Friday, February 9, 2007

Perempuan dalam Arus Perempuan dalam Arus

Perempuan dalam Arus

Formalisasi Syariat Islam di Tasikmalaya*)

I. Kabupaten Tasikmalaya Dan Syariat Islam

Suksesi kepemimpinan Nasional pada tahun 1998 yang selanjutnya lazim disebut sebagai era Reformasi, secara langsung telah berpengaruh kuat pada adanya perubahan kekuatan dan orientasi politik masyarakat sampai ke daerah-daerah. Kabupaten Tasikmalaya yang selama bertahun-tahun praktis berada dalam kendali dan pengaruh GOLKAR (Orde Baru) dengan paradigma sosial-politiknya yang sekularistik, namun pada beberapa waktu berikutnya setelah era reformasi yang ditandai dengan semangat keterbukaan dan desentralisasi itu berlangsung, menunjukkan perkembangan yang berbeda dengan kondisi dimana Orde Baru mencengkram kuat kekuasaan.

Partai politik di Kabupaten Tasikmalaya yang mendapatkan suara cukup signifikan pada pemilu tahun 1999 adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 11 kursi, Partai Golkar 9 kursi, PDI-P 7 kursi dan Partai Kebangkitan Bangsa 5 kursi. Sedangkan Partai Amanat Nasional 3 kursi, Partai Kedilan dan persatuan (PKP) 1 kursi dan Partai Bulan Bintang (PBB) 2 kursi.

Adanya perubahan kekuatan politik sebagaimana dapat di lihat dengan munculnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai pemenang pemilu 1999 di Kabupaten Tasikmalaya telah mendorong beberapa pimpinan partai politik yang berasaskan islam dan tokoh agama (islam) menyuarakan keinginan diberlakukannya syariat islam di Tasikmalaya.

Euforia reformasi dan Syariat Islam selanjutnya amat mewarnai proses-proses politik dalam penyusunan legislasi di DPRD Kabupaten Tasikmalaya. Sekalipun secara keseluruhan “partai islam” sebenarnya bukanlah kelompok terbesar di DPRD Kabupaten Tasikmalaya (hanya 13 kursi dari 45 kursi yaitu yang diperoleh dari dari PPP 11 kursi dan dari PBB 2 kursi). Namun realitas yang terjadi dalam setiap proses penyusunan perda “kelompok partai islam” ini nampak sangat menonjol dan menentukan, terlebih dengan pasifnya partai-parai yang berasas non-islam telah semakin memberi kesan kehendak memberlakuan syariat islam di Kabupaten Tasikmalaya merupakan kehendak dari masyarakat Tasikmalaya secara keseluruhan.

Salah satu produk legislasi di tingkat Kabupaten Tasikmalaya yang amat berpengaruh terhadap merebaknya (sekaligus juga maraknya resistensi !) pemberlakuan Syariat Islam di Kabupaten Tasikmalaya adalah Perda No. 3 tahun 2001. Salah satu substansi terpenting dari Perda No. 3 tahun 2001 yang dianggap menjadi basis-legitimasi pemberlakuan “syariat islam” di Kabupaten Tasikmalaya adalah Visi-nya, yaitu : “Tasikmalaya yang Religius/Islam sebagai pusat pertumbuhan di Priangan Timur serta mampu menempatkan diri menjadi kabupaten yang maju di Jawa Barat pada tahun 2010”. Dan untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah daerah kabupaten Tasikmalaya selanjutnya menjabarkan dalam misi dan program.

Beberapa jabaran misi dan program dalam perda No 3 tahun 2001 yang dianggap paling banyak menimbulkan kontroversi dan perdebatan adalah :

1. “Pemulihan keamanan dan ketertiban yang berdasarkan kepada ajaran moral, agama, etika dan nilai-nilai budaya daerah (BAB VI, POINT 3 SUB 5)

  1. “Penyiapan Perda-perda Islami” (BAB IV “STRATEGI PEMBANGUNAN”, POINT C “STRATEGI PEMBANGUNAN KEAGAMAAN, SOSIAL DAN BUDAYA”, SUB A POINT KE-6)

