang berstatus Daerah Kota, perlu ditetapkan Kawasan Perkotaan yang terdiri atas:
Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian Daerah Kabupaten;
Kawasan Perkotaan baru yang merupakan hasil pembangunan yang mengubah Kawasan Perdesaan menjadi Kawasan Perkotaan; dan
Kawasan Perkotaan yang merupakan bagian dari dua atau lebih Daerah yang berbatasan sebagai satu kesatuan sosial, ekonomi, dan fisik perkotaan.
Pasal 91
(1) Pemerintah Kota dan/atau Pemerintah Kabupaten yang wilayahnya berbatasan langsung dapat membentuk lembaga bersama untuk mengelola Kawasan Perkotaan.
(2) Di Kawasan Perdesaan yang direncanakan dan dibangun menjadi Kawasan Perkotaan di Daerah Kabupaten, dapat dibentuk Badan Pengelola Pembangunan yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah.
(3) Ketentuan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan hal-hal lain mengenai pengelolaan Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 92
(1) Dalam penyelenggaraan pembangunan Kawasan Perkotaan, Pemerintah Daerah perlu mengikutsertakan masyarakat dan pihak swasta.
(2) Pengikutsertaan masyarakat, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perkotaan.
(3) Pengaturan mengenai Kawasan Perkotaan ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XID E S A
Bagian PertamaPembentukan, Penghapusan, dan/atau Penggabungan Desa
Pasal 93
(1) Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.
(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 94
Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa.
Bagian KeduaPemerintah Desa
Pasal 95
(1) Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dan perangkat Desa.
(2) Kepala Desa dipilih langsung oleh penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat.
(3) Calon Kepala Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Badan Perwakilan Desa dan disahkan oleh Bupati.
Pasal 96
Masa jabatan Kepala Desa paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan.
Pasal 97
Yang dapat dipilih menjadi Kepala Desa adalah penduduk Desa warga negara Republik Indonesia dengan syarat-syarat:
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945;
tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung dalam kegiatan yang mengkhianati Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, G30S/PKI dan/atau kegiatan organisasi terlarang lainnya;
berpendidikan sekurang-kurangnya Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan/atau berpengetahuan yang sederajat;
berumur sekurang-kurangnya 25 tahun;
sehat jasmani dan rohani;
nyata-nyata tidak terganggu jiwa/ingatannya;
berkelakuan baik, jujur, dan adil;
tidak pernah dihukum penjara karena melakukan tindak pidana;
tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di Desa setempat;
bersedia dicalonkan menjadi Kepala Desa; dan
memenuhi syarat-syarat lain yang sesuai dengan adat istiadat yang diatur dalam Peraturan Daerah.
Pasal 98
(1) Kepala Desa dilantik oleh Bupati atau pejabat lain yang ditunjuk.
(2) Sebelum memangku jabatannya, Kepala Desa mengucapkan sumpah/janji.
(3) Susunan kata-kata sumpah/janji dimaksud adalah sebagai berikut: "Demi Allah (Tuhan), saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya selaku Kepala Desa dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, dan seadil-adilnya; bahwa saya akan selalu taat dalam mengamalkan dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara; dan bahwa saya akan menegakkan kehidupan demokrasi dan Undang-Undang dasar 1945 sebagai konstitusi negara serta segala peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Desa, Daerah dan Negara Kesatuan Republik Indonesia".
Pasal 99
Kewenangan Desa mencakup :
kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;
kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan
Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten.
Pasal 100
Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten kepada Desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
Pasal 101
Tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah :
memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa;
membina kehidupan masyarakat Desa;
membina perekonomian Desa;
memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat Desa;
mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa; dan
mewakili Desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.
Pasal 102
Dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, Kepala Desa:
bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa; dan
menyampaikan laporan menganai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati.
Pasal 103
(1) Kepala Desa berhenti karena :
meninggal dunia;
mengajukan berhenti atas permintaan sendiri;
tidak lagi memenuhi syarat dan/atau melanggar sumpah/janji;
berakhir masa jabatan dan telah dilantik Kepala Desa yang baru; dan
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Desa.
(2) Pemberhentian Kepala Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa.
Bagian KetigaBadan Perwakilan Desa
Pasal 104
Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
Pasal 105
(1) Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan.
(2) Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota.
(3) Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa.
(4) Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Bagian KeempatLembaga Lain
Pasal 106
Di Desa dapat dibentuk lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Bagian KelimaKeuangan Desa
Pasal 107
(1) Sumber pendapatan Desa terdiri atas:
pendapatan asli Desa yang meliputi :
hasil usaha Desa;
hasil kekayaan Desa;
hasil swadaya dan partisipasi;
hasil gotong royong; dan
lain-lain pendapatan asli Desa yang sah;
bantuan dari Pemerintah Kabupaten yang meliputi:
bagian dari perolehan pajak dan retribusi Daerah; dan
bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan Daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten;
bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Propinsi;
sumbangan dari pihak ketiga; dan
pinjaman Desa.
(2) Sumber pendapatan Desa, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
(3) Kepala Desa bersama Badan Perwakilan Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun dengan Peraturan Desa.
(4) Pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh Bupati.
(5) Tata cara dan pungutan objek pendapatan dan belanja Desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa.
Pasal 108
Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bagian KeenamKerja Sama Antar Desa
Pasal 109
(1) Beberapa Desa dapat mengadakan kerja sama untuk kepentingan Desa yang diatur dengan keputusan bersama dan diberitahukan kepada Camat.
