Friday, February 2, 2007

Republika Online : http://www.republika.co.id

Rambu Pembaruan Islam Oleh :
Arif Munandar RiswantoAlumnus Universitas Al Azhar Mesir dan Aktivis Muda PERSIS
Beberapa hari ini, harian Republika diwarnai dengan polemik sengit tentang wacana pembaruan Islam. Terlebih lagi, sebagaimana ditulis oleh Adian Husaini, dimulai oleh pidato Cak Nur pada tanggal 3 Januari 1973, tren pembaruan pemikiran Indonesia telah memasuki usia yang ke 37 tahun. Meskipun sebenarnya secara jujur, pembaruan Islam telah ada semenjak Islam lahir ke muka bumi ini. Dengan demikian, Cak Nur bukanlah orang pertama yang melakukan pembaruan-jika memang dia layak disebut sebagai seorang pembaru.
Wacana pembaruan Islam pun bukan wacana baru, tetapi "wacana tua". Ia ada seiring dengan kelahiran Islam. Dimulai dari masa Nabi, Khulafaur-rasyidin, para imam mujtahid, hingga sampai saat ini. Bahkan, terkait dengan tema ini, Imam Suyuthi menulis sebuah buku yang sangat bernilai, "Ar-Radd 'ala Man Akhlada Al-Ardh wa Jahula anna Al-Ijtihad Fardh." Bahkan, sebagaimana dikutip oleh Al-Munawi dalam "Faidh Al-Qadhir" (2/282) As-Suyuthi membuat nuzhum tentang orang-orang yang disebut pembaru, mulai dari Umar bin Abdil Aziz hingga masa dia.
Hal pertama yang harus kita pahami adalah, bahwa pembaruan Islam merupakan kewajiban yang diajarkan agama dan kebutuhan yang diperlukan realitas. Disebut kewajiban agama karena secara langsung Rasulullah sendiri telah mengajarkan bahwa pembaruan di dalam Islam itu ada dan disyariatkan. Ini berangkat dari hadis yang diterima Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al Hakim, Al Khathib Al Baghdadi, "Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap seratus tahun sekali orang yang memperbarui agamanya."
Pembaruan menjadi kebutuhan realitas karena sekarang umat Islam sedang menghadapi problematika baru yang sama sekali berbeda dengan zaman dulu. Sekarang muncul teori, falsafah, dan inovasi baru yang tidak pernah terjadi di zaman dulu. Umat Islam memerlukan jawaban syariat terhadap masalah tersebut. Untuk menjawab segala problematika yang baru itulah Rasulullah mensyariatkan pembaruan. Karena, jika tidak begitu, umat Islam akan menjadi umat rigid dan terbelakang.
Rambu-rambuNamun, hal yang harus diperhatikan adalah rambu-rambu pembaruan tersebut. Karena, dalam hal ini, kita sering melihat kekeliruan. Banyak cendekiawan Muslim yang masih 'kebingungan' untuk melakukan pembaruan. Hal yang seharusnya mereka perbarui justru dipertahankan, dan hal yang seharusnya tidak perbarui justru diperbarui. Tidak semua pembaruan harus mengubah yang lama untuk diganti yang baru. Karena, begitu banyak hal lama tetapi bernilai, dan begitu banyak hal yang baru tetapi penuh madharat. Pada hakikatnya, lama dan baru adalah dua hal relatif. Lama sekarang adalah baru dahulu dan baru sekarang adalah lama di esok hari.
Pembaruan Islam erat kaitannya dengan ijtihad. Namun, ijtihad di dalam Islam tidak seperti tradisi berpikir sekuler Barat yang bebas untuk berpikir apa saja. Mengutip Yusuf Qaradhawi dalam Min Ajl Shahwah Ar Rasyidha (Manshurah: 1995), ijtihad juga pembaruan dalam Islam hanya berlaku dalam dua hal. Pertama, permasalahan yang tidak ada teksnya dan sengaja tidak dijelaskan oleh agama. Agama tidak menjelaskan permasalahan tersebut karena tidak ingin menyusahkan dan ingin memberikan rahmat kepada manusia. Seperti dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh, permasalahan ini bisa dijawab dengan qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar seorang mujtahid bisa mencurahkan kemampuannya untuk menjawab segala persoalan sesuai maksud-maksud syariat yang global.