II. Pandangan Masyarakat Mengenai Syariat Islam

Isu mengenai penegakkan Syariat Islam di Tasikmalaya sebenarnya bukan hal baru, karena jauh sebelum era reformasi isu Syariat Islam telah lumayan kencang bergulir melalui gerakan bersenjata DI/TII. Namun akhirnya sejarah juga membuktikan pada mayoritas ummat islam Tasikmalaya tidak menghendaki formalisasi syariat Islam itu. Buktinya adalah ummat islam Tasikmalaya sendiri ikut membantu TNI untuk membubarkan DI/TII. Sekalipun pada 3-4 tahun terakhir isu penegakkan Syariat Islam kembali menghangat dibicarakan, namun sebenarnya ditingkat pemahaman dan operasional diantara ummat islam berbeda-beda. Memang 95% lebih penduduk Tasikmalaya beragama islam.

Selain itu, kabupaten Tasikmalaya juga terkenal dengan banyaknya pesantren yang ada (pada Renstra tahun 2001 ada sekitar 700-an pesantren namun pada revisi Renstra tahun 2003 “cuma” ada 400-an pesantren ?). Sebagian besar ummat islam Tasikmalaya berafiliasi ke 3 Ormas keagamaan, yaitu NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah dan PERSIS (Persatuan Islam). Namun dari ketiga Ormas ini ternyata berbeda pandangan perihal pemaknaan syariat islam atau religius/islami.

Apakah syariat islam itu ? Apakah syariat islam itu wajib di formalasisikan ? Sebenarnya kalau dikaji dan diteliti secara lebih serius akan banyak dijumpai banyaknya tafsir dan pandangan diantara ummat islam di Tasikmalaya atas kedua pertanyaan diatas. Namun secara garis besar, maka setidaknya ada 3 kelompok dalam masyarakat Tasikmalaya yang menyikapi syariat Islam secara berbeda.

Kelompok pertama, adalah mereka yang mendukung penerapan syariat Islam. Kelompok ini terdiri dari anggota-anggota dewan di parlemen kabupaten terutama dari partai-partai yang berlandaskan agama (PPP dan PBB), ormas-ormas keagamaan yang selama ini memang sangat kencang meniupkan gagasan masyarakat Islam (Persis, Masyumi, KAMMI) termasuk di sana adalah organisasi pemuda/laskar-laskar (Taliban, Mujahidin, dan lain-lain), ulama-ulama dan santri pesantren di wilayah pinggiran (yang juga jadi basis pendukung PPP Tasikmalaya). Menurut kelompok ini, karena umat Islam adalah 99% penduduk Tasikmalaya, maka sudah sewajarnya syari'at Islam menjadi landasan hukum kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka menyerukan umat Islam untuk kembali pada al-Qur'an dan as-Sunah, agar berbagai problema sosial politik yang sekarang melanda bangsa Indonesia dapat diatasi.

Sementara kelompok kedua adalah, mereka yang lebih kritis dalam menafsirkan syariat Islam. Syariat Islam menurut kelompok ini lebih bersifat substansial atau kontekstual dari pada formal atau tekstual. Kelompok ini bukan tak setuju syari'at Islam, tapi menolak pemahaman keagamaan kelompok pertama. Menurut mereka, apa yang dipahami kelompok pertama sebagai syari'at Islam tak lain adalah fikih yang dikembangkan ulama Islam awal. Problemanya, dengan beragamnya sudut pandang fikih yang terdapat di negeri ini, pendapat kelompok manakah yang akan dijadikan rujukan ? Argumen lain dari kelompok ini adalah Islam harus bersifat inklusif, artinya menjadikan semua bagian dalam masyarakat sebagai keberagaman yang tidak bisa dipisahkan. Kelompok ini terdiri dari NU, Muhammadiyah, Akademisi, dan LSM-LSM

Kelompok ketiga, adalah mereka yang bersifat apatis terhadap isu ini. Kelompok ini adalah kelompok yang terbesar dalam masyarakat. Bagi kelompok ini syariat islam maupun tidak begitu penting karena tidak akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka sehari-hari yang sudah begitu sulit. Kelompok ini terdiri dari masyarakat urban yang marginal secara ekonomi, masyarakat abangan, petani gurem dan sebagainya.