(2) Untuk pelaksanaan kerja sama, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dibentuk Badan Kerja Sama.
Pasal 110
Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan pembangunan bagian wilayah Desa menjadi wilayah permukiman, industri, dan jasa, wajib mengikutsertakan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasannya.
Pasal 111
(1) Pengaturan lebih lanjut mengenai Desa ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten, sesuai dengan pedoman umum yang ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan undang-undang ini.
(2) Peraturan Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat Desa.
BAB XIIPEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 112
(1) Dalam rangka pembinaan, Pemerintah memfasilitasi penyelenggaraan Otonomi Daerah.
(2) Pedoman mengenai pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 113
Dalam rangka pengawasan, Peraturan Daerah dan Keputusan Kepada Daerah disampaikan kepada Pemerintah selambat-lambatnya lima belas hari setelah ditetapkan.
Pasal 114
(1) Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.
(2) Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan kepada Daerah yang bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya.
(3) Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah tersebut dibatalkan pelaksanaannya.
(4) Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah mengajukannya kepada Pemerintah.
BAB XIIIDEWAN PERTIMBANGAN OTONOMI DAERAH
Pasal 115
(1) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertugas memberikan pertimbangan kepada Presiden mengenai:
pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan pemekaran Daerah;
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah; dan
kemampuan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota untuk melaksanakan kewenangan tertentu, sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 11.
(2) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah terdiri atas Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, Menteri Sekretaris Negara, menteri lain sesuai dengan kebutuhan, perwakilan Asosiasi Pemerintah Daerah, dan wakil-wakil Daerah yang dipilih oleh DPRD.
(3) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan karena jabatannya adalah Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah.
(4) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengadakan rapat sekurang-kurangnya satu kali dalam enam bulan.
(5) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah bertanggung jawab kepada Presiden.
(6) Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Pasal 116
Dalam melaksanakan tugasnya Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dibantu oleh Kepala Sekretariat yang membawahkan Bidang Otonomi Daerah dan bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.
BAB XIVKETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 117
Ibukota Negara Republik Indonesia, Jakarta, karena kedudukannya diatur tersendiri dengan undang-undang.
Pasal 118
(1) Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur dapat diberikan otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Pengaturan mengenai penyelenggaraan otonomi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 119
(1) Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, berlaku juga di kawasan otorita yang terletak di dalam Daerah Otonom, yang meliputi badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan bandar udara, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan pariwisata, kawasan jalan bebas hambatan, dan kawasan lain yang sejenis.
(2) Pengaturan lebih lanjut, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 120
(1) Dalam rangka menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum serta untuk menegakkan Peraturan Daerah dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja sebagai perangkat Pemerintah Daerah.
(2) Susunan organisasi, formasi, kedudukan, wewenang, hak, tugas, dan kewajiban Polisi Pamong Praja ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 121
Sebutan Propinsi Daerah Tingkat I, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan Kotamadya Daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, berubah masing-masing menjadi Propinsi, Kabupaten, dan Kota.
Pasal 122
Keistimewaan untuk Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Propinsi Istimewa Aceh dan Propinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada undang-undang ini.
Pasal 123
Kewenangan Daerah, baik kewenangan pangkal atas dasar pembentukan Daerah maupun kewenangan tambahan atas dasar Peraturan Pemerintah dan/atau atas dasar peraturan perundang-undangan lainnya, penyelenggaraannya disesuaikan dengan Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 11 undang-undang ini.
BAB XVKETENTUAN PERALIHAN
Pasal 124
Pada saat berlakunya undang-undang ini nama, batas, dan ibukota Propinsi Daerah Tingkat I, Daerah Istimewa, Kabupaten Daerah Tingkat II, dan Kotamadya Daerah Tingkat II, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan, adalah tetap.
Pasal 125
(1) Kotamadya Batam, Kabupaten Paniai, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Simeulue, dan semua Kota Administratif dapat ditingkatkan menjadi Daerah Otonom dengan memperhatikan Pasal 5 undang-undang ini.
(2) Selambat-lambatnya dua tahun setelah tanggal ditetapkannya undang-undang ini, Kotamadya, Kabupaten, dan Kota Administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sudah harus berubah statusnya menjadi Kabupaten/Kota jika memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 5 undang-undang ini.
(3) Kotamadya, Kabupaten, dan Kota Administratif, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dihapus jika tidak memenuhi ketentuan untuk ditingkatkan statusnya menjadi Daerah Otonom.
Pasal 126
(1) Kecamatan, Kelurahan, dan Desa yang ada pada saat mulai berlakunya undang-undang ini tetap sebagai Kecamatan, Kelurahan, dan Desa atau yang disebut dengan nam alain, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 huruf m, huruf n, dan huruf o undang-undang ini , kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Desa-desa yang ada dalam wilayah kotamadya, Kotamadya Administratif, dan Kota Administratif berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 pada saat mulai berlakunya undang-undang ini ditetapkan sebagai Kelurahan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 huruf n undang-undang ini.
Pasal 127
Selama belum ditetapkan peraturan pelaksanaan undang-undang ini, seluruh instruksi, petunjuk, atau pedoman yang ada atau yang diadakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah jika tidak bertentangan dengan undang-undang ini dinyatakan tetap berlaku.
Pasal 128
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Wakil Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, Bupati Kepala Daerah Tingkat II, Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Wakil Bupati Kepala Daerah Tingkat II, Wakil Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II, Bupati, Walikotamadya, Walikota, Camat, Lurah, dan Kepala Desa beserta perangkatnya yang ada, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979, pada saat mulai berlakunya undang-undang ini tetap menjalankan tugasnya, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang ini.
