Friday, January 26, 2007

Menyoal Pembaruan Islam

Ismail F Alatas
Research Scholar History Department National University of Singapore

Artikel Hamid Fahmi Zarkasyi berjudul Menyoal 'Pembaruan Islam' (Republika, 28/12/06) menawarkan sebuah kritik terhadap proyek modernisasi dan liberalisasi Islam yang terdengar cukup segar. Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini memang haus akan kritik dewasa semacam ini.

Sering kita dengar hujatan, pengafiran, dan penyesatan dilancarkan beberapa kelompok Muslim terhadap mereka yang memperjuangkan 'pembaruan Islam'. Oleh karenanya, kritik, dalam arti kata sebenarnya sangat diperlukan guna menciptakan iklim intelektual dialogis. Artikel ini mencoba mengomentari beberapa poin penting yang telah disorot saudara Hamid.

Hegemoni konsep Barat
Dalam artikel tersebut, Hamid menekankan bahwa tantangan terberat yang dihadapi umat Islam adalah hegemoni konsep-konsep Barat yang kemudian diinternalisasi oleh kaum Muslimin sendiri. Jika kita tarik permasalahan ini lebih jauh ke belakang, maka tampak jelas bahwa akarnya terletak pada penemuan Islam sebagai objek studi oleh para ilmuwan Barat. Pada masa kolonial, baik di Indonesia maupun di negara Muslim lainnya, pemerintahan kolonial mengalami ketakutan mendalam terhadap Islam karena potensi subversif yang dimilikinya.

Dihadapkan dengan sebuah fenomena asing semacam ini, pemerintahan kolonial, beserta hulubalang intelektualnya mulai mencari tahu, membedah, dan merekonstruksi ulang Islam. Dengan begitu, Islam dapat direpresentasikan kepada dunia Barat dengan lensa yang dapat dikenali masyarakat Barat, walau tidak lagi dikenali kaum Muslimin sendiri.

Menurut antropolog Bernard Cohn, melalui proses 'determinasi, kodifikasi, kontrol, dan representasi' untuk mengenal tanah jajahan lebih dekat, sehingga lebih mudah mengontrolnya, ilmu kolonial lahir. Oleh karenanya, proses produksi ilmu kolonial merupakan penaklukan ranah epistemologi lokal. Dengan kata lain, sumber-sumber lokal dikumpulkan, diklasifikasi, dan ditafsirkan sebagai investigative modalities yang lama kelamaan diterima sebagai ilmu pengetahuan positif.

Para ilmuwan yang mengkaji Islam dan sejarah perkembangannya, kemudian mulai mengklasifikasi, mendefinisikan, dan menafsirkan Islam serta mengimposisikan konsep-konsep asing. Bahayanya, konsep-konsep serta klasifikasi yang disematkan para intelektual Barat seperti Islam tradisional, modern, liberal, Islam rasional, Islam skripturalis, dan sebagainya, banyak tidak berakar pada tradisi dan pengalaman historis Islam itu sendiri.

Karena maksud dari sistematisasi ini adalah merepresentasikan Islam kepada khalayak Eropa, maka konsep-konsep yang digunakan adalah konsep-konsep yang lebih akrab dengan pemikiran Eropa, yakni yang berdasar pada pengalaman historis Barat. Akibatnya, hal-hal yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan dalam pandangan hidup Islam, tiba-tiba menjadi ada. Dengan kata lain, masuklah konsep-konsep asing yang tidak sedikit bersifat kontradiktif dengan ajaran fundamental agama, ke dalam diskursus Islam.

Setelah konsep-konsep asing yang disematkan pada Islam terkonsolidasi di dunia Barat, barulah ia diadopsi kaum Muslim. Para pelajar Muslim yang belajar di universitas-universitas Barat kemudian mulai melihat Islam melalui kacamata para intelektual Barat. Proses ini, yang oleh saudara Hamid dicontohkan dalam kasus 'pembaruan Islam', disebut dengan internalisasi pemikiran asing dalam melihat diri sendiri. Dengan demikian, konsep-konsep yang berakar pada ketakutan kolonial serta ambisi dominasinya, dinaturalisasi dalam pembacaan kita akan Islam.

Kajian meta-analisis
Salah satu kelemahan fundamental yang dialami cendekiawan Indonesia dewasa ini muncul dalam mendefiniskan suatu masalah. Kelemahan dalam tingkat logika ini kemudian melahirkan kerancuan dalam pemilihan masalah serta penanggulangan dan penyikapannya. Artikel saudara Hamid telah menyoroti salah satu problem fundamental yang selama ini tidak dilihat sebagai problem, yaitu hegemoni konsep, pemahaman, nilai, ide, pendekatan bahkan terminologi Barat. Amnesia terhadap sejarah konsep-konsep tersebut turut menyemarakkan fenomena tersebut. Oleh karenanya, di Indonesia diperlukan kajian-kajian meta-analisis yang berfungsi membantu para intelektual dalam mendefiniskan masalah.

George Ritzer, dalam artikel berjudul Sociological Metatheory mendefinisikan meta-analisis sebagai studi refleksif terhadap struktur yang mendasari sebuah disiplin ilmu, tidak hanya dengan studi terhadap teori dan konsep-konsepnya tetapi juga metodologi, data, dan ranah substantifnya. Syed Farid Alatas telah mengklasifikasikan kajian meta-analisis menjadi empat varian.

Pertama, pendekatan internal-cognitive yang lebih memfokuskan pada kritik ide-ide internal dalam sebuah diskursus seperti ide tentang 'kemajuan', superioritas peradaban Barat dan paternalisme tradisi intelektual Barat. Contoh literatur yang menggunakan pendekatan ini adalah studi-studi orientalisme, eurosentrisme, dan studi teori retorika ilmu sosial.

Pendekatan kedua adalah external-cognitive yang mempelajari bagaimana ide, nilai, dan mentalitas dari luar disiplin ilmu turut mempengaruhi sebuah disiplin. Contoh dari studi-studi semacam ini adalah theory of mental captivity, pedagogical theories of modernization, dan modern colonial critique.

Varian ketiga adalah internal-institutional yang mengkaji pengaruh komponen-komponen struktural dalam sebuah disiplin ilmu terhadap aktivitas intelektualnya. Varian ini diwakili oleh literatur-literatur seperti theory of intellectual imperialism dan academic dependency theory. Yang terakhir, external-institutional, terfokus pada pengaruh komponen-komponen struktural dari luar disiplin ilmu terhadap aktivitas intelektualnya. Varian ini juga diwakili academic dependency theory.

Pentingnya kajian-kajian meta-analisis dapat dilihat dari tiga kegunaannya yang sangat penting untuk diaplikasikan dalam konteks intelektualitas Indonesia. Pertama, kajian-kajian meta-analisis memperjelas relevansi maupun irelevansi ilmu-ilmu yang diproduksi di Barat, khususnya paradigma yang digunakan oleh ilmuwan Barat dan diinternalisasi oleh intelektual Muslim tentang Islam. Dengan semakin banyaknya kajian meta-analisis, akan tampak jelas problematika yang memang harus dan yang tidak harus ditanggapi oleh intelektual Muslim. Relevansi/irelevansi konsep-konsep seperti 'Pembaruan Islam' juga akan terlihat. Dengan kata lain, kajian meta-analisis dapat memposisikan kita pada jalan tengah antara dua ekstrem: penolakan total dan penerimaan total.