III. Kasus-kasus Kebijakan Syariat Islam Terhadap Perempuan

Selain Perda No 3 tahun 2001 di atas, masih ada beberapa kebijakan pemerintah, yang secara langsung maupun tidak langsung, hendak menunjukkan “kesungguhan” pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya memberlakukan Syariat Islam. Kebanyakan dari kebijakan pemerintah ini sebenarnya masih berbentuk intruksi, surat edaran atau himbauan Bupati yang dalam ilmu hukum sebenarnya tidak memiliki kekuatan hukum. Namun sekalipun tidak memiliki kekuatan hukum, surat intruksi, edaran atau himbauan Bupati ini secara sosiologis amat berpengaruh di tingkat masyarakat, khususnya terhadap para pegawai pemerintahan.

Salah satu dari kebijakan pemerintah Kabupaten Tasikmalaya yang mengundang kritik dan kontroversi adalah Surat edaran Bupati No. 451/SE/04/Sos/2001 Tentang Upaya Peningkatan Kulitas Keimanan dan Ketaqwaan. Point yang selanjutnya dipandang “mengekang kebebasan” masyarakat islam dalam memahami konsep aurat bagi perempuan muslimah, yaitu dengan adanya klausul “Dianjurkan kepada siswi SD, SLTP, SMU/SMK, Lembaga pendidikan kursus dan Perguruan Tinggi yang beragama Islam untuk mengenakan pakaian seragam sesuai dengan ketentuan yang menutup aurat”. Pada tingkat prakteknya yang diakui sebagai ketentuan menutup aurat bagi perempuan adalah “kewajiban memakai jilbab ”.

Kondisi yang alami oleh perempuan Tasikmalaya sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kondisi yang di alami oleh para perempuan pada umumnya di Indonesia. Kungkungan budaya patriarkhi secara pasti terus menerus membatasi ruang gerak perempuan untuk memperoleh hak asasinya secara penuh, seperti kebebasan berkiprah di wilayah-wilyah publik. Sekalipun gaung gerakan keadilan gender telah merebak di mana-mana sejak lama (juga di Kabupaten Tasikmalaya), namun fakta di lapangan menunjukkan perempuan masih dianggap dan diposisikan sebagai sub-ordinasi dari laki-laki. Bukti paling kongkrit dari adanya sub-ordinasi ini adalah masih minimnya perempuan memperoleh kesempatan menduduki jabatan-jabatan publik.

Jumlah perempuan di Kabupaten Tasikmalaya adalah 787.373 jiwa, sementara laki-laki berjumlah 778.553 jiwa, sehingga total penduduk Kabupaten Tasikmalaya adalah 1.565.906 jiwa. Melihat data kependudukan ini, maka jelaslah sebenarnya komposisi perempuan sedikit lebih besar dari laki-laki. Namun sayangnya sekalipun secara kuantitas perempuan berjumlah besar namun hanya sedikit saja perempuan yang memperoleh kesempatan berkiprah dalam jabatan-jabatan publik. Di DPRD Kabupaten Tasikmalaya saja dari 45 anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya (hasil pemilu 1999) hanya 3 orang saja yang berjenis kelamin perempuan.

Saat Bupati Tasikmalaya mengangkat 5 camat perempuan dari 39 kecamatan yang ada (masing-masing untuk kecamatan Cisayong, Salawu, Salopa, Jamanis, dan Cikatomas), Fraksi PPP yang merupakan fraksi terbesar di DPRD Tasik menolak rencana itu, bahkan menganggap pengangkatan itu sebagai pengkhianatan Bupati atas visi religius/Islami. Uu Ruzhanul Ulum, sang Ketua Fraksi PPP, sebagaimana banyak dikutip oleh media dan paper hasil penelitian, seraya mengutip sebuah hadits Rasulullah tentang kemungkinan rusaknya sebuah kaum bila dipimpin perempuan, Uu juga dengan berapi-api menyatakan :

“Islam melarang mengangkat perempuan sebagai pemimpin, termasuk menjadi camat. Yang berhak menjadi pemimpin baik dalam pemerintahan maupun rumah tangga adalah laki-laki. Makanya kita akan menentang usaha-usaha pemberdayaan perempuan kalau itu bertentangan dengan syariat Islam. Kalau suatu kaum dipimpin oleh perempuan maka tinggal tunggu kehancurannya. Saya tidak ingin Tasikmalaya hancur karena dipimpin oleh perempuan”.