Pasal 129
(1) Dengan diberlakukannya undang-undang ini, Lembaga Pembantu Gubernur, Pembantu Bupati, Pembantu Walikotamadya, dan Badan Pertimbangan Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dihapus.
(2) Instansi vertikal di Daerah selain yang menangani bidang-bidang luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, menjadi perangkat Daerah.
(3) Semua instansi vertikal yang menjadi perangkat daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kekayaannya dialihkan menjadi milik Daerah.
Pasal 130
(1) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih awal daripada masa jabatan Kepala Daerah, jabatan Wakil Kepala Daerah tidak diisi.
(2) Apabila masa jabatan Wakil Kepala Daerah berakhir lebih lambat daripada masa jabatan Kepala Daerah, masa jabatan Wakil Kepala Daerah disesuaikan dengan masa jabatan Kepala Daerah.
BAB XVIKETENTUAN PENUTUP
Pasal 131
Pada saat berlakunya undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi:
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (Lembaran Negara Tahun 1979 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3153).
Pasal 132
(1) Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai selambat-lambatnya satu tahun sejak undang-undang ini ditetapkan.
(2) Pelaksanaan undang-undang ini dilakukan secara efektif selambat-lambatnya dalam waktu dua tahun sejak ditetapkannya undang-undang ini.
Pasal 133
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dan/atau tidak sesuai dengan undang-undang ini, diadakan penyesuaian.
Pasal 134
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di JakartaPada tanggal 7 Mei 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIAttdBACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di JakartaPada tanggal 7 Mei 1999



PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 22 TAHUN 1999
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH
I. UMUM
Dasar Pemikiran
Negara Republik Indonesia scbagai Negara Kcsatuan menganut asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, dengan memberikan kesempatan dan perluasaan kepada Daerah untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah. Karena itu, Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, antara lain menyatakan bahwa pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk dan susuna pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang. Dalam penjelasan pasal tersebut, antara lain dikemukakan bahwa "oleh karena Negara Indoncsia itu suatu eenheidsstaat,maka Indonesia tidak akan mempunyai Daerah dalam lingkungannya yang bersifat staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Di daerah-daerah yang bersifat otonom (streek en locale rechtgemeenscahppen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-undang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan Badan Perwakilan Daerah. Oleh karena itu, di daerah pun, pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Dengan demikian, Undang-Undang Dasar 1945 merupakan landasan yang kuat untuk menyelenggarakan otonomi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah,sebagaimana tertuang dalam Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Kcuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-undang ini discbut "Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah" karena undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi.
Sesuai dengan Ketetapan MPR-RI Nomor XV/MPR/1998 tersebut di atas, Penyelenggaraan Otonomi Dacrah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kepada Daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah. Di samping itu, penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip- prinsip demokrasi, peran-serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah.
Hal-hal yang menclasar dalam undang-undang ini adalah mendorong untuk memberdayakan masyarakat, mcnumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran-serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Oleh karena itu, undang-undang ini menempatkan Otonami Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, yang dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 berkedudukan sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II dan Kotamadya Daerah Tingkat II. Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut berkedudukan sebagai Daerah Otonom mempunyai kewenangan dan keleluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Propinsi Daerah Tingkat I menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini dijadikan Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah Administrasi, yang melaksanakan kewenangan pemerintah Pusat yang didelegasikan kepada Gubernur, Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah alasan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Dengan demikian, Daerah Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan hierarki.
Pemberian kedudukan Propinsi sebagai Daerah Otonom dan sekaligus sebagai Wilayah Administrasi dilakukan dengan pertimbangan:
(1) untuk memelihara hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Rcpublik Indonesia;
(2) untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang bersifat lintas Daerah Kabupaten dan Daerah Kota serta melaksanakan kewenangan Otonomi Daerah yang belum dapat dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan
(3) untuk mclaksanakan tugas-tugas Pemerintahan tertentu yang dilimpahan dalam rangka pelaksanaan asas dekonsciitrasi.
Dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang, pertahanan keamanan,Peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu keleluasaan otonomi mencakup pola kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,pengendalian,dan evaluasi. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan Daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di Daerah. Yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa penyuluhan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada Daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh Daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahtentan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan , pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi untuk Daerah Propinsi diberikat secara terbatas yang meliputi kewenangan lintas Kabupaten dan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota,serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya.
Atas dasar pemikiran di atas, prinsip-prinsip pemberian Otonomi Daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-undang ini adalah sebagai berikut:
(1) Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan,pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah.
(2) Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggungjawab.
(3) Pelaksanaan otonomi Daerah yang luas dan utuh diletakkan pada Daerah kabupaten dan Daerah Kota, sedang Otonomi Daerah Propinsi merupakan otonomi yang terbatas.
(4) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara, sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar-Daerah.
(5) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonomi, dan karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak ada lagi Wilayah Adminitrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh Pemerintah atau pihak lain, seperti badan otorita, kawasan pelabuhan, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertambangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan semacamnya berlaku Ketentuan peraturan Daerah Otonom.
(6) Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislatif Daerah, baik sebagai fungsi legislatif, fungsi pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
(7) Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada Daerah Propinsi dalam kedudukannya sebagai Wilayah Administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertetu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah.
(8) Pelaksanaan asas tugas pcmbantuan dimungkinkan, tidak hanya.dari Pemerintah kepada Daerah, tetapi juga dari Pemerintah dan Daerah Kepada Desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.