Kedua, kajian-kajian tersebut menekankan pentingnya mengembangkan teori, sistem nilai, konsep, metodologi, dan terminologi yang berdasar pada pengalaman historis kita sendiri, dan bukan yang diimposisikan oleh pihak asing kepada tradisi dan sejarah kita. Terakhir, dengan mengenal lebih dalam struktur-struktur yang mendasari disiplin ilmu, kita akan dapat menyisihkan yang tidak berguna dan irelevan serta menerima yang relevan dan berguna. Pada akhirnya kita dapat mengembangkan filsafat ilmu, sosiologi ilmu pengetahuan dan sejarah ide yang lebih universal dan tidak bersifat eurosentris.

Ikhtisar
- Kolonialisme memberi sumbangan besar bagi terjadinya internalisasi pemikiran Barat dalam khazanah Islam.
- Konsep-konsep Barat yang kemudian masuk dalam wacana pemikiran Islam itu banyak yang tidak berakar pada tradisi Islam.
- Perlu kajian meta-analisis yang bersifat reflektif untuk membantu para cendekiawan dalam mendefinisikan suatu masalah.

Republika Online : http://www.republika.co.id

Adil terhadap Pembaruan Islam

Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

Membaca tulisan Hamid Fahmy Zarkasyi (Republika, 28/12/06) dan Ismail F Alatas (5/1/07) tentang pembaruan pemikiran Islam, kita sebenarnya mengulang kembali perdebatan lama antara 'kaum tua' dan 'kaum muda'. Uniknya, sekarang sesama kaum muda malanjutkan tradisi ini, yang boleh digambarkan sebagai perseteruan antara pembela keislaman 'murni' dan 'akomodatif'.

Meskipun tidak bisa dikatakan baru, namun perkelahian pemaknaan ini menjadi sangat penting untuk menjaga kelanjutan tradisi keilmuan Islam. Pembedaan dua kelompok tersebut tidak dimaksudkan sebagai klasifikasi 'ketat' melainkan ingin memosisikan keduanya untuk menemukan kemungkinan sintesis yang saling mengokohkan, namun kemudian melampaui dua kategori ini.

Ambiguitas


Kalau kita memperhatikan secara saksama, Hamid menyuguhkan ambiguitas dalam paragraf pertama. Setelah mendaku sebagai direktur Institute for Study of Islamic Thought and Civilization, beliau membuka artikelnya dengan kalimat menyengat bahwa tantangan eksternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni konsep-konsep Barat.

Lembaga yang dipimpin Hamid sebenarnya secara telanjang tidak bisa dilepaskan kegamangan beliau untuk tidak berada di bawah bayang-bayang dominasi Barat. Sebab secara semantik setiap kata dari lembaga yang dipimpinnnya, seperti institute, study, thought, dan civilization memuat makna yang tidak bisa dilepaskan dari konsep Barat tentang dirinya. Namun demikian, saya tidak akan mengusulkan Markaz Dirasah Al Fikrah wa Al Hadharah Al Islamiyyah sebagai alternatif agar terlepas dari beban terbaratkan. Hanya, kita perlu merenungi apa yang diungkapkan oleh Naquib Al Attas bahwa bahasa mencerminkan sebuah ontologi.

Masalahnya bukan pada terminologi semata-mata, tetapi juga sanggahan Hamid terhadap epistemologi Barat menjadi boomerang karena justeru ia menggunakannya untuk menegaskan posisi intelektualnya. Sebagaimana kita ketahui bahwa model epistemologi Barat berpijak pada sang subjek, Aku mengetahui dan mengakui diri melalui yang lain.

Lebih jauh, sebenarnya akar epistemologi ini berakar pada pemikiran Yunani, yaitu penegasan (itsbat) dalam pemikiran Barat yang hanya mungkin melalui peniadaan (nafy). Filsuf Permenides membahas wujud dengan membuat dalil tentang non-wujud.

Islam murni dan akomodatif
Islam murni mengandaikan bahwa ada sebuah 'wujud' Islam yang mandiri dan steril dari anasir asing. Ini dapat ditemukan apabila seseorang hanya merujuk pada khazanah pemikiran Islam. Anehnya, Justru Nurcholish Madjidlah yang menyunting buku 'Khazanah Pemikiran Islam' yang diterbitkan oleh Bulan Bintang. Sebuah sosok yang acapkali dihujat sebagai agen Barat.

Sementara kalangan akomodatif tidak menutup pintu untuk menggunakan 'tradisi' pembacaan Barat untuk memahami ajaran Islam. Bagi saya, pendekatan ini adalah cara untuk mengkomunikasikan pesan teks, yang tetap terkait erat dengan keyakinan dan eksistensi sosial-kultural sang penafsir. Oleh karena itu, adalah wajar jika segala model pembacaan Barat digunakan untuk merangkai kembali pesan utama Islam sepanjang ia tidak 'menerabas' dasar-dasar epistemologi Islam, yaitu wahyu adalah 'sumber pengetahuan' dari pandangan hidup Muslim.

Sayangnya, para pengritik pembaruan mengidentikkan 'pemikiran' di IAIN telah terbaratkan dengan hanya membatasi pada Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Bahkan, Amin Abdullah dan Azyumardi Azra dianggap mewarisi pemikiran yang sama dan berbahaya, sebagaimana dituduhkan oleh mereka yang berhaluan 'murni'.

Saya masih ingat betul pernyataan Amin Abdulah dalam sebuah Dies Natalies IAIN ke-53, bahwa sebagai lembaga pendidikan tinggi, IAIN membuka ruang untuk membahas pelbagai genre pemikiran. Pendek kata, kelompok murni dan akomodatif sama-sama menempati rumah ini dengan tenang. Secara pribadi, saya tidak merasakan bahwa IAIN telah dibajak oleh sebuah kuasa besar yang akan menjadikannya boneka.

Jika yang dikehendaki oleh Hamid bahwa sudah saatnya kita menjelajah kembali khazanah pemikiran keislaman dan dengan sendirinya diharapkan tidak lagi menggunakan justifikasi epistemologi Barat terhadap pemikiran keislaman, maka epistemologi Rusydian patut untuk dikedepankan. Sang filsuf dari Andalusia ini menyatakan bahwa kita harus memahami liyan dalam sistem referensinya sendiri. Dengan kata lain, seseorang harus memahami tatanan yang ditelaah menurut alur logika yang berlaku dalam sistem yang dikajinya.

Jadi, bagi Ibn Rusyd, epistemologi itu terbuka. Ia mengandaikan sebuah dialog, karena setiap peradaban sama-sama mencari kebenaran. Ini juga berlaku pada hubungan internal kelompok. Nah, gagasan dialogis Rusydian telah diwujudkan dalam rubrik opini Republika di mana kelompok yang berseteru secara adil diberikan ruang untuk mengungkapkan keyakinannya (baca perdebatan edisi sebelumnya tentang penafsiran Al-Baqarah 62 dan Al-Maidah 69 yang dimulai oleh Buya Syafii Maarif). Pada hakikatnya, penerimaan terhadap gagasan luar akhirnya tetap mengacu pada subjektivitasnya sendiri, meskipun secara teoretik, kata Paul Ricoeur, dimulai dari objektivitas.

Ketika sebagian sarjana menggunakan hermeneutik (yang ternyata tidak tunggal), maka aplikasi teoretiknya akan melahirkan kesimpulan yang berbeda karena weltanschauung sebagai kata kunci dalam pendekatan ini memberikan ruang 'kekhasan' pandangan hidup Muslim dengan yang lain. Oleh karena itu, Islam tidak akan sama dengan agama yang lain.

