Saturday, February 24, 2007

Transformasi Politik Aliran - Rabu, 11 Agustus 2004

Transformasi Politik Aliran

Oleh Suhadi

SETELAH Pemilu presiden 2004 berlangsung, analisis politik banyak bermunculan di media massa, termasuk pengujian ulang "politik aliran" yang pernah berkembang tahun 1950-an. Berbagai analisis itu menarik karena akan memeriksa apakah sepanjang 40 tahun terjadi kontinuitas atau diskontinuitas geneologi sejarah budaya-politik kita.

Kuntowijoyo (Kompas, 7/7/ 2004) menyatakan politik Indonesia bergerak menuju apa yang ia sebut "pragmatisme-religius", kian kaburnya identitas religius-sekuler. Dijelaskannya, pragmatisme religius merupakan antropo-teosentrisme. Kuntowijoyo mencatat yang tersisa dari dikotomi itu apa yang oleh Max Weber disebut ketegangan kreatif antara zweckrational dan wertrational, pemikiran yang murni rasional menjadi satu dengan pemikiran berdasar nilai. Sehingga yang ada hanya pertentangan "aktualitas", bukan "ideologis".

Senada dengan Kuntowijoyo, Lance Castles (Kompas, 9/7/20 04) menulis pola aliran sudah berakhir. Keraguan muncul dari Muhammad Ali (Kompas, 15/7/ 2004) yang merespons dengan pertanyaan apakah benar yang terjadi lenyapnya dikotomi sekuler-religius? Ali merekomendasikan pencarian jalan tengah yang "seharusnya" bagi politik kita ke depan.

TERLEPAS dari kritik yang dilontarkan, karya Geertz, The Religion of Java (1960) masih menjadi bacaan cukup penting tentang asal muasal politik aliran. Trikotomi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat Jawa ke dalam varian abangan, santri, priyayi menjadi dasar pelembagaan organisasi politik berdasar aliran. Sebelumnya, C. Poensen (1886) dan Snouck Hurgronje (1899-1906), telah memopulerkan istilah abangan dan putihan yang menjadi dasar sarjana Barat dalam melihat polarisasi masyarakat Jawa. Sebagai klasifikasi sosiologis dan antropologis semuanya tentu tidak clear-cut.

Pengalaman Pemilu 1955 menjelaskan polarisasi masyarakat Jawa ke dalam empat partai besar: PKI ("abangan"), NU (santri "tradisionalis), Masyumi (santri "modernis") dan PNI ("priyayi"). Di lima karesidenan di mana PKI amat besar-Kediri, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Madiun-terjadi konflik horisontal yang dahsyat tahun 1965-1966. Meski Robert Cribb (1990) menyebut konflik-konflik horizontal itu lebih berdimensi ekonomi, namun penulis banyak menemui cerita lisan di desa-desa yang menyebutkan polarisasi aliran memang tumbuh subur saat itu.

Pemilu pertama masa Orba tahun 1971, menjadi babak baru diskontinuitas sejarah politik aliran. Dalam titik inilah sebenarnya kita baru bisa memeriksa kapan batas-batas kekaburan tercipta dan apa saja yang mempengaruhinya. Aswab Mahasin (1993) telah melakukan kajian proses pengkaburan (blurring) politik aliran. Dia mengajukan konsep "santrinisasi abangan" dan "santrinisasi priyayi". Fakta kuatnya mobilitas santrinisasi ke dalam politik kekuasaan juga menunjukkan telah terjadi "priyayinisasi santri". Kuntowijoyo menyebut, dan saya sepakat, peran lembaga pendidikan agama yang diselenggarakan negara memiliki andil besar dalam mengkaburkannya.

Namun dua hal lain meski disebut, sesuatu yang tidak kalah berpengaruh. Pertama, menciptakan lembaga politik yang amat canggih, Golkar, yang menjadikan kian samarnya solidaritas ideologis. Memang dua partai lain masih dibangun atas dasar sentimen ideologis, partai-partai Islam ke PPP dan partai abangan dan non-Islam ke PDI. Golkar menjadi ruang baru yang ingin selalu keluar dari dikotomi ideologis, meski pergeseran dari yang semula abang-mbranang ke ijo royo-royo di akhir kekuasaannya amat jelas tergambar. Karena itu, partai ini, kini memiliki "kekenyalan" strategis dan setidaknya memiliki beban ideologis secara historis.

Kedua, masyarakat Islam terbesar, nahdliyin, memiliki modal kultural, seperti tahlilan yang amat mempengaruhi pengkaburan ketegangan antara kaum santri dan abangan. Institusi ini mampu menjadi jembatan antara mereka yang "taat beragama" dan yang "tidak taat" dalam pergaulan sosial sehari-hari. Dalam forum kultural itu kaum abangan secara tiba-tiba merasa dirinya di dalam (inside) komunitas santri, tanpa harus kehilangan identitasnya awal sebagai abangan.

Sampai di sini NU mampu menciptakan mekanisme inklusi sosial yang smooth. Orang abangan masuk dalam komunitas santri secara halus tanpa harus melepas identitasnya semula. Sebab pada praktiknya di desa-desa, mereka hampir tidak pernah mempermasalahkan secara vulgar apakah sholat lima waktu atau tidak; puasa penuh di bulan ramadhan atau tidak. Meski hampir selalu ada ceramah agama di dalam forum tahlilan, namun tidak dalam seruan yang keras.

KENYATAANNYA, hasil proses blurring itu dalam politik lokal kontemprorer tidak bisa digeneralisir. Misalnya untuk kasus Kediri dan Kudus, sejauh pengetahuan penulis, dikotomi kian kabur. Dominasi kaum santri sudah amat kuat dan mendominasi secara politik, budaya dan kekuasaan. Mungkin dua tempat itu menjadi fenomena umum di Jawa kontemporer. Tetapi di Solo, ketegangan antara kaum santri dan kaum abangan-yang menyebut diri kejawen-masih amat kuat, terus menerus direproduksi. Solo yang sejak menjelang reformasi disibukkan berbagai kerusuhan massa masih bisa dipilah, bahkan secara geografis, antara Solo bagian Selatan yang lebih "santri" dan bagian Utara yang lebih "abangan". Di kota ini "radikalisme" agama tumbuh subur, begitu pula res- pons terhadapnya dari kelompok kejawen "radikal".

Pertanyaan berikutnya apakah dikotomi budaya, lebih-lebih politik, antara santri- abangan, religius-sekuler secara umum lenyap? Penulis berpendapat sebaiknya kita tidak tergesa-gesa menarik jawaban, lebih-lebih kalau hanya menjadikan Pilpres menjadi barometer. Mengapa? Sebab akan membuat kita kurang jeli melihat fakta-fakta relasi agama dan politik yang akan berkembang dalam politik Indonesia kontemporer saat ini dan ke depan, baik dalam skala nasional lebih-lebih di tingkat lokal.

Beberapa kenyataan sosial politik berikut ini mungkin menarik diperhatikan.

Usulan Piagam Jakarta dalam Amandeman UUD 1945 tahun 2000 menunjukkan kekuatan "politik aliran" masih terkonsolidasi dengan baik. Meski gagal, tetapi keinginan untuk menghidupkan dasar keagamaan sebagai basis ideologi masih kuat di sebagian masyarakat. Keberhasilan kelompok tertentu mengajukan pasal pendidikan agama dalam UU Sisdiknas No 20/ 2003 merupakan contoh masih kuatnya politik aliran. Sempat juga muncul gagasan RUU Kerukunan Umat Beragama tahun 2003. Dalam konteks lokal, gagasan penerapan Syariat di Padang, Tasikmalaya, Cianjur, Pamekasan, Mataram, Makasar dan tempat lain, jelas menjadi ruang eksperimentasi baru politik agama.

Penulis berpendapat, aneka fenomena kontemporer seperti keinginan meng-UU-kan KHI (Kompilasi Hukum Islam) yang sementara ini masih berstatus Inpres, gagasan tentang Kitab Undang-Undang Hukum "Pidana Islam" (?), RUU Hukum Terapan Peradilan Agama, dan Perda "Syariat Islam" (?) dalam otonomi daerah, bukan hanya fenomena "pragmatisme-religius"? Penulis melihat, sedang terjadi transformasi politik aliran yang penting diperhatikan, bukan hanya secara teoritis, tetapi lebih-lebih dalam realitas politik dalam kaitan dengan demokratisasi. Sehingga penting memunculkan pertanyaan-pertanyaan baru dalam melihat realitas politik Indonesia kontemporer, bukan malah mempersempitnya.

Suhadi Direktur Program Institut Kajian Islam LKiS, Yogyakarta; Tim Peneliti di Melbourne Institute of Asian Languages and Societies, Universitas Melbourne Australia


Transformasi Politik Aliran - Rabu, 11 Agustus 2004