Pembagian Daerah
Isi dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 Beserta penjelasannya menjadi pedoman dalam penyusunan undang-undang ini dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
Sistem ketatanegaraan Indonesia wajib menjalankan prinsip pembinaan kewenangan berdasarkan asas dekosentrasi dan desentralisasi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Daerah yang dibcntuk berdasarkan asas desentralisasi dan dekonsentrasi adalah Daerah Propinsi, sedangkan Daerah yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi adalah Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Daerah yang dibentuk dengan asas desentralisasi berwenang untuk menentukan dan melaksanakan kebijakan atas prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat.
Pembagian Daerah di luar Daerah Propinsi dibagi habis ke dalam Daerah Otonom. Dengan demikian, Wilayah Administrasi yang berada dalam Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dapat dijadikan Daerah Otonom atau dihapus.
Kecamatan yang menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 sebagai Wilayah Administrasi dalam rangka dekonsentrasi, menurut undang-undang ini kedudukannya diubah menjadi perangkat Daerah Kabupaten atau Daerah Kota.
Prinsip penyelenggaraan Pemerintahan Daerah adalah:
digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;
penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota; dan
asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa.
Susunan Pemerintahan Daerah dan Hak DPRD
Susunan Pemerintahan Daerah Otonom meliputi DPRD dan Pemerintah Daerah. DPRD dipisahkan dari Pemerintah Daerah dengan maksud untuk lebih memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah kepada rakyat. Oleh karena itu, hak-hak DPRD cukup luas dan diarahkan untuk menyerap serta menyalurkan aspirasi masyarakat menjadi kcbijakan Daerah dan melakukan fungsi pengawasan.
Kepala Daerah
Untuk menjadi Kepala Daerah, seseorang diharuskan memenuhi persyaratan Tertentu yang intinya agar Kepala Daerah selalu bertakwa kepaga Tuhan Yang Maha Esa, memiliki etika dan moral, berpengetahuan dan berkemampuan sebagai Pimpinan pemerintahan, berwawasan kebangsaan, serta mendapatkan kepercayaan masyarakat. Kepala Daerah di samping sebagai pimpinan pemerintahan, sekaligus adalah Pimpinan Daerah dan pengayom masyarakat sehingga Kepala Daerah harus mampu berpikir, bertindak, dan bersikap dengan lebih mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat umum dari pada kepentingan pribadi, golongan, dan aliran. Oieh karena itu, dari kclompok atau etnis, dan keyakinan mana pun Kepala Daerah harus bersikap arif, bijaksana, jujur, adil, dan netral.
Pertanggungjawaban Kepala Daerah
Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Pemerintah Daerah, Gubernur bertanggungjawab kepada DPRD Propinsi, sedangkan dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, Gubernur bertanggungjawab kepada Presiden. Sementara itu, dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah di Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, Bupati atau Walikota bertanggungjawab kepada DPRD Kabupaten/DPRD Kota dan Berkewajiban memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri Dalam rangka pembinaan dan pengawasan.
Kepegawaian
Kebijakan kepegawaian dalam undang-undang ini dianut kebijakan yang mendorong pengembangan Otonomi Daerah sehingga kebijakan kepegawaian di Daerah yang dilaksanakan oieh Daerah Otonomi sesuai dengan kebutuhannya, baik pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan mutasi maupun pemberhentian sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mutasi antar-Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam Daerah Propinsi diatur oleh Gubernur, sedangkan mutasi antar-Daerah Propinsi diatur oleh Pemerintah. Mutasi antar-Daerah Propinsi dan/atau antar-Daerah Kabupaten dan Daerah Kota atau Daerah Propinsi dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan pada kesepakatan Daerah Otonom tersebut.
Keuangan Daerah
(1) Untuk menyelenggarakan Otonomi Daerah yang luas, nyata, dan bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, yang didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Propinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat dalam sistem Pemerintahan Daerah.
(2) Dalam rangka menyelenggarakan Otonomi Daerah kewenangan keuangan yang melekat pada setiap kewenangan pemerintahan menjadi kewenangan Daerah.
Pemerintahan Desa
(1) Desa berdasarkan Undang-undang ini adalah Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 18 Undang- Undang Dasar 1945 Landasan penlikiran dalam pengaturan mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat.
(2) Penyelenggaraan Pemerintahan merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggug jawab pada Badan Perwakilan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugas tersebut kepada Bupati.
(3) Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan rncnuntut di pengadilan. Untuk itu, Kepala Dcsa dengan persetujuan Badan Perwakilan Desa mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan perjanjian yang saling menguntungkan.
(4) Sebagai perwuludan demokrasi, di Desa dibentuk Badan Perwakilan Desa atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa yang bersangkutan, yang berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pefaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
(5) Di Desa dibentuk lembaga kemasyarakatan Desa lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa. Lembaga dimaksud merupakan mitra Pemerintah. Desa dalam rangka pemberdayaan masyarakat Desa.
(6) Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan Desa, bantuan Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman Desa.
(7) Berdasarkan hak asal-usul Desa yang bersangkutan, Kepala Desa mempunyai wewenang untuk mendamaikan perkara/sengketa dari para warganya.
(8) Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang berdirikan perkotaan dibentuk Kelurahan sebagai unit Pemerintah Kelurahan yang berada di dalam Daerah Kabupaten dan/atau Daerah Kota.