Untuk menegaskan keunikan Islam, Syed Naquib Al Attas (1995: 3) mengusulkan sebuah metodologi pengetahuan tauhid yang berbeda dengan pendekatan Barat. Dengan demikian, para wakil pemikiran keislaman menerapkan beragam metode di dalam penyelidikannya tanpa cenderung pada salah satu metode khusus. Justeru, mereka menggabungkan metode empirik dan rasional, deduktif dan induktif dan menegaskan tidak adanya pemisah antara subjektivitas dan objektivitas.

Kekhasan Islam bermula dari perbedaan perspektif Islam tentang pandangan dunianya yang tidak semata merupakan pandangan akal budi tentang dunia fisik dan keterlibatan sejarah, sosial, politik, dan bahkan kultural manusia di dalamnya. Hal ini disebabkan pandangan dunia Islam tidak didasarkan pada spekulasi filsafat yang dirumuskan terutama dari penyelidikan terhadap data pengalaman inderawi.

Dari kedua gagasan tersebut, sebenarnya epistemologi Barat adalah satu sisi dari sumber 'data' yang boleh dimanfaatkan untuk memperoleh makna dari teks Islam secara utuh. Ia tidak lebih sebagai sebuah instrumen untuk mengkomunikasikan pesan Islam agar mendapat audiens yang lebih luas.

Merujuk pada Asma Barlas bahwa pendekatan linguistik Barat (baca: hermeneutik) yang dia gunakan tidak menggerus keyakinannya terhadap kemutlakan Alquran dan bahkan tidak menyebabkan terperosok pada kutub relativisme. Pemahaman yang berbeda bukan pada ketidakajegan kitab suci, tetapi justeru kekuatan teks kitab suci yang mampu mengayomi setiap tingkatan eksistensi manusia.

Ikhtisar

- Isu pembaruan pemikiran Islam terus menjadi debat panjang antara penganut Islam murni dan Islam akomodatif.
- Pendukung Islam murni mengidamkan Islam steril dari unsur asing, sedang kalangan akomodatif tidak mengharamkan adanya tradisi pembacaan barat untuk memahami Islam.
- Gagasan Ibnu Rusyd yang mengedepankan dialog antarperadaban bisa dikedepankan untuk menengahi kedua 'kubu' tersebut.
- Unsur Barat dalam Islam sebaiknya diposisikan sebagai instrumen untuk mengkomunikasikan Islam kepada audiens yang lebih luas.


Republika Online : http://www.republika.co.id

Perspektif Lain Soal Pembaruan Islam

Al Makin
Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kandidat Ph D Universitas Heidelberg, Jerman.

Tulisan berikut mencoba menanggapi dua artikel terdahulu, Hamid Fahmi Zarkasyi (28/12/06) dan Ismail F Alatas (5/01/07), yang kurang lebih berkenaan dengan kritik terhadap para pemikir pembaruan Islam di Indonesia semisal Nurcholish Madjid dan Harun Nasution. Terasa unik, terutama Nurcholish sampai meninggal dan mungkin juga yang lainnya hampir tidak pernah menjawab secara langsung segala kritik pedas. Paparan berikut berfokus pada deskripsi kritik yang telah dilontarkan.

Tipologi kritik
Perkenankan penulis membuat tiga tipologi kritik: defensif, penolakan westernisasi, dan epistemologi. Pertama, kita menjumpai sikap defensif terhadap pembaruan yang diajukan oleh para pemikir kita. Hal ini bisa dikategorikan sebagai pro status qou. Dalam perspektif ini hal baru yang ditawarkan dianggap sebagai ancaman terhadap kemapanan yang ada, baik itu pada dataran teologis maupun anggapan kemapanan struktur yang ada (politis maupun sosiologis). Keprihatinan kita adalah penolakan yang dijustifikasi dengan akidah, seperti pengkafiran. Kritik semacam ini mengandung resiko bahaya yang nyata: tidak menawarkan pendewasaan dalam masyarakat yang majemuk dan karenanya tidak perlu dikembangkan di masa depan.

Bisa dipukulratakan bahwa kritik ini berlandaskan dari Welstanschaung hitam-putih (baca: simplifikasi). Jika tidak Muslim tentu kafir. Pandangan ini berakibat pada pembenaran transendental suatu ideologi dan bahkan mengarah pada sakralisasi diri sendiri. Pola pikir ini juga memicu pada lahirnya radikalisme dan fundamentalisme.

Sikap simplifikasi juga berarti mengingkari seluruh kompleksitas sejarah pemikiran peradaban dalam dunia Islam yang kosmopolit. Berbagai cabang ilmu keislaman telah sedemikian berkembang selama berabad-abad termanifestasikan dalam kalam, fikih, filsafat, sejarah, sastra, bahasa, arsitektur, geografi, biologi, astronomi, kedokteran dan lain-lain disimpulkan menjadi dua pilihan tegas: Islam atau kafir. Tetapi, simbolisasi superfisial ini mudah diterima khalayak karena kesederhanaannya. Sedangkan kerumitan sejarah dan logika pengetahuan tidak mudah untuk dicerna, sehingga pada tingkat diseminasi masih terasa elitis.

Karena canggihnya teknologi era komunikasi saat ini, Welstanschaung semacam itu tidak sulit untuk dijumpai di berbagai media online seperti blogspot pribadi, situs kelompok tertentu, dan bermacam-macam mailing-list. Patut disayangkan, pola pikir itu masih terus diupayakan hidup dan berkelanjutan dengan berbagai kepentingan yang menyertai.

Penegasian tidak hanya berhenti pada figur-figur semacam Nurcholish Madjid, Harun Nasution, Mukti Ali, Ahmad Wahib, Dawan Rahardjo, atau Djohan Effendi tetapi pada generasi selanjutnya seperti Azyumardi Azra, Syafi'i Ma'arif, Djalaluddin Rachmat, Abdurrahman Wahid atau Amin Abdullah. Sedangkan kelompok lebih muda yang sedang gelisah dan baru mencari format pun tak pelak juga menerima hujatan.

Kedua, masih segaris dengan sikap penolakan adalah pengembangan mitos dengan mencurigai bahwa segala pembaruan yang ditawarkan pasti berkutat pada persoalan sekularisasi, westernisasi, dan liberalisasi. Pelabelan semacam ini berakibat pada sikap berprasangka dan tidak jernih dalam memahami pemikiran seseorang.

Yang kita perlukan adalah mengapresiasi karya dari para pemikir kita sendiri. Para cendikiawan tersebut tentu telah mengalami kristalisasi pengalaman dalam bergulat dengan khazanah pemikiran Islam. Dengan prasangka buruk kita akan terhalangi untuk membaca dengan telaten karya-karya mereka.

Ketiga adalah wilayah epistimologi. Disinilah pintu terbuka lebar bagi karya-karya itu untuk kita apresiasi dan beri kritikan. Sebetulnya pembacaan serius telah dimulai seperti Ali Munhanif (1996); Greg Barton (1999); Yudian Wahyudi (McGill, 2002); Fauzan Saleh (McGill 2000; Brill 2001); dan lain-lain. Namun, hasil riset tersebut masih terbatas pada lingkaran akademik tertentu. Khusus untuk pemikiran Nurcholish di Indonesia sudah cukup diapresiasi oleh orang-orang seperti Amir Aziz (1999), Anas Urbaningrum (2004), atau Ensiklopedi Nurcholish yang dimotori oleh Buddy Munawar Rachman. Namun, pembacaan yang apresiatif dan kritis dengan perspektif-perspektif baru masih jauh dari selesai.