Kedua, teks yang zhanni (terbuka untuk ditafsirkan) Kebanyakan teks adalah zhanni. Karena zhanni, teks seperti ini elastis dan sangat membuka peluang bagi dijalankannya ijtihad. Inilah yang mengakibatkan lahirnya produk-produk pemikiran yang berbeda dari satu mazhab dengan mazhab lain. Untuk kedua teks tersebut, ulama membuat kaidah bahwa fatwa bisa berubah seiring perubahan waktu, tempat, dan tradisi.
Namun, di antara kedua hal tersebut ada teks qath'i (gamblang). Teks qath'i tersebut menerangkan tentang jumlah, kadar, kuantitas, tata cara, waktu, dan tempat dengan rinci. Teks rinci seperti ini biasanya dijelaskan oleh teks qath'i tsubut dan qath'i dalalah serta diamalkan oleh umat Islam selama 14 abad. Teks seperti ini bisa kita lihat dari ayat waris, nikah, hudud, riba, khamr, zina, ibadah, rukun iman, rukun Islam, dan prinsip-prinsip universal ajaran Islam.
Selain untuk menjaga persatuan umat Islam di seluruh dunia --dengan berbagai mazhab yang dipeluk oleh umat Islam-- dan menjaga agama dari upaya inovasi baru (bid'ah), teks ini juga bertujuan untuk menjaga identitas umat Islam untuk tidak leleh kepada identitas umat lain. Untuk itulah, bagi teks seperti ini, ulama membuat sebuah kaidah bahwa Islam selalu adaptatif bagi seluruh waktu dan tempat. Teks statis seperti ini tidak bisa diubah, diperbarui, dan bukan tempat ijtihad. Tidak boleh ada seorang mujtahid, ulama, ahli fikih, pemikir, cendekiawan, dan lembaga fatwa yang mengubah teks jenis ini.
Membidik teks qath'iSayang sekali, selama ini pembaruan sering dibidikkan kepada teks qath'i, seperti yang jelas terlihat dari gerakan liberalisasi nilai-nilai Islam. Shalat bilingual, imam perempuan dalam shalat, zina, persamaan waris anak laki-laki dan perempuan, perubahan waktu haji, dan lain-lain menjadi dibolehkan. Sedangkan poligami, hijab, dan sebagainya. diharamkan. Alquran mushaf Utsmani pun diragukan keabsahannnya.
Padahal, hal yang telah ditegaskan oleh Nabi adalah, bahwa umat Islam dijamin untuk tidak akan membuat konsensus unviersal (ijma') dalam melakukan kesesatan bersama. Ini artinya, umat Islam tidak sedang tersesat ketika selama 14 abad membaca mushaf Utsmani, membedakan warisan anak laki-laki dan anak perempuan, melarang shalat bilingual, perempuan menjadi imam shalat, zina, khamr, dan sebagainya. Islam telah melewati berbagai konteks satu lembah peradaban ke lembah peradaban lain. Namun, teks qath'i ini tetap bertahan --tidak diubah dan diperbarui-- seperti pada awal diturunkannya.
Pembaruan di dalam Islam tidak boleh mengubah yang qath'i menjadi zhanni, muhkamat menjadi mutasyabihat, yang mapan menjadi elastis, dan juga sebaliknya. Namun, yang qath'i harus tetap qath'i, zhanni tetapi zhanni, muhkamat tetap muhkamat, dan mutasyabihat tetap mutasyabihat. Jika qath'i diubah menjadi zhanni, umat Islam akan menjadi umat yang tidak memiliki akar identitas. Dan, jika yang zhanni diubah menjadi qath'i, umat Islam akan menjadi umat rigid dan terbelakang.
Dengan rambu-rambu inilah, pembaruan Islam bisa dilakukan dengan baik. Kita bisa menimbang 'produk-produk impor' umat lain dengan adil, dan umat Islam akan menjadi umat yang maju, persis seperti tujuan yang diharapkan dari pembaruan itu sendiri ini. Wallahu'alam.