Pembinaan dan Pengawasan
Yang dimaksud dengan pembinaan adalah lebih ditekankan pada memfasilitasi Dalam upaya pemberdayaan Daerah Otonom, sedangkan pengawasan lebih Ditekankan pada pengawasan represif untuk lebih memberikan kebebasan kepada Daerah Otonom dalam mengambil keputusan serta memberikan peran kepada DPRD Dalam mewujudkan fungsinya sebagai badan pengawas terhadap pelaksanaan Otonomi Daerah. Karena itu, Peraturan Daerah yang ditetapkan Daerah Otonom tidak memerlukan pengesahan terlebih dahulu oleh pejabat yang berwenang.
II PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
ayat (1)
cukup jelas
ayat (2)
Yang dimaksud Wilayah Administrasi adalah daerah administrasi menurut Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan tidak mempunyai hubungan hierarki satu sama lain adalah Bahwa Daerah. Propinsi tidak membawahkan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, tetapi dalam praktek. penyelenggaraan pemerintahan terdapat hubungan koordinasi, kerja sama, dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota dalam kedudukan masing-masing sebagai Daerah Otonom. Sementara itu, dalam kedudukan sebagai Wilayah Administrasi, Gubernur selaku wakil Pemerintah melakukan hubungan pemnbinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Untuk menentukan batas dimaksud, setiap Undang-undang mengenai pembentukan Daerah dilengkapi dengan peta yang dapat menunjukkan dengan tepat letak geografis Daerah yang bersangkutan, demikian pula mengenai perubahan batas Daerah.
Ayat (3)
Yang dimaksud ditetapkan Peraturan Pemerintah didasarkan pada usul Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan moneter dan fiskal adalah kebijakan makro ekonomi. Khusus di bidang keagamaan sebagian kegiatannya dapat ditugaskan oleh Pemerintah kepada Daerah sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan Daerah dalam menumbuh kembangkan kehidupan beragama. Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 8
Dalam penyelenggaraan kewenangan Pemerintah yang diserahkan dan atau Dilimpahkan kepada Daerah/Gubernur mempunyai kewenangan untuk mengelolanya mulai dari pembiayaan, perijinan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi sesuai dengan standar, norma, dan kebijakan Pemerintah.
Pasal 9
Ayat (1)
Kewenangan bidang pemerintahan yang bersifat lintas Kabupaten dan Kota seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan, dan perkebunan. Yang dimaksud dengan kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya adalah:
perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro;
pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial, dan penelitian yang mencakup wilayah Propinsi;
pengelolaan pelabuhan regional;
pengendalian lingkugan hidup;
promosi dagang dan budaya/pariwisata;
penanganan penyakit menular dan hama tanaman; dan
perencanaan tata ruang propinsi
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan kewenangan ini adalah kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota yang ditangani oleh Propinsi setelah ada pernyataan dari Daerah Kabupaten dan Daerah Kota.
Ayat (3)
cukup jelas
Pasal 10
ayat (1)
Yang dimaksud dengan sumber daya nasional Ayat (1) adalah sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia yang tcrsedia di Daerah
Pasal 11
Ayat (1)
Dengan diberlakukannya undang-undang ini, pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan secara aktif, tetapi dilakukan melalui pengakuan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Tanpa mengurangi arti dan pentingnya prakarsa Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, untuk menghindarkan terjadinya kekosongan penyelenggaraan pelayanan dasar kepada masyarakat, Daerah Kabupatcri dan Daerah Kota wajib melaksanakan kcwenangan dalam Bidang pemerintahan tertentu menurut pasal ini, sesuai dengan kondisi Daerah masing-masing. Kewenangan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak dapat dialihkan ke Daerah Propinsi. Khusus kewenangan Daerah Kota disesuaikan dengan kebutuhan perkotaan, antara lain, pemadam kebakaran, kebersihan, pertamanan,dan tata kota.
Pasal 12
cukup jelas
Pasal 13
cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Ayat(1)
Khusus untuk penan~kapan ikan secara tradisional tidak dibatasi wilayah laut.
Ayat(2)
Dalam kedudukannya sebagai Badan Legislatif Daerah, DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Pemilihan anggota MPR dari Utusan Daerah hanya dilakukan oleh DPRD
Propinsi.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 19
cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pejabat negara dan pejabat pemerintah adalah pejabat di lingkungan kerja DPRD bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
cukup jelas
Pasal 22
cukup jelas
Pasal 23
cukup jelas
Pasal 24
cukup jelas
Pasal 25
cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
cukup jelas
Pasal 28
cukup jelas
Pasal 29
cukup jelas
Pasal 30
cukup jelas
Pasal 31
cukup jelas
Pasal 32
cukup jelas
Pasal 33
cukup jelas
Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan adalah bahwa calon Kepala Daerah dan calon Wakil Kepala Daerah dipilih secara berpasangan. Pemilihan secara bersamaan ini dimaksudkan untuk menjamin kerja sama yang harmonis antara Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 35
Cukup jelas
Pasal 36
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan rapat paripurna adalah rapat yang khusus diadakan untuk pemilihan Kepala Daerah.
ayat (3)
cukup jelas
Pasal 38
ayat (1)
Calon Gubernur dan calon wakil Gubernur dikonsultasikan dengan Presiden, karena kedudukannya sclaku wakil Pemerintah di Daerah.
ayat (2)
Calon Bupati dan calon Wakil Bupati serta calon Walikota dan calon Wakil Walikota diberitahukan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah.