IV. Membangun Sinergi Antar Elemen Civil Society Dan Penguatan Hak-hak Perempuan

Keberadaan elemen Civil Society, Organisasi Rakyat atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Tasikmalaya telah banyak diakui kiprahnya baik dalam konteks pemberdayaan masyarakat maupun dalam menjalankan fungsinya sebagai kontrol pemerintah. Sekalipun masing-masing elemen Civil Society memiliki kekhasan karakteristik dan program namun pada saat-saat tertentu seperti saat mempressure kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan publik maka berbagai elemen Civil Society ini secara sadar menggalang kebersamaan dengan membuat sebuah aliansi misalnya.

Awal-awal tahun 2000-an erupakan saat-saat yang kurang menggembirakan dalam iklim demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Tasikmalaya. Euforia “islam politik” dengan pandangannya yang cenderung skripturalis sempat membawa ketegangan ditingkat masyarakat. “Aksi-aksi moral” sepihak yang dilakukan oleh kalangan “Islam politik” ini seperti sweeping terhadap tempat-tempat hiburan dan razia terhadap perempuan yang keluar rumah malam-malam memunculkan keprihatinan banyak pihak. Ada dua alasan yang menyebabkan sepak terjang kelompok “islam politik” nampak begitu leluasa.

Pertama, mereka berargumentasi bahwa semenjak ditetapkan Perda No 3 Tahun 2001 perihal Visi Kabupaten Tasikmalaya yang Religius/islami maka mulai saat itu pula secara sah kabupaten Tasikmalaya berhak memberlakukan “Syariat Islam”.

Kedua, pasifnya tokoh-tokoh agama yang berpandangan moderat (sekalipun mayoritas) terhadap fenomena sosial yang muncul (juga adanya gerakan militeralisasi oleh Kelompok “islam politik” seperti sweeping-sweeping).

Bertitik-tolak dari kedua akar permasalahan diatas, maka elemen civil society yang dipelopori oleh Aspirasi Perempuan (ASPER), CERDAS, NAHDINA, Lingkar Kajian Agama dan Hak Asasi Manusia (LKAHAM), PMII, KOHATI dan lain-lain sepakat melakukan tiga counter gerakan (program) sekaligus.

Pertama struktural (program counter formalisasi syariat islam) yaitu berupaya untuk melakukan revisi terhadap Perda No 3 Tahun 2001 yang banyak disalah artikan sebagai basis-yuridis pemberlakuan syariat islam di Tasikmalaya. Kedua melalui program di lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren-pesantren) yaitu dengan melakukan dialog-dialog kritis perihal hak-hak perempuan. Ketiga program kemasyarakatan yaitu dengan melakukan pendampingan-pendamping dan sosialisasi hak-hak perempuan kepada masyarakat luas.

Untuk menjalankan program (counter) formalisasi Syariat Islam, LKAHAM dengan didukung oleh elemen civil society lainnya setelah melakukan kerja-kerja akademis dan politik selama kurang lebih dua tahun akhirnya berhasil mendesakkan adanya revisi Perda No 3 Tahun 2001. Revisi Perda No 3 Tahun 2001 atau yang berikutnya disebut sebadai Perda No. 13 Tahun 2003 memang masih mencantumkan kalimat Religius/islami dalam paragraf awal visinya. Namun kalimat Religius/islami itu tidak bisa lagi diklaim sebagai basis argumentasi pemberlakuan syariat islam karena pada jabaran misi dan programnya sama sekali tidak menyebut perlunya formalisasi-formalisasi keislaman dalam kehidupan bermasyarakat.

Secara lengkap visi yang tercantum dalam Perda No. 13 Tahun 2003 adalah “Tasikmalaya yang Religius/Islami, sebagai kabupaten yang maju dan sejahtera, serta kompetitif dalam bidang agribisnis di Jawa Barat tahun 2010”.