Komentar terhadap kritik
Untuk sementara, kritik epistemologi yang didasarkan pada pencarian sumber sang pemikir terasa sudah usang. Foucault dan Derrida berkali-kali menegaskan bahwa klaim keaslian itu semu, karena dunia ini ada sebelum para pemikir itu lahir. Seorang pemikir mewakili ruang dan waktunya, di mana ia tidak bisa lari dari gesekan dan pengaruh yang melahirkan internalisasi dalam karyanya. Maka, sulit diterima jika para pemikir yang lahir dari Bumi Pertiwi ini hanya digambarkan tunduk terhadap hegemoni konsep modernisasi atau post-modernisasi Barat. Yang jelas, mereka atau bahkan kita hidup di era modern atu post-modern yang selalu menjawab persoalan yang ada.

Begitu juga kritik hegemoni bersumber dari dialektika filsafat Barat. Foucault lah yang mengemukakan relasi-kuasa. Selanjutnya, Edward Said menggunakannya dalam wacana orientalismenya. Teori post-kolonial juga memakai referensi kurang lebih sama. Logika kritis Barat sendiri juga tidak asli tapi bersumber dari Yunani, Latin, dan bahkan Islam. Tradisi berfikir Islam sendiri sangat kompleks; jika Damaskus (Umayyah) bersinggungan dengan Roma Timur/Bizantium, maka Baghdad (Abbasiyah) dengan tradisi Persia. Belum berbicara peradaban-peradaban Islam lainnya. Akhir kata, tidaklah memalukan mengakui bahwa khazanah kita tidak benar-benar asli dan mandiri.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

Menyoal 'Pembaruan Islam'

Hamid Fahmy Zarkasyi
Doktor Pemikiran Islam, ISTAC, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization

Tantangan ekternal terberat yang dihadapi Muslim dewasa ini adalah hegemoni konsep-konsep Barat dalam berbagai bidang ilmu termasuk dalam pemikiran keagamaan Islam. Kini tidak sedikit konsep, metode, dan pendekatan yang digunakan cendekiawan Muslim dalam studi Islam berasal dari atau dipengaruhi Barat.

Barat dapat diidentifikasi menjadi dua periode dan paham penting yaitu modernisme dan postmodernisme. Modernisme mengusung pandangan hidup saintifik, sekularisme, rasionalisme, empirisisme, cara befikir dikotomis, pragamatisme, penafian kebenaran metafisis (baca: Agama), dan sebagainya. John Lock, filosof Barat modern menegaskan bahwa liberalisme rasionalisme, persamaan, adalah inti modernisme. Tapi yang menonjol adalah sekularisme, baik bersifat moderat dan ekstrem.

Sedangkan postmodernisme, adalah gerakan yang mengritik modernisme yang elitis menjadi populis. Hasilnya adalah paham-paham baru seperti nihilisme, relativisme, persamaan, pluralisme, dan umumnya anti-worldview. Meski begitu, postmodernisme masih dianggap kelanjutan modernisme. Keduanya membawa konsep-konsep penting dengan kendaraan globalisasi.

Pengaruh modernisme
Pengaruh Barat dalam pemikiran Islam dapat dilihat dari model pembaruan pemikiran keagamaan Islam atau tajdid. Pembaruan sering diterjemahkan menjadi modernisasi dan kini bahkan menjadi liberalisasi. Padahal tajdid berbeda dari modernisasi ataupun liberalisasi baik secara etimologis maupun konseptual. Malangnya, perbedaan ini tidak dicermati, dan konsep-konsep di dalamnya buru-buru diadopsi tanpa proses epistemologi yang jelas.

Pembaruan pemikiran Islam yang dimotori (alm) Nurcholish Madjid dan kini bergulir menjadi proyek liberalisasi Islam di Indonesia adalah contoh yang paling jelas. Pembaruan dimaksud ternyata secara eksplisit mengusung, memodifikasi, atau menjustifikasi konsep modernisme, sekularisme, dan rasionalisme.

Tanpa menggunakan terminologi Islam, Nurcholish berargumentasi bahwa inti modernisasi adalah ilmu pengetahuan, dan rasionalisasi adalah keharusan mutlak sebagai perintah Tuhan. Maka dari itu modernitas membawa pendekatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Pengaruh paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah, pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran Islam.

Nurcholish mencoba membatasi makna sekularisasi agar tidak berarti sekularisme. Batasnya adalah kepercayaan terhadap Hari Kemudian dan prinsip ketuhanan. Namun, pembatasan ini tetap saja bersifat memisahkan secara dikotomis. Ini tidak beda dari prinsip orang-orang sekuler di Barat. Mereka percaya pada Hari Akhir dan pada Tuhan, tapi tidak ingin agama mencampuri kehidupan dunia mereka. Agama adalah urusan pribadi dan tidak boleh masuk ruang publik. Padahal, dalam Islam agama adalah urusan dunia dan akhirat, urusan pribadi dan urusan publik sekaligus. Jadi secara epistemologis akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationism).

Fazlur Rahman, pembimbing tesis Nurcholish di Chicago, mengakui bahwa Muslim modernis terpengaruh oleh Barat ketika menekankan penggunaan akal dalam memahami masalah agama, demokrasi, dan wanita. Prof Dr HM Rasjidi (lulusan Universitas Sorbone, Paris) yang banyak tahu konsep-konsep Barat, bahkan mengritik konsep pembaruan Nurcholish yang saat itu ia baru lulus S1. Sayangnya, kritik itu tidak direspons dan tidak menelurkan suasana dialogis yang produktif. Komunitas intelektual kita belum memiliki tradisi kritik.

Contoh lain dari pengaruh modernisme adalah gagasan pembaharuan Dr Harun Nasution. Tidak beda dari Nurcholish ia mengusung konsep rasionalisasi. Gagasan ini dikembangkan dalam studi Islam di seluruh IAIN. Namun, berbeda dari Nurcholish, Harun mencanangkan gagasannya itu setelah ia menyelesaikan doktornya di Institute of Islamic Studies McGill, Kanada dengan thesis berjudul 'Posisi Akal dalam Pemikiran Teologi Muhammad Abduh'. Karya-karyanya yang ia tulis setelah kepulangannya dari Kanada dijadikan buku teks terutama di lingkungan IAIN.

Hanya sayangnya ia mengangkat kembali doktrin teologi Mu'tazilah dan mengecilkan doktrin teologi Ash'ariyyah. Asumsinya bahwa teologi yang dipakai umat Islam di masa kejayaannya, di zaman kekhalifahan Abbasiyah, adalah teologi rasional Mu'tazilah. Ia juga mengatakan bahwa selama umat Islam mempertahankan kepercayaan pada pandangan hidup fatalistik berdasarkan doktrin Ash'ariyyah, maka hampir mustahil dapat berpartisipasi dalam pembangunan negara. Untuk itu teologi Ash'ariyyah perlu diganti dengan teologi Mu'tazilah.

Tapi pemikirannya baru pada tingkat gagasan. Belum sampai pada pengungkapan teori tentang bagaimana hubungan akal dan wahyu, misalnya. Gagasan rasionalisasinya bahkan tidak sempat menghasilkan epistemologi baru. Asumsinya bahwa Mu'tazilah adalah teologi yang berhasil membawa Islam ke tingkat peradaban yang tinggi justru tidak terbukti dalam sejarah. Di masa kekuasaan Al-Mutawakkil, yang bukan Mu'tazilah itu, ilmu pengetahuan ternyata justru berkembang pesat.

Pengaruh postmodernisme
Jika gagasan Nurcholish dan Harun Nasution cenderung mengadopsi paham-paham dalam modernisme, liberalisasi lebih condong menerapkan paham-paham yang dibawa oleh postmodernisme. Liberalisasi membawa paham pluralisme agama, relativisme, feminisme-gender, demoktratisasi dan yang lain, dan tetap akur dengan sekularisme juga rasionalisme. Liberalisasi adalah kepanjangan tangan dari proyek westernisasi. Oleh karena itu tidak heran jika tren pemikiran ini menjadi sebuah gerakan sosial.

Tren pemikiran yang memisahkan agama dan pemikiran keagamaan adalah pengaruh relativisme postmo. Agama adalah absolut dan pemikiran keagamaan adalah relatif. Oleh karena itu tidak ada yang absolut dalam pemikiran kegamaan. Bahkan tidak ada yang tahu kebenaran kecuali Tuhan. Tren pemikiran yang mencoba menyamakan kebenaran semua agama berasal dari paham pluralisme agama, gerakan rekonstruksi fikih wanita dengan mengedepankan ide kesetaraan gender adalah pengaruh paham feminisme.

Akbar S Ahmed mengamati bahwa pemikiran postmodern yang liberal ini dihidupkan oleh semangat pluralisme, diperkuat oleh media, mendukung demokrasi, diposisikan berhadapan dengan fundamentalisme religius. Gerakannya berpusat di kota metropolitan, tumbuh subur dengan wacana-wacana tapi bersikap eklektis, dan terakhir terkait dengan masa lalu tapi dalam bentuk protes.

Selain itu, upaya-upaya pembaharuan pemikiran di dunia Islam, ternyata masih bersifat sporadis. Artinya tidak didukung oleh komunitas yang khusus bertekun dalam mengkaji, mengevaluasi, dan mengembangkan pemikiran Islam. Kelemahan yang lain, pemikiran yang konon merupakan pembaruan itu ternyata lebih cenderung menjustifikasi konsep-konsep Barat modern dan postmodern.

Akibatnya, pembaharuan seperti itu tidak membawa pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Sebab paham, ide, nilai, dan filsafat ilmu Barat modern dan postmodern kini bercampur baur dalam pemikiran Islam. Akhirnya, Muslim berbicara ilmu pengetahuan Islam, sejarah Islam, dan bahkan ajaran Islam dengan pemahaman, nilai, ide, pendekatan, bahkan terminologi Barat.

Untuk itu apa yang diperlukan dalam pembaharuan pemikiran Islam, pertama-tama adalah menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan Islam. Ini dimaksud agar umat Islam mampu melahirkan konsep-konsep Islam sendiri yang baru dalam berbagai bidang. Selain itu mengkaji pemikiran dan kebudayaan asing terutama Barat, pandangan hidupnya, filsafatnya, epistemologinya, dan konsep-konsep penting lainnya. Ini agar Muslim tidak terjerumus pada kerja-kerja justifikasi konsep Barat.

Ikhtisar

- Westernisasi menjadi problem serius dan memberi banyak pengaruh negatif bagi pengembangan pemikiran Islam.
- Unsur Barat memberi warna yang sangat kental bagi lahirnya konsep-konsep yang selama ini disebut sebagai 'pembaruan Islam'.
- Pengaruh tersebut membuat fenomena yang disebut 'pembaruan Islam' itu melahirnya banyak kerancuan.
- Perlu penggalian yang mendalam terhadap khazanah ilmu pengetahuan Isalm dalam pembaruan pemikiran Islam.


Republika Online : http://www.republika.co.id

Catatan Menyoal Pembaruan Islam

Kamis, 25 Januari 2007

Oleh :


Ulil Abshar Abdalla
Mahasiswa Boston University

Di harian ini, saya membaca dua karangan yang menarik yang ditulis oleh Hamid Fahmi Zarkasyi (Republika, 28/12/2006) dan Ismail F Alatas (Republika, 5/1/2007). Tulisan Zarkasyi mencoba mengritik wacana pembaruan Islam. Sementara, tulisan Alatas secara tidak langsung menyetujui apa yang disampaikan Zarkasyi seraya memberikan penekanan pada masalah hegemoni Barat dalam bidang konsep dan pemikiran. Terhadap dua tulisan itu, saya memberi apresiasi setinggi-tingginya.

Saya ingin memberikan sejumlah komentar pada dua tulisan itu. (1) Artikel Alatas mengandung kejanggalan. Di satu pihak dia mengritik hegemoni Barat, tetapi alat intelektual yang ia pakai untuk mengritik konsep Barat itu juga datang dari Barat. Dia mengritik taksonomi Islam liberal, skriptural, tradisional, rasional, dan seterusnya yang menurutnya 'dipaksakan' (istilah yang dia pakai adalah imposisi) oleh para ilmuwan Barat, tetapi ia membawa masuk alternatif pemikiran yang memakai kerangka pemikiran Barat.

Ia mengutip sosiolog barat, George Ritzer, sekadar untuk menguraikan istilah meta analisis (yang kurang saya mengerti sepenuhnya). Istilah-istilah yang ia pinjam dari Prof Syed Farid Alatas, kepokanan Prof Syed Naquib Alatas itu, juga berbau sangat Barat.

(2) Apakah dengan demikian saya menolak kritik atas Barat? Tentu tidak. Sebelum dikritik oleh orang-orang di luar Barat, apa yang disebut 'Barat' telah dikritik justru pertama-tama oleh para ilmuwan dan sarjana yang bekerja di lembaga-lembaga ilmiah di Barat sendiri. Pengkritik tradisi orientalisme yang paling tangguh, Edward Said misalnya, lahir dalam tradisi ilmiah Barat dan anak kandung kesarjanaan Barat.

(3) Poin yang ingin saya kemukakan adalah bahwa salah satu kritik modern atas Barat adalah anak kandung dari tradisi intelektual di Barat itu sendiri. Inilah fakta yang kurang disadari oleh sebagian intelektual Muslim di dunia ketiga yang kerap melancarkan kritik atas Barat tetapi memakai perangkat intelektual yang berkembang di Barat.

(4) Saya kurang tertarik dengan sikap sebagian sarjana Muslim yang kerap jengah terhadap hegemoni Barat. Menurut saya, sikap semacam ini hanya menghabiskan energi dan kurang bermanfaat. Anda boleh marah dan jengkel pada hegemoni intelektual Barat, tetapi senyatanya tradisi ilmiah yang maju dan mapan saat ini memang ada di sana.

(5) Lebih baik energi sarjana Islam dikerahkan untuk memproduksi karya-karya cemerlang dalam bidang kajian Islam. Metode bisa dipinjam dari mana pun. Menurut saya, kurang berguna terlalu menekankan otentisitas metodologi kajian Islam dan menolak peminjaman metode tradisi akademik di luar Islam. Kajian Islam akan hidup dan sehat dengan segar-bugar justru jika sarjana Islam berani terus melakukan eksperimentasi kajian dengan memakai pelbagai ragam metodologi.

(6) Ada semangat yang saya sepakati dalam artikel yang ditulis oleh Ismail Alatas, kita harus selektif dalam menerima hal-hal yang datang dari Barat. Kita hanya mengambil dari Barat sesuatu yang berguna, seraya meninggalkan hal-hal yang tak relevan dengan Islam. Saya kira, semua sarjana Islam yang selama ini dikenal sebagai memiliki orientasi liberal bisa setuju dalam hal ini.

Sarjana dan intelektual Muslim yang saya tahu mengampanyekan penerimaan Barat secara total adalah Dr Taha Husein melalui bukunya 'Mustaqbal Al Tsaqafah fi Misr' (Masa Depan Kebudayaan Mesir). Meskipun Taha Husein mengatakan demikian, sudah pasti dia tidak bisa meninggalkan sama sekali cara berpikir yang ia peroleh dari lingkungan kebudayaan Islam, sebab ia tumbuh di sana sejak kecil. Tidak mungkin seseorang mengalami 'pembaratan' atau 'penimuran' secara total.

Dengan memakai kerangka seperti ini, saya ingin mengemukakan bahwa setiap orang yang berjumpa dengan kebudayaan lain sudah dengan sendirinya ia akan melakukan seleksi. Sikap selektif adalah refleks kebudayaan yang secara intrinsik ada pada semua orang dan masyarakat.

Problem justifikasi
(7) Masalah timbul pada tahap berikut: jika semua orang setuju dengan gagasan dasar untuk melakukan seleksi, tidak semua orang setuju dengan cara bagaimana seleksi itu dilakukan. Zarkasyi menganggap bahwa apa yang dilakukan Cak Nur dan kaum pembaharu lain di Indonesia adalah sekadar menjustifikasi konsep-konsep Barat. Gagasan seperti pluralisme dianggap sebagai benda asing yang datang dari Barat, dan peran Cak Nur hanya memberikan 'baju Islam' kepada benda asing itu.

(8) Ada sejumlah soal di sini. Apakah betul yang dilakukan Cak Nur dan para sarjana lain yang sepaham hanyalah justifikasi? Apa kriteria bahwa suatu proyek pemikiran hanya sebuah justifikasi? Jika ada kemiripan antara gagasan seorang sarjana Muslim dan gagasan serupa yang tumbuh di luar tradisi Islam, apakah hal itu menandakan bahwa yang satu menjustifikasi yang lain? Taruhlah bahwa apa yang dilakukan Cak Nur sekadar menjustifikasi konsep asing. Apa yang salah dengan sebuah justifikasi?

Al-Ghazali memberikan justifikasi kepada logika Aristotelian yang kemudian dalam lingkungan Islam berkembang dengan nama lain, manthiq. Sementara oleh sarjana Muslim yang lain (misalnya Imam Nawai dan Ibn Shalah), terutama sarjana hadis (yang sejak dulu mewakili tradisi literalisme yang antifilsafat, kadang-kadang bahkan juga anti-intelektual), bidang itu dianggap benda asing dari Yunani, dan karena itu harus ditolak. Seorang pemikir tidak kehilangan orisinalitas dan otentisitas hanya karena ia melakukan justifikasi. Jika sebuah justifikasi cukup menyakinkan dan orisinal, maka yang bersangkutan bisa dikatakan berhasil.

Dan mengapa kita takut pada justifikasi, seolah-olah semua hal yang dimiliki oleh umat Islam, termasuk pada tataran konsep, harus asli datang dari Islam sendiri, padahal kita semua tahu bahwa Islam yang dibawa Nabi Muhammad juga bukan 'barang baru' (lihat QS 46:9). Islam hanya meneruskan tradisi yang lama yang berasal dari agama sebelumnya.

(9) Tidak semua hal bisa diberikan justifikasi dari sudut pandang Islam. Hanya pada hal-hal di mana terjadi perjumpaan antara Islam dan nilai-nilai di luar Islam lah kita bisa memberikan justifikasi. Kita tak bisa memberikan justifikasi kepada gagasan fasisme dari sudut Islam, misalnya. Jika Cak Nur bisa memberikan justifikasi kepada gagasan tentang pluralisme dan demokrasi, maka hal itu terjadi karena di sana ada pertemuan antara nilai Islam dengan nilai di luarnya.

Apa yang dilakukan Cak Nur adalah meneruskan apa yang sudah terjadi selama berabad-abad dalam warisan intelektual Islam, yakni memberikan pendasaran keagamaan pada konsep-konsep yang dipinjam dari luar Islam. Sebagaimana sudah saya sebut, banyak sarjana Muslim yang keberatan dengan ilmu mantiq atau logika Aristotelian, karena hal ini dianggap sebagai pinjaman dari luar. Al-Ghazali memberikan justifikasi dan pendasaran atas ilmu yang datang dari luar itu agar bisa diterima oleh umat Islam. Jika umat Islam menolak sesuatu yang positif hanya karena ia datang dari luar Islam, maka ini adalah sebuah kerugian besar.

(10) Memang harus diakui, ada sejumlah justifikasi yang sifatnya superfisial. Salah satu bentuk justifikasi semacam ini adalah upaya sejumlah sarjana Muslim untuk mencocok-cocokkan penemuan sains modern dengan ayat-ayat Alquran, suatu gejala yang dikenal sebagai Bucailisme. Embrio modern dari kecenderungan ini sebetulnya sudah muncul lama. Syekh Tantawi Jauhari, seorang pengajar di Dar Al 'Ulum di Kairo, menulis tafsir yang sering dikategorikan sebagai al tafsir al 'ilmi (tafsir saintifik), yaitu Tafsir Al Jawahir yang terbit pada 1943. Tafsir ini mencoba menjustifikasi penemuan-penemuan sain modern dengan ayat-ayat Alquran.

Tetapi, tentu ada justifikasi yang berhasil dan sukses. Saya memandang, justifikasi yang dilakukan Cak Nur adalah salah satu justifikasi yang berhasil, serta tidak apologetik. Cak Nur meneruskan semangat yang ditinggalkan Fazlur Rahman yang menghendaki agar umat Islam membangun suatu world view yang didasarkan pada Alquran. (11) Sikap yang layak dikembangkan sarjana Muslim ke depan adalah memandang peradaban sebagai resultante dari usaha universal yang dilakukan semua umat manusia.

Ikhtisar

- Kritik atas peradaban Barat kerap dijalankan intelektual Muslim dengan memakai perangkat intelektual yang sebenarnya berasal dari Barat.
- Melancarkan kritik terhadap Barat tidaklah diharamkan, tapi juga tidak sehat untuk menolak semua yang datang dari Barat.
- Semua sepakat bahwa saat bertemu peradaban lain, setiap pihak harus melakukan seleksi. Yang masih jadi persoalan adalah proses seleksi yang harus dijalankan.

Republika Online : http://www.republika.co.id

37 Tahun Pembaruan Islam di Indonesia

Oleh :


Adian Husaini
Dosen Pascasarjana PSTTI-UI

Awal 2007 ini, Gerakan pembaruan Islam memasuki masa 37 tahun. Masa itu dihitung ketika Nurcholish Madjid memberikan pidatonya pada 3 Januari 1970 di Jakarta dengan judul 'Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat'.

Dalam disertasinya di Monash University Australia yang diterbitkan oleh Paramadina dengan judul 'Gagasan Islam Liberal di Indonesia' (1999), Dr Greg Barton menyebutkan, Nurcholish dihadapkan pada satu dilema dalam tubuh umat. Di satu sisi, menurut Nurcholish, masyarakat Muslim harus menempuh arah baru, namun di sisi lain, arah baru tersebut berarti menimbulkan perpecahan dan mengorbankan keutuhan umat.

Kata Nurcholish Madjid 37 tahun lalu, pembaruan harus dimulai dengan dua tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Nostalgia, atau orientasi dan kerinduan pada masa lampau yang berlebihan, harus diganti dengan pandangan ke masa depan. Untuk itu diperlukan suatu proses liberalisasi. Proses itu dikenakan terhadap ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan Islam yang ada sekarang ini. Untuk itu, ada tiga proses yang harus dilakukan dan saling mengait: (1) sekularisasi, (2) kebebasan intelektual, dan (3) Gagasan mengenai kemajuan dan sikap terbuka.

Respons modernitas
Dalam artikelnya di Republika, 28 Desember 2007, yang berjudul 'Menyoal Pembaruan Islam', Hamid Fahmy Zarkasyi telah memberikan peta besar dan kritik terhadap gagasan pembaruan Islam. Kritik Hamid sangat penting dan mendasar, dan seharusnya menjadi bahan masukan untuk kajian masalah ini lebih jauh. Tetapi, dua artikel yang ditulis Ahmad Syahidah dan Al Makin di harian ini, kemudian mengaburkan kembali peta yang telah disusun oleh Hamid.

Apa yang dilakukan oleh Nurcholish dengan gagasan pembaruan Islam, bukanlah hal baru. Pembaruan adalah hal biasa sebagai respons terhadap modernitas. Adalah mustahil untuk melarikan diri dari modernitas tersebut. Lawrence E Cahoone, dalam bukunya 'The Dilemma of Modernity' (1988), menggambarkan sejak masa renaissance, manusia di Barat sudah harus hidup dalam alam modernitas, laksana ikan yang hidup di air.

Inti modernitas, menurut pakar sosiologi Max Weber, adalah rasionalisasi, yang mensyaratkan adanya proses sekularisasi. Di Barat, kata David West, dalam bukunya 'An Introduction to Continental Philosophy' (1996), rasionalisasi selalu dikaitkan dengan proses sekularisasi yang oleh Weber disebut dis-enchantment. Masyarakat modern memang menempatkan akal manusia sebagai penentu kebenaran.

Pengalaman Kristen
Ada dua peristiwa penting dalam hal pemikiran keagamaan di Barat pada tahun 1960-an, menjelang dilontarkannya pembaruan Islam. Pertama, Konsili Vatikan II (1962-1965). Kedua, terbitnya buku 'The Secular City' karya Harvey Cox. Dari 21 Konsili yang diakui sebagai Konsili Oikumenis oleh Gereja Katolik, sepanjang 2000 tahun sejarahnya, Konsili Vatikan II merupakan yang terbesar. Tujuan Konsili Vatikan II digariskan oleh Paus Yohanes XXIII sebagai pembaruan dalam Gereja Katolik (Paus menyebut dengan istilah aggiornamento).

Melalui Konsili Vatikan II inilah gereja Katolik melakukan perombakan besar-besaran dalam ajaran Gereja. Perombakan dalam aspek teologi, gereja membuang doktrin eksklusif yang berusia ratusan tahun extra Ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada keselamatan), menjadi doktrin inklusif yang mengakui keselamatan pada agama lain. Perubahan sikap yang paling mencolok bisa dilihat dari sikap Gereja terhadap Yahudi.

Maka, di Jakarta kemudian terbit buku-buku berjudul 'Teologi Inklusif Cak Nur', 'Islam Inklusif', dan sebagainya. Bedanya, teologi inklusif dirumuskan oleh Konsili sebagai alternatif untuk membendung arus teologi pluralis. Tetapi, Nurcholish Madjid dan sejumlah pengikutnya, justru mengembangkan paham pluralisme agama.

Gagasan sekularisasi Nurcholish Madjid pun mudah dilacak dari gagasan Harvey Cox dalam bukunya 'The Secular City'. Menurut Cox, sekularisasi adalah keharusan dalam Kristen dan kaum Kristen tidak boleh menolak sekularisasi, karena merupakan konsekuensi dari kepercayaan terhadap Bibel. Nurcholish pun kemudian menyatakan, "Sekularisasi adalah keharusan bagi setiap umat beragama, khususnya ummat Islam."

Sebelum Nurcholish, pada tahun 1960-an, kelompok Limited Group di Yogya dimotori Ahmad Wahib dkk sudah menjadikan buku Cox sebagai kajian penting mereka. Menurut Karel Steenbrink, buku Cox ini mempunyai pengaruh besar terhadap aktivis Limited Group.

Liberalisasi
Masing-masing agama atau tradisi memiliki cara sendiri dalam menghadapi modernitas. Sejak abad ke-19, misalnya, kaum Yahudi di Jerman sudah melakukan pembaruan dalam agama Yahudi dengan membuat gerakan Yahudi Liberal. Tahun 2005 lalu, Sinagog Yahudi Liberal di Inggris sudah resmi mengesahkan perkawinan homoseksual. Dalam Kristen, pembaruan juga terjadi besar-besaran di berbagai sektor. Gereja Anglikan misalnya, sudah resmi menerima para pastor homoseksual.

Bagaimana dengan Islam? Islam tidak menolak pembaruan, dalam arti tajdid, bukan asal 'pembaruan'. Yang perlu dikaji dengan cermat, Islam bukan agama sejarah dan agama budaya. Islam adalah agama final dan sempurna dari awal, karena Islam memiliki teks kitab suci yang final, yang terjaga otentisitas teks dan maknanya. Bagi Islam, hukum haramnya babi tidak pernah berubah karena perubahan waktu dan tempat. Sebab teks ayat Alquran tentang hal ini (QS 5:3), tidak berubah. Konsep teks Alquran yang final (yang lafaz dan maknanya dari Allah) berbeda dengan konsep teks Bibel sebagai teks yang ditulis manusia yang mendapat inspirasi dari Roh Kudus dan berubah dari waktu ke waktu.

Karena itu, kesalahan fatal dari gerakan pembaruan Islam adalah menjiplak begitu saja pengalaman pembaruan pada agama lain untuk diterapkan ke dalam Islam, dengan menyamakan karakter ajaran Islam dan sejarah Islam dengan karakter ajaran Yahudi-Kristen dan sejarahnya di Barat. Hamid Zarkasyi benar, bahwa gerakan pembaruan Islam, kini berlanjut menjadi liberalisasi Islam dalam wujud yang lebih 'terbuka' dalam membela konsep-konsep westernisasi dan membongkar konsep-konsep dasar Islam.

Republika Online : http://www.republika.co.id

Republika Online : http://www.republika.co.id

Keadilan Sebuah Pemikiran

Oleh :


Hamid Fahmy Zarkasyi
Doktor pemikiran Islam, ISTAC, Direktur Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization.

Tulisan ini mencoba menjelaskan beberapa hal yang tertuang dalam tanggapan Ahmad Sahidah (Republika 12/01/07) dan Al Makin (Republika 19/01/07) terhadap tulisan saya (28/12/06). Upaya A Sahidah bersikap adil terhadap pembaharuan Islam nampaknya gagal. Adil dalam tradisi intelektual Islam berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dan untuk itu perlu mengetahui ilmu tentang sesuatu dan tempat sesuatu itu sekaligus. Sementara itu Al Makin justru melakukan simplifikasi makna Islam dan world view.

Klasifikasi 'kaum tua' dan 'kaum muda' bagi saya tidak relevan. Sebab dengan itu kaum muda dianggap tidak-dewasa, sedang kelompok tua yang dikritik sudah matang dan mapan. Ini pandangan sosiologis dan bukan epistemologis dan tentu tidak adil. Selain itu, pembagian Islam murni dan akomodatif setahu saya tidak dikenal dalam tradisi intelektual Islam. Konsekuensi dari klasifikasi ini tentu Islam murni tidak akomodatif dan Islam akomodatif tidak murni. Klasifikasi yang bisa menyesatkan.

Adil terhadap Barat
Masih banyak di antara kita yang tidak dapat memahami Barat secara adil. Seringkali superfisial atau simbolistis. Barat masih dianggap identik dengan kemajuan teknologi, bahasa Inggris, metodologi, dan sebagainya. Maka tidak aneh jika dengan cara berpikir ini akan menuduh sesesorang yang berbahasa Inggris, atau menggunakan teknologi Barat, sebagai terbaratkan. Prof Naquib Al Attas sendiri banyak menulis dalam bahasa Inggris dan tidak serta merta epistemologinya terbaratkan.

Barat sejatinya adalah peradaban. Dan matrik setiap peradaban adalah world view, cara pandang terhadap segala sesuatu (Peter Berger), agama atau kepercayaan (S Huntington). Dalam world view ini terdapat konsep-konsep penting yang membentuk sebuah framework berpikir. Setiap peradaban memiliki world view sendiri-sendiri. Fukuyama mengakui world view Islam bertentangan dengan world view Barat liberal. Tampaknya Al Makin tidak sadar bahwa Barat melihat Islam sebagai world view. Karena itu ia melakukan simplifikasi terhadap makna Islam dan Welstanschaung (world view).

Bagi saya agar kita bersikap adil terhadap Barat, kita perlu melihat Islam-Barat sebagai world view. Justru dengan menggunakan matrik world view, pemahaman kita terhadap identitas Islam dan Barat menjadi lebih kompleks dan komprehensif. Di situ kita letakkan konsep-konsep dalam world view Barat dan world view Islam berhadapan-hadapan. Kemudian kita kaji dan analisis konsep-konsep itu secara ilmiah. Analisis yang cerdas akan menjawab pertanyaan apakah konsep-konsep Barat itu dominan dalam pemikiran Muslim atau konsep-konsep Islam yang dominan dalam pemikiran Barat. Jika yang yang terjadi adalah yang pertama maka asumsi saya adalah benar adanya kita terhegemoni.

Adil pada pembaruan Islam
Kritik saya terhadap gagasan pembaruan Islam tidak terbatas pada soal terminologi. Terminologi seperti sekularisasi, rasionalisasi, dan liberalisasi yang saya sebutkan hanya contoh kasus yang kebetulan popular. Yang utama adalah kerancuan konseptual di balik itu. Itu hanya menunjukkan rapuhnya bangunan epistemologi kita. Konsep rasionalisasi ala Barat seakan-akan mengungguli konsep tafakkur, tadabbur, tazakkur, ta'allum, tafaqquh, dan sebagainya dalam Islam yang sangat kompleks itu.

Kritik saya merujuk pada tradisi intelektual Islam. Proses negasi (radd, naqd, atau nafyu) dan affirmasi (ithbat) adalah esensi syahadat dalam Islam. Para ulama kita biasa mengritik, mengomentari, memberi solusi, menyeleksi, atau mengadapsi ide-ide Yunani, India, Persia, Kristen yang ada di lingkungan pemikiran Islam. Ini semua tentu melalui proses epistemologi.

Proses ini yang tidak saya temui dalam gerakan pembaruan Islam. Mungkin karena penguasaan terhadap khazanah ilmu pengetahuan Islam merosot, terhegemoni pengetahuan Barat atau pengetahuan Islam dari Barat (orientalis). Akhirnya Muslim gagal mengapresiasi konsep-konsep penting Islam dan sukses mengafirmasi konsep-konsep Barat. Maka wajah pembaruan Islam pun tidak lebih dari justifikasi konsep-konsep Barat dengan mengais dalil-dalil Alquran dan hadis.

Ekstremnya, pembaruan Islam itu tidak juga akomodatif, tapi lebih cenderung konsumtif. Terlalu banyak mengonsumsi ide-ide luar, terlalu sedikit menggali ide-ide dari dalam khazanah pemikiran Islam. Memang benar Islam tidak steril dari anasir asing. Tapi perlu dicatat bahwa Islam bangun dengan tradisi intelektualnya sendiri, sebelum 'meminjam' konsep-konsep asing. "Tidak ada peradaban yang bebas dari proses pinjam meminjam dari peradaban asing", kata Prof Alparslan Acikgence pakar pemikiran Islam asal Turki. Tapi ingat, lanjutnya, peradaban yang dihegemoni oleh konsep-konsep asing lama kelamaan akan mati.

Jadi masalahnya bukan akomodatif atau tidak terhadap konsep asing. Tapi bagaimana proses epistemologi ketika kita mengadapsi dan mengakomodasi konsep-konsep asing tersebut. Agar adil di sini kita perlu tahu konsep-konsep Islam dan asing sekaligus. Apakah adil jika kita mendaku sebagai Muslim tapi pikiran kita sekuler, liberal, atau Marxist. Adilkah kita jika mewajibkan jilbab pada civil society Barat. Apakah kita adil jika mengganti tata hukum Barat dengan hukum Islam.

Solusi masalah
Untuk 'merangkai kembali pesan utama Islam' Sahidah mengusulkan agar kita menggunakan pembacaan Barat. Maksudnya supaya adil. Tapi ini justru tidak adil dan rancu secara konseptual. Sebab dengan pembacaan Barat misalnya tidak ada ruang publik untuk Islam, Islam yes partai Islam no, dengan pembacaan Gadamer semua mufassir menjadi bias kepentingan sosial dan ambisi kekuasaan, dan seterusnya.

Usulan Sahidah untuk hanya merujuk Ibn Rusyd dalam membangun epistemologi Islam juga tidak adil. Apresiasi Ibn Rusyd terhadap metode burhan cukup menarik dikaji. Tapi teori epistemologinya yang memperkenalkan sumber kebenaran ganda justru memicu dikotomi di Barat. Agar adil mestinya epistemologi Al Nasafi, Al Ghazali, Fakhruddin Al Razi, dan lain-lain yang integratif perlu dijadikan acuan.

Memahami Islam sebagai world view berarti menggunakan pembacaan Islam yang merujuk konsep-konsep seminal dalam Alquran, dan struktur konsep-konsep keilmuan dalam tradisi intelektual Islam. Untuk itu Muslim harus mampu membentuk konsep-konsep itu dalam bentuk jaringan atau struktur konsep dalam sebuah supersistem. Supersistem itu dapat disebut ru'yatul Islam li al wujud atau al tasawwur al Islami.

Apabila Islam dipahami sebagai ru'yatul Islam li al-wujud maka secara epistemologis kita memiliki kaca mata untuk melihat dan alat untuk mengadapsi konsep-konsep asing. Bahkan kemudian dapat merekonstruksi konsep-konsep asing manapun dengan pembacaan Islam. Al Attas menyebut proses ini dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Suasananya tidak lagi hegemonik, tapi dialogis. Satu peradaban bisa menolak dan meminjam konsep dari peradaban lain tanpa paksaan dan campur tangan politik. Itulah keadilan suatu pemikiran.

Ikhtisar

- Barat masih kerap dipandang superfisial dan simbolistis. Padahal, sejatinya, Barat itu merupakan peradaban.
- Gerakan pembaruan Islam, kini banyak yang tidak sekadar akomodatif terhadap peradaban barat, tapi sudah masuk pada tahap konsumtif.
- Perdaban yang dihegemoni konsep-konsep asing, lama kelamaan akan mati.


Republika Online : http://www.republika.co.id