Pasal 39
cukup jelas
Pasal 40
cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pengucapan sumpah/juanji dan pelantikan Kepala Daerah dapat dilakukan di GedungDPRD atau di gedung lain, dan tidak dilaksanakan dalam rapat DPRD. Pengucapan sumpah/janji dilakukan menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni:
diawali dengan ucapan Demi Allah untuk Pasal 48 penganut agama Islam;
diakhiri dengan ucapan Semoga Tuhan Menolong saya untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik;
diawali denngan ucapan Om atah paramawisesa untuk penganut agama Hindu; dan
diawali dengan ucapan Demi Sanghyang Adi Buddha untuk penganut agama Budha.
Ayat (3)
cukup jelas
Ayat (4)
cukup jelas
Pasal 43
huruf a
cukup jelas
huruf b
cukup jelas
huruf c
cukup jelas
huruf d
cukup jelas
huruf e
Dalam upaya meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat, Kepala Daerah berkewajiban mewujudkan demokrasi ekonomi dengan melaksanakan Pembinaan dan pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah yang mencakup permodalan, pemasaran, pengembangan teknologi,produksi, dan pengolahan serta pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia.
huruf f
cukup jelas
huruf g
cukup jelas
Pasal 44
cukup jelas
Pasal 45
cukup jelas
Pasal 46
cukup jelas
Pasal 47
cukup jelas
Pasal 48
huruf a dan c
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menghindarkan kemungkinan terjadinya konflik kepentingan bagi Kepala Daerah dalam melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan pemerintahan dengan tidak membeda-bedakan warga masyarakat.
Huruf b, huruf e, dan huruf d
Larangan tersebut dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan, antara lain, yang berwujud korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pasal 49
cukup jelas
Pasal 50
cukup jelas
Pasal 51
cukup jelas
Pasal 52
cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Pemberitahuan secara tertulis tentang berakhirnya masa jabatan Gubernur, tembusannya dikirimkan kepada Presiden, sedangkan berakhirnya masa jabatan Bupati/Walikota, tembusannya dikirimkan kepada Gubernur.
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 54
cukup jelas
Pasal 55
cukup jelas
Pasal 56
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
cukup jelas
Ayat (3)
Pengucapan sumpah/janji dan pelantikan Wakil Kepala Daerah dapat dilakukan di Gcdung Pasal 66 DPRD atau di gedung lain, tidak dilaksanakan dalam rapat DPRD. Pcngucapan sumpah/janji dilakukan menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni:
diawali dengan ucapan Demi Allah untuk penganut agama Islam;
diakhiri dengan ucapan Semoga Tuhan Menolong saya untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik;
diawali dengan Om atah paramawisesa untuk penganut agama Hindu; dan
diawali dengan ucapan Demi Sanghyang Adi Buddha untuk penganut agama Buddha.
Ayat (4)
cukup jelas
Ayat (5)
cukup jelas
Pasal 57
cukup jelas
Pasal 58
cukup jelas
Pasal 59
cukup jelas
Pasal 60
cukup jelas
Pasal 61
cukup jelas
Pasal 62
cukup jelas
Pasal 63
cukup jelas
Pasal 64
cukup jelas
Pasal 65
Yang dimaksud dengan lembaga teknis adalah Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Perencana, Lembaga Pengawasan, Badan Pendidikan dan Pelatihan, dan lain-lain.
Pasal 66
cukup jelas
Pasal 67
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
cukup jelas
Ayat (3)
Sekretaris Daerah Kota/Kabupaten memberi pertimbangan kepada Walikota,Bupati dalam proses pengangakatan Lurah.
Ayat(4)
Camat dapat melimpahkan sebagian kewenangan kepada Lurah.
Ayat (5)
cukup jelas
Ayat (6)
cukup jelas
Pasal 68
cukup jelas
Pasal 69
Peraturan Daerah hanya ditandatangani oleh Kepala Daerah dan tidak ditandatangani-serta Pimpinan DPRD karena DPRD bukan merupakan bagian dari Pemerintah Daerah.
Pasal 70
cukup jelas
Pasal 71
Ayat (1)
Paksaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menegakkan hukum dengan Undang-undang ini disebut "paksaan penegakan Hukum" atau "paksaan pemeliharaan hukum". Paksaan penegakan hukum itu pada umumnya berwujud mengambil atau meniadakan, mencegah atau memperbaiki segala sesuatu, melakukan sesuatu yang telah dibuat, diadakan, dijalankan, dialpakan, atau ditiadakan yang bertentangan dengan hukum. Paksaan itu harus didahului oleh suatu perintah tertulis oleh penguasa eksekutif kepada pelanggar. Apabila pelanggar tidak mengindahkannya, diambil suatu tindakan paksaan. Pejabat yang menjalankan tindakan paksaan penegakan hukum terhadap pelanggar harus dengan tegas diserahi tugas tersebut. Paksaan penegakan hukum itu hendaknya hanya dilakukan dalam hal yang sangat perlu saja dengan cara seimbang sesuai dengan berat pelanggaran, karena paksaan tersebut pada umumnya dapat menimbulkan kerugian atau penderitaan. Jumlah denda dapat disesuaikan dengan perkembangan tingkat kemahalan.
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 72
cukup jelas
Pasal 73
ayat (1)
Pengundangan peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat mengatur dilakukan mcnurut cara yang sah, yang merupakan keharusan agar Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah tersebut mempunyai kekuatan hukum dan mengikat. Pengundangan dimaksud kecuali untuk memenuhi formalitas hukum juga dalam rangka keterbukaan pemerintahan Cara pengundangan yang sah adalah dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah oleh Sekretaris Daerah. Untuk lebih mengefcktifkan pelaksanaan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, peraturan dan keputusan tersebut perlu dimasyarakatkan.
ayat (2)
cukup jelas
Pasal 74
cukup jelas
Pasal 75
cukup jelas
Pasal 76
Pemindahan pegawai dalam Daerah Kabupaten/Kota dilakukan oleh Bupati/ Walikota, pemindahan pegawai antar-Daerah kabupaten/Kota dan/atau antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Propinsi dilakukan oleh Gubernur setelah berkonsultasi dengan Bupati/Walikota, dan pemindahan pegawai antar-Daerah Propinsi atau antara Daerah Propinsi dan Pusat serta pemindahan pegawai Daerah antara Daerah Kabupaten/Kota dan Daerah Kabupaten/Kota di Daerah Propinsi lainnya ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Kepala Daerah.
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
huruf a
angka 1 Cukup jelas
angka 2 cukup jelas
angka 3 cukup jelas
angka 4
lain-lain pendapatan aslidaerah yang sah antara lain hasil penjualan asset daerah dan jasa giro
huruf b
cukup jelas
huruf c
cukup jelas
huruf d
lain-lain pendapatan Daerah yang sah adalah antara lain hibah atau penerimaan dari Daerah Propinsi atau Daerah Kabupatcii/Kota lainnya, dan peneriniaan lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 80
Ayat (1)
huruf a
Yang dimaksud dengan pcncrimaan sumber daya alam adalah penerimaan negara yang berasal dari pengelolaan sumber daya alam antara lain di bidang pertambangan umum, pertambangan minyak dan gas bumi, kehutanan, dan perikanan.
huruf b Cukup jelas
huruf c cukup jelas
ayat (2)
Tidak termasuk bagian Pemerintah dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang dikembalikan kepada Daerah.
ayat (3)
Cukup jelas
ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 81
Ayat (1)
Pinjaman dalam negeri bersumber dari Pemerintah, lembaga komersial, dan/atau pembiayaan obligasi Daerah dengan diberitahukan kepada Pemerintah sebelum peminjaman tersebut dilaksanakan. Yang berwenang mengadakan dan menanggung pinjaman Daerah adalah Kepala Daerah, yang ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah atas persetujuan DPRD. Di dalam Keputusan Kepala Daerah harus dicantumkan jumlah pinjaman dan sumber dana untuk memenuhi kewajiban pembayaran pinjaman.
Ayat (2)
Ayat (3)
Mekanisme pinjaman dari sumber luar negeri harus mendapat persetujuan Pemerintah mengandung pengertian bahwa Pemerintah akan melakukan evaluasi dari berbagai aspek mengenai dapat tidaknya usulan pinjaman Daerah untuk memproses lebih lanjut. Dengan demikian pemrosesan lebih lanjut usulan pinjaman Daerah secara tidak langsung sudah mencerminkan persetujuan Pemerintah atas usulan termaksud.
Pasal 82
Ayat (1)
Daerah dapat menetapkan pajak dan retribusi dengan Peraturan Daerah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
Ayat (2)
Penentuan tata cara pemungutan pajak dan retribusi Daerah termasuk pengembalian atau pembebasan pajak dan/atau rciribusi Daerah yang dilakukan dengan bcrpcdoman pada ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 83
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan inswitif nonfiskal adalah bantuan Pemerintah berupa kemudahan pembangunan prasarana, penyebaran lokasi industri strategis, penyebaran lokasi pusat-pusat perbankan nasional, dan lain-lain.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas
Huruf b Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan tindakan hukum lain adalah menjual, menggadaikan, menghibahkan, tukar guling, dan/atau memindahtangankan
Pasal 86
cukup jelas
Pasal 87
cukup jelas
Pasal 88
cukup jelas
Pasal 89
cukup jelas
Pasal 90
cukup jelas
Pasal 91
ayat (1)
Yang dimaksud dengan lembaga bersama adalah lembaga yang dibentuk secara bersama oleh Pemerintah Kabupaten/Kota yang berbatasan dalam rangka meningkatkan pelayanan, kepada masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 92
Ayat (1)
Pemerintah Daerah perlu memfasilitasi pembentukan forum perkotaan untuk menciptakan sinergi Pemerintah Daerah, masyarakat, dan pihak swasta.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan pemberdayaan masyarakat adalah pengikutsertaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pemilikan.
ayat (3)
cukup jelas
Pasal 93
Ayat (1)
Istilah Dcsa discsuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat seperti nagari,kampung, huta, bori, dan marga. Yang dimaksud dengan asal-usul adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan pcnjelasannya.
Ayat (2)
Dalam pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa perlu dipertimbangkan luas wilayah, jumlah penduduk, sosial budaya, potensi Desa, dan lain-lain.
Pasal 94
Istilah Badan Perwakilan Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa setempat. Pembentukan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Dcsa dilakukan oleh masyarakat Desa.
Pasal 95
Ayat (1)
Istilah Kepala Desa dapat disesuaikan dengan kondisi sosial budaya Desa setempat.
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 96
Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial budaya setempat.
Pasal 97
cukup jelas
Pasal 98
Ayat (1)
cukup jelas
Ayat (2)
Pengucapan sumpah/janji Kepala Desa dilakukan menurut agama yang diakui Pemerintah, yakni:
diawali dengan ucapan Demi Allah untuk penganut agama Islam;
diakhiri dengan ucapan Semoga Tuhan Menolong saya untuk penganut agama Kristen Protestan/Katolik;
diawali dengan ucapan Om atah paramawisesa untuk penganut agama Hindu; dan
diawali dengan ucapan Demi Sanghyang Adi Buddha untuk penganut agama Buddha.
Ayat (3)
cukup jelas
Pasal 99
cukup jelas
Pasal 100
Pemerintah Desa berhak mcnolak pelaksanaan Tugas Pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
Pasal 101
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup Jelas
Huruf c
Cukup Jelas
huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Untuk mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa, Kepala Desa dapat dibantu oleh lembaga adat Desa. Segala perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih.
Huruf f
cukup jelas
Pasal 102
Huruf a
cukup jelas
Huruf b
Laporan Kepala Desa disampaikan kepada Bupati dengan tembusan kepada Camat
Pasal 103
ayat (1)
Huruf a
cukup jelas
Huruf b
cukup jelas
Huruf c
cukup jelas
Huruf d
Untuk menghindari kekosongan dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Kepala Desa yang setelah berakhir masa jabatannya tetap melaksanakan tugasnya sebagai Kepala Desa sampai dengan dilantiknya Kepala Desa yang baru.
Huruf e
cukup jelas
Fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasaan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala Desa.
Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Peraturan Desa tidak memerlukan pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan kcpadanya selambat-lambatnya dua minggu setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Ayat (1)
Sumber pcndapatan yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa tidak dibenarkan diambilalih oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pemberdayaaii potcnsi Desa dalam meningkatkan pendapatan Desa dilakukan, antara lain, dengan pendirian Badan Usaha Milik Desa, kerja sama dengan piliak ketiga, dan kewenangan melakukan pinjaman. Sumber Pendapatan Daerah yang berada di Desa, baik pajak maupun retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten, tidak Ayat (2) dibenarkan adanya pungutan tambahan oleh Pemerintah Desa. Pendapatan Daerah dari sumber tersebut harus diberikan kepada Desa yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan adil. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan dampak lainnya.
Ayat (2)
Kegiatan pengclolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa yang ditetapkan setiap tahun meliputi penyusunan anggaran, pelaksanaan tata usaha kcuangan, dan perubahan serta perhitungan anggaran.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
cukup jelas
Ayat (5)
cukup jelas
Pasal 108
cukup jelas
Pasal 109
Ayat (1)
Kerja sama antar-Desa yang memberi beban kepada masyarakat harus mendapat persetujuan Badan Perwakilan Desa.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 110
Pemerintah Desa yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan dimaksud berhak menolak pembangunan tersebut.
Pasal 111
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan asal-usul adalah asal-usul terbentuknya Desa yang bersangkutan.
Pasal 112
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memfasilitasi adalah upaya memberdayakan Daerah Otonom melalui pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan, dan supervisi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 113
cukup jelas
Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengajuan keberatan kepada Mahkamahi Agung sebagai upaya hukum terakhir dilakukan selambat-lambatnya lima belas hari setelah adanya keputusan pembatalan dari Pemerintah.
Pasal 115
Ayat (1)
Mekanisme pemnbentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran Daerah dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Daerah yang akan dibentuk, dihapus, digabung dan/atau dimekarkan diusulkan oleh Kepala Daerah dengan persetujuan DPRD kepada Pemerintah;
Pemerintah menugaskan Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah untuk melakukan penelitian dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial udaya, sosial-polilik, jumlah penduduk luas daerah, dan pertimbangan lain;
Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyampaikan pertimbangan untuk menyusun rancangan undang-undang yang mengatur pembentukan, penghapusan, penggabungan, dan/atau pemekaran Daerah Otonom.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan Asosiasi Pemerintah Daerah adalah organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah dalam rangka kerja sama antar-Pemerintah Propinsi, antar Pemerintah Kabupaten, dan/atau antar-Pcmerintah Kota berdasarkan pcdoman yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Wakil-wakil Daerah dipilih oleh DPRD dari berbagai keahlian terutama di bidang keuangan dan pemerintahan, serta bersikap independen sebanyak 6 orang, yang terdiri atas 2 orang wakil Daerah Propinsi, 2 orang wakil Daerah Kabupaten dan 2 orang wakil Daerah Kota dengan masa tugas selama dua tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 116
cukup jelas
Pasal 117
cukup jelas
Pasal 118
Ayat (1)
Pemberian otonomi khusus kepada Propinsi Daerah I Timor Timur didasarkan pada perjanjian bilateral antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Portugal di bawah supervisi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Yang dimaksud dengan ditetapkan lain adalah Ayat(1) Ketetapan MPR RI yang mengatur status Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur lebih
Ayat (2)
cukup jelas
Pasal 119
cukup jelas
Pasal 120
cukup jelas
Pasal 121
cukup jelas
Pasal 122
Pengakuan keistinicwaan Propinsi Daerah Aceh didasarkan pada sejarah perjuangan kemerdekaan nasional, sedangkan isi keistimewaannya berupa pelaksanaan kehidupan beragama, adat, dan pendidikan serta mempcrhatikan peranan ulama dalam penetapan kebijlakan Daerah. Pengakuan keistimewaan Propinsi istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal-usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaannya adalah Pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai dengan undang-undang ini.
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Cukup jelas
Pasal 125
Cukup jelas
Pasal 126
Cukup jelas
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Cukup jelas
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Ayat (1)
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan undang-undang ini sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun.
Ayat (2)
Pelaksanaan penataan dimulai sejak ditetapkannya undang-undang ini dan sudah selesa dalam waktu dua tahun.
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3839