Sementara Misi yang ditetapkan adalah :

q Mewujudkan sumberdaya manusia yang beriman dan bertaqwa serta berakhlaqul karimah

q Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan keagamaan

q Mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mandiri

q Mewujudkan kepemerintahan yang baik dan pemerintahan yang bersih

q Mewujudkan pembangunan daerah melalui pemberdayaan masyarakat

q Mewujudkan pertumbuhan ekonomi daerah melalui pengembangan agribisnis dengan didukung oleh sektor lain

q Mewujudkan tata ruang dan pengelolaan pertanahan yang berkesinambungan dan berwawasan lingkungan

Membaca teks dalam Perda No. 13 Tahun 2003 diatas maka bisa dikatakan tidak ada lagi alasan yuridis yang bisa dilakukan oleh kelompok “islam politik” untuk melakukan gerakan sepihak semacam sweeping dan razia terhadap perempuan yang keluar malam-malam.

Program sosialisasi hak-hak perempuan melalui lembaga pendidikan (sekolah dan pesantren-pesantren) adalah karena lembaga-lembaga pendidikan menduduki posisi yang penting baik secara sosiologi maupun politik terhadap pandangan masyarakat. Tokoh dan semua elemen yang terkait dengan persoalan pendidikan secara faktual sangat didengar dan diikuti oleh masyarakat.

Namun sayangnya beberapa tokoh pendidikan (agama) masih ada yang kurang respek dengan isu hak-hak perempuan sehingga perlu digarap secara serius untuk mengenal dan menjadi pembela hak-hak perempuan. Elemen civil society yang ckonsern dengan bidang pendidikan dan Majlis Ta’lim ini adalah Nahdina Cipasung, CERDAS, Muslimat, Fatayat dan lain-lain.

Sementara program kemasyarakatan lebih terkait dengan upaya sosialisasi hak-hak perempuan dan soliditas di tingkat elemen civil society. Gerakan kemasyarakatan ini tentu saja memiliki posisi yang teramat penting juga. Karena tanpa kerja-kerja kemasyarakatan yang menyolidkan antar elemen civil society maka gerakan struktural akan menjadi lemah. Beberapa kerja kemasyarakatan yang telah dilakukan oleh elemen civil society di Tasikmalaya diantaranya adalah Pendampingan PSK dan kelompok tabungan di Mangkubumi dan Kawalu Oleh Aspirasi Perempuan (ASPER).

Secara kualitas dan kuantitas berbagai strategi dan program diatas telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Secara kualitas program kultural-kemasyarakatan telah merambah banyak dimensi kehidupan, seperti pendampingan terhadap PSK, advokasi korban razia dan penggundulan oleh Thaliban, memajukan ekonomi perempuan melalui arisan ibu-ibu dan sebagainya. Sementara secara kuantitas gerakan kultural melalui lembaga pendidikan dipandang berhasil adalah karena pada setiap kegiatan yang memperbincangkan perihal hak-hak perempuan selalu dihadiri oleh peserta dan undangan dengan jumlah yang besar.

Bahkan kajian perihal hak-hak perempuan tidak saja terjadi pada diskusi atau seminar ilmiah yang diadakan di ruang-ruang sempit dan terbatas melainkan sudah beberapa kali dimuat dalam opini di media cetak lokal (SK Priangan) yang pada waktu-waktu sebelumnya tidak pernah terjadi.

Secara ringkas ketiga program diatas dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

Identifikasi Masalah

Program

Sasaran

Target/

Out put

Realisasi

Adanya peraturan daerah yang melanggar/tidak responsif terhadap hak-hak perempuan

Syariat

Islam

Kritik yuridis :

1. Perda No. 3 Tahun 2001 perihal visi Religius/islami (penegakkan syariat islam)

2. Surat edaran Bupati No.451/SE/04/Sos/2001 perihal peningkatan dan keimanan ketaqwaan (salah satu pointernya adalah mengharuskan memakai busana yang menutup aurat bagi siswi SD, SLTP dan SLTP)

Revisi terhadap peraturan-peraturan yang melanggar kepentingan perempuan

Memperluas jaringan yang pro hak-hak perempuan di lingkungan birokrasi dan partai politik

§ Adanya revisi Perda No 3 tahun 2001 menjadi perda No 13 tahun 2003 yang lebih respek terhadap penguatan SDM, ekonomi rakyat dan hak perempuan

§ Tidak efektifnya Surat edaran Bupati No. 451/SE/04/Sos/2001 dan membebaskan siswi perempuan untuk menggunakan busana yang pilihnya