Ikhtisar- Pembaruan dalam Islam adalah menjadi kewajiban agama sekaligus tuntutan realitas.- Namun demikian, pembaruan harus dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambunya.- Pembaruan dalam Islam erat kaitannya dengan ijtihad yang menurut Yusuf Qaradhawi hanya bisa dilakukan untuk dua hal, yakni permasalahan yang tidak ada teksnya, serta teks yang maknanya masih terbuka.- Teks Islam yang sudah jelas-jelas gamblang makna dan tafsirannya, tidak perlu diperbarui lagi.
Republika Online : http://www.republika.co.id

Republika Online : http://www.republika.co.id

Rambu Pembaruan Islam Oleh :
Arif Munandar RiswantoAlumnus Universitas Al Azhar Mesir dan Aktivis Muda PERSIS
Beberapa hari ini, harian Republika diwarnai dengan polemik sengit tentang wacana pembaruan Islam. Terlebih lagi, sebagaimana ditulis oleh Adian Husaini, dimulai oleh pidato Cak Nur pada tanggal 3 Januari 1973, tren pembaruan pemikiran Indonesia telah memasuki usia yang ke 37 tahun. Meskipun sebenarnya secara jujur, pembaruan Islam telah ada semenjak Islam lahir ke muka bumi ini. Dengan demikian, Cak Nur bukanlah orang pertama yang melakukan pembaruan-jika memang dia layak disebut sebagai seorang pembaru.
Wacana pembaruan Islam pun bukan wacana baru, tetapi "wacana tua". Ia ada seiring dengan kelahiran Islam. Dimulai dari masa Nabi, Khulafaur-rasyidin, para imam mujtahid, hingga sampai saat ini. Bahkan, terkait dengan tema ini, Imam Suyuthi menulis sebuah buku yang sangat bernilai, "Ar-Radd 'ala Man Akhlada Al-Ardh wa Jahula anna Al-Ijtihad Fardh." Bahkan, sebagaimana dikutip oleh Al-Munawi dalam "Faidh Al-Qadhir" (2/282) As-Suyuthi membuat nuzhum tentang orang-orang yang disebut pembaru, mulai dari Umar bin Abdil Aziz hingga masa dia.
Hal pertama yang harus kita pahami adalah, bahwa pembaruan Islam merupakan kewajiban yang diajarkan agama dan kebutuhan yang diperlukan realitas. Disebut kewajiban agama karena secara langsung Rasulullah sendiri telah mengajarkan bahwa pembaruan di dalam Islam itu ada dan disyariatkan. Ini berangkat dari hadis yang diterima Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al Hakim, Al Khathib Al Baghdadi, "Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap seratus tahun sekali orang yang memperbarui agamanya."
Pembaruan menjadi kebutuhan realitas karena sekarang umat Islam sedang menghadapi problematika baru yang sama sekali berbeda dengan zaman dulu. Sekarang muncul teori, falsafah, dan inovasi baru yang tidak pernah terjadi di zaman dulu. Umat Islam memerlukan jawaban syariat terhadap masalah tersebut. Untuk menjawab segala problematika yang baru itulah Rasulullah mensyariatkan pembaruan. Karena, jika tidak begitu, umat Islam akan menjadi umat rigid dan terbelakang.
Rambu-rambuNamun, hal yang harus diperhatikan adalah rambu-rambu pembaruan tersebut. Karena, dalam hal ini, kita sering melihat kekeliruan. Banyak cendekiawan Muslim yang masih 'kebingungan' untuk melakukan pembaruan. Hal yang seharusnya mereka perbarui justru dipertahankan, dan hal yang seharusnya tidak perbarui justru diperbarui. Tidak semua pembaruan harus mengubah yang lama untuk diganti yang baru. Karena, begitu banyak hal lama tetapi bernilai, dan begitu banyak hal yang baru tetapi penuh madharat. Pada hakikatnya, lama dan baru adalah dua hal relatif. Lama sekarang adalah baru dahulu dan baru sekarang adalah lama di esok hari.
Pembaruan Islam erat kaitannya dengan ijtihad. Namun, ijtihad di dalam Islam tidak seperti tradisi berpikir sekuler Barat yang bebas untuk berpikir apa saja. Mengutip Yusuf Qaradhawi dalam Min Ajl Shahwah Ar Rasyidha (Manshurah: 1995), ijtihad juga pembaruan dalam Islam hanya berlaku dalam dua hal. Pertama, permasalahan yang tidak ada teksnya dan sengaja tidak dijelaskan oleh agama. Agama tidak menjelaskan permasalahan tersebut karena tidak ingin menyusahkan dan ingin memberikan rahmat kepada manusia. Seperti dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh, permasalahan ini bisa dijawab dengan qiyas, mashlahah mursalah, istihsan, istishhab, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar seorang mujtahid bisa mencurahkan kemampuannya untuk menjawab segala persoalan sesuai maksud-maksud syariat yang global.
Kedua, teks yang zhanni (terbuka untuk ditafsirkan) Kebanyakan teks adalah zhanni. Karena zhanni, teks seperti ini elastis dan sangat membuka peluang bagi dijalankannya ijtihad. Inilah yang mengakibatkan lahirnya produk-produk pemikiran yang berbeda dari satu mazhab dengan mazhab lain. Untuk kedua teks tersebut, ulama membuat kaidah bahwa fatwa bisa berubah seiring perubahan waktu, tempat, dan tradisi.
Namun, di antara kedua hal tersebut ada teks qath'i (gamblang). Teks qath'i tersebut menerangkan tentang jumlah, kadar, kuantitas, tata cara, waktu, dan tempat dengan rinci. Teks rinci seperti ini biasanya dijelaskan oleh teks qath'i tsubut dan qath'i dalalah serta diamalkan oleh umat Islam selama 14 abad. Teks seperti ini bisa kita lihat dari ayat waris, nikah, hudud, riba, khamr, zina, ibadah, rukun iman, rukun Islam, dan prinsip-prinsip universal ajaran Islam.
Selain untuk menjaga persatuan umat Islam di seluruh dunia --dengan berbagai mazhab yang dipeluk oleh umat Islam-- dan menjaga agama dari upaya inovasi baru (bid'ah), teks ini juga bertujuan untuk menjaga identitas umat Islam untuk tidak leleh kepada identitas umat lain. Untuk itulah, bagi teks seperti ini, ulama membuat sebuah kaidah bahwa Islam selalu adaptatif bagi seluruh waktu dan tempat. Teks statis seperti ini tidak bisa diubah, diperbarui, dan bukan tempat ijtihad. Tidak boleh ada seorang mujtahid, ulama, ahli fikih, pemikir, cendekiawan, dan lembaga fatwa yang mengubah teks jenis ini.
Membidik teks qath'iSayang sekali, selama ini pembaruan sering dibidikkan kepada teks qath'i, seperti yang jelas terlihat dari gerakan liberalisasi nilai-nilai Islam. Shalat bilingual, imam perempuan dalam shalat, zina, persamaan waris anak laki-laki dan perempuan, perubahan waktu haji, dan lain-lain menjadi dibolehkan. Sedangkan poligami, hijab, dan sebagainya. diharamkan. Alquran mushaf Utsmani pun diragukan keabsahannnya.
Padahal, hal yang telah ditegaskan oleh Nabi adalah, bahwa umat Islam dijamin untuk tidak akan membuat konsensus unviersal (ijma') dalam melakukan kesesatan bersama. Ini artinya, umat Islam tidak sedang tersesat ketika selama 14 abad membaca mushaf Utsmani, membedakan warisan anak laki-laki dan anak perempuan, melarang shalat bilingual, perempuan menjadi imam shalat, zina, khamr, dan sebagainya. Islam telah melewati berbagai konteks satu lembah peradaban ke lembah peradaban lain. Namun, teks qath'i ini tetap bertahan --tidak diubah dan diperbarui-- seperti pada awal diturunkannya.
Pembaruan di dalam Islam tidak boleh mengubah yang qath'i menjadi zhanni, muhkamat menjadi mutasyabihat, yang mapan menjadi elastis, dan juga sebaliknya. Namun, yang qath'i harus tetap qath'i, zhanni tetapi zhanni, muhkamat tetap muhkamat, dan mutasyabihat tetap mutasyabihat. Jika qath'i diubah menjadi zhanni, umat Islam akan menjadi umat yang tidak memiliki akar identitas. Dan, jika yang zhanni diubah menjadi qath'i, umat Islam akan menjadi umat rigid dan terbelakang.
Dengan rambu-rambu inilah, pembaruan Islam bisa dilakukan dengan baik. Kita bisa menimbang 'produk-produk impor' umat lain dengan adil, dan umat Islam akan menjadi umat yang maju, persis seperti tujuan yang diharapkan dari pembaruan itu sendiri ini. Wallahu'alam.
Ikhtisar- Pembaruan dalam Islam adalah menjadi kewajiban agama sekaligus tuntutan realitas.- Namun demikian, pembaruan harus dilakukan dengan memperhatikan rambu-rambunya.- Pembaruan dalam Islam erat kaitannya dengan ijtihad yang menurut Yusuf Qaradhawi hanya bisa dilakukan untuk dua hal, yakni permasalahan yang tidak ada teksnya, serta teks yang maknanya masih terbuka.- Teks Islam yang sudah jelas-jelas gamblang makna dan tafsirannya, tidak perlu diperbarui lagi.
Republika Online : http://www.republika.co.id

Republika Online : http://www.republika.co.id

Jumat, 02 Februari 2007Menghindari Kejumudan Pembaruan Islam Oleh :
Syamsuddin ArifPeneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Jakarta
Wacana pembaruan Islam kembali mencuat menyusul dimuatnya serangkaian artikel di harian ini yang menyoal, mengukuhkan, bahkan mengaburkan pokok permasalahan. Tanggapan berikut mencoba menjernihkan isu ini dengan menelusuri akar-akar semangat tajdid dalam tradisi dan sejarah Islam.
Bertolak dari sabda Nabi Muhammad SAW bahwa senantiasa akan muncul dalam setiap kurun 100 tahun seorang pembaharu agama yang diutus Allah untuk umat ini (HR Abu Dawud), banyak orang berupaya mengidentifikasi tokoh yang dikaguminya sebagai mujaddid. Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Imam AS Syafi'i sering disebut-sebut sebagai penyandang gelar sang pembaharu. Lalu di era modern, sebagian orang menyematkan predikat tersebut kepada Syekh Muhammad Abduh. Tentu dalam hal ini semuanya tak lebih spekulasi belaka.
Dua pertanyaan penting mendesak untuk dijawab. Pertama, untuk apa dan mengapa perlu ada pembaruan? Kedua, apakah yang perlu diperbarui dari agama ini? Tajdid tidaklah sama dengan mengada-ada. Seorang mujaddid tidak mengubah apalagi sampai membongkar pondasi dan struktur bangunan agama. Laksana gedung, agama ditempati dan dipelihara, lalu secara berkala dibersihkan agar tidak tampak usang dan kembali seperti kondisi semula.
Seorang pembaharu tidaklah mengubah dengan mengurangi atau menambah-nambah, membuat agama baru atau mendirikan agama dalam agama. Ia hanya memperjelas yang kabur dan menjernihkan yang keruh, mengangkat yang terabaikan dan memurnikan yang tercemar. Upaya inilah yang dilakukan oleh ulama semisal Ibn Taymiyyah (w 728/1328), tokoh yang menjadi subjek kajian Cak Nur dalam disertasi doktornya di Universitas Chicago.
Kita ketahui Ibn Taymiyyah hidup saat imperium Islam di Timur Tengah dan sekitarnya mengalami krisis multidimensi. Serangan kaum Salib dan ancaman tentara Tatar, perang saudara, dan konflik antarmazhab serta maraknya aliran-aliran sesat, jelas banyak memengaruhi pemikiran dan perjalanan hidup beliau. Ibn Taymiyyah berusaha menerobos melawan arus. Tercermin dalam karya-karyanya seperti Al Furqan bayna Awliya ar Rahman wa Awliya Al Syaitan (Perbedaan Antara Wali Tuhan dan Wali Setan). Ibn Taymiyyah mengecam keras sakralisasi mazhab dan pengkudusan tokoh. Ia juga menolak dikotomi yang mempertentangkan akal dengan wahyu atau menceraikan politik dari agama.
Akibatnya mudah ditebak, ia berkali-kali diadili dan dibui hingga wafat pun dalam penjara. Para cendekiawan sezaman dan sesudahnya banyak yang berseberangan dengannya, namun tidak sedikit pula yang mengagumi kiprah dan sumbangsihnya. Pandangan-pandangan Ibn Taymiyyah dalam masalah teologi, tafsir maupun fikih menuai kritik tajam dari para ulama besar semisal Al 'Izz ibn Jama'ah, As Subki, Ibn Hajar Al Haytsami, dan Abu Hayyan Al Andalusi.
Sikap serupa seyogyanya kita kedepankan ketika mendiskusikan gagasan-gagasan almarhum Cak Nur. Cendekiawan yang kerap dijuluki lokomotif gerakan pembaruan Islam di Indonesia itu tentu tidak berkenan jika orang lain mendewakan dirinya atau mendogmakan pikiran-pikirannya. Kritik bukan berarti benci. Sebaliknya, apresiasi tak perlu bertukar jadi venerasi. Gagasan-gagasan Cak Nur mungkin tegak dan mungkin tumbang, mungkin timbul dan mungkin tenggelam laiknya pikiran manusia.
Tak pernah sepiPanggung sejarah intelektual Islam sungguh tak pernah sepi dari polemik dan kontroversi. Betapa sengit perdebatan sejak kurun pertama hijriah bisa kita simak misalnya dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin yang ditulis Imam Al Asy'ari (w 324/935) dan kitab Al Farq baynal Firaq oleh Al Baghdadi (w 429/1037). Direkam dengan sangat rinci bagaimana silang pendapat terjadi antara tokoh-tokoh Mu'tazilah, Rafidhah, Murji'ah, dan Ahlus Sunnah. Jelas tergambar tidak hanya kemajemukan tapi juga kedewasaan para cendekiawan pada waktu itu.
Di abad selanjutnya Imam Ghazali (w 555/1111) mengguncang dunia perfilsafatan dengan kitabnya Tahafut at Tahafut. Dengan piawai disingkapnya pelbagai kerancuan dalam pemikiran Al Farabi dan Ibn Sina, dua sosok paling berpengaruh pada zamannya. Menurut beliau, ada tiga noktah ajaran mereka berimplikasi kufur. Pertama, menyatakan bahwa alam semesta ini kekal abadi. Kedua, mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara detil. Dan ketiga, mengingkari kebangkitan jasad pada hari kiamat.
Penting dicatat di sini bahwa Imam Ghazali tidak menyebut kedua filsuf tersebut kafir. Sasaran kritiknya semata-mata pemikiran mereka yang dinilainya keliru. Sebab, bagi Imam Ghazali, selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian Muhammad SAW, maka ia tidak boleh dianggap kafir.
Menariknya, penilaian Imam Ghazali itu tidak diterima begitu saja sebagai dogma. Bantahan terhadapnya datang dari Ibn Rusyd (w 595/1198), filosof sekaligus faqih yang juga berprofesi sebagai dokter istana Cordoba. Lewat bukunya yang terkenal, Fashlul Maqal fima baynal Hikmah wal Syari'ah minal Ittishal, Ibn Rusyd berhasil membuyarkan mitos bahwa kebenaran falsafi mustahil bersanding dengan kebenaran agama.
Nasib yang sama dialami warisan intelektualnya yang lain. Karya-karya Imam Ghazali yang mempelopori simbiosis antara kalam dan filsafat, ushul fiqh dan logika oleh Ibn Taymiyyah, Ibn Al Qayyim dan Ibn Qudamah seolah dimentahkan. Sementara karya beliau yang berupaya menawarkan sintesis antara tasawuf, fikih dan sunnah dalam kitab Ihya' Ulumiddin pun tak luput dari koreksi dan sanggahan. Ini belum termasuk tulisan-tulisan yang khas ditujukan untuk kalangan sufi seperti kitab Misykat Al Anwar.
Demikian pula di Nusantara. Seandainya ajaran mistik Syamsuddin As Sumatrani (w 1630) dikuduskan sedemikian rupa, niscaya tak pernah muncul kitab Hujjatus Shiddiq li Daf'i az Zindiq karya Nuruddin Ar Raniri (w 1658). Walhasil, khazanah intelektual Islam masa lampau yang kaya dan gamblang menayangkan dialektika sudah semestinya menggugah kita untuk berani bersikap kritis dan objektif agar terhindar dari kejumudan.
Republika Online : http://www.republika.co.id