Kuatnya pandangan yang memposisi-kan perempuan sebagai subordinasi laki-laki

Minimnya keterlibatan perempuan sebagai penentu kebijakan di sekolah/

pesantren

Pendidi-kan

Sekolah-sekolah

Pesantren

Tersosialisasi-nya hak-hak perempuan secara luas

Mengupayakan keterlibatan perempuan sebagai penentu kebijakan di sekolah/

pesantren

Respon terhadap keberadaan dan hak-hak perempuan meningkat

Lemahnya SDM dan ekonomi perempuan

Lemahnya kesadaran perempuan atas hak-hak yang dimilikinya

Kemasyarakatan

Majlis Ta’lim

Kelompok Tabungan Ibu-ibu

Tersosialisasi-nya hak-hak perempuan

Pendampingan kegiatan ekonomi dan kesadaran berorganisasi

Pemahaman atas hak-hak perempuan tersebar meluas

Kesadaran berorganisasi-ekonomi meningkat (kegiatan arisan secara reguler terus berjalan sekaligus menjadi forum diskusi mengenai hak-hak perempuan

Akhirnya setelah menguraikan secara panjang perihal perempuan dan syariat islam di Tasikmalaya serta berbagai upaya yang telah dilakukan oleh elemen-elemen sivil society berkaitan dengan isu hak asasi manusia dan hak-hak bagi perempuan, maka ada beberapa catatan berikut ini yang menurut kami penting untuk menjadi perhatian semua pihak.

V. Penutup

Apakah isu formalisasi Syariat Islam masih relevan di Tasikmalaya sekarang ini ? Apakah dengan bergulirnya formalisasi syariat islam di Tasikmalaya menyebabkan adanya perubahan kondisi sosial yang lebih baik, khususnya bagi keadilan perempuan ? Kalau memperhatikan keadaan yang telah terjadi selama ini maka kecenderungan isu atau motivasi memformalisasi syariat islam tidak menjanjikan adanya kondisi sosial yang lebih berkeadilan dan bermartabat. Selalu saja makna syariat islam dalam ranah politik selalu dimaknai dengan pemahaman islam yang konservatif, kurang responsif dengan isu hak asasi manusia dan keadilan gender.

Jadi, memperhatikan ulasan diatas maka perlunya terus menerus melakukan kajian terhadap berbagai peraturan daerah (kebijakan publik) terutama yang dipandang potensial akan merugikan kepentingan perempuan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Sekaligus dengan terus menerus mengefektifkan gerakan kultural terutamanya yang berkaitan dengan sosialisasi hak-hak perempuan.

Akhirnya setelah menguraikan secara panjang perihal perempuan dan syariat islam di Tasikmalaya serta berbagai upaya yang telah dilakukan oleh elemen-elemen sivil society berkaitan dengan isu hak asasi manusia dan hak-hak bagi perempuan, maka ada beberapa catatan berikut ini yang menurut kami penting untuk menjadi perhatian semua pihak.

1. Untuk melakukan pressure terhadap pemerintah yang telah menetapkan kebijakan publik yang merugikan masyarakat maka perlu adanya konsolidasi diantara elemen civil socitey baik untuk penyempurnaan konsep maupun untuk menambah kekuatan pressure group/politik.

2. Perlunya menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan politik yang memiliki kesamaan visi dan pandangan terhadap hak-hak perempuan.

3. Konsolidasi, sharing dan kerja-kerja kultural harus terus menerus dilaksanakan oleh masing-masing elemen civil society sehingga bisa saling melengkapi dan bekerjasama secara efektif.

4. Perlunya jalinan kerja sama dengan para profesional seperti ahli hukum yang dapat membantu saat elemen civil society melakukan advokasi/pendampingan terhadap kasus-kasus hukum tertentu.

Tasikmalaya, awal April 2004



*) Makalah ditulis dalam rangka seminar Perempuan dalam Arus Formalisasi Syariat Islam (Belajar dari Tasikmalaya, Garut, Cianjur, dan Banten) yang dilaksanakan pada hari Senin tanggal 26 April 2004 di Hotel Ambhara Kebayoran, Jakarta Selatan. Dipresentasikan oleh Dida Nurhayati, Heni Hendrayani dan Jejeng tim perwakilan Tasikmalaya (Jaringan Kajian Islam dan Advokasi Perempuan).

0 Comments: