Friday, February 9, 2007

Jaringan Islam Emansipatoris

Sejumlah Peraturan Daerah (Perda) syariat Islam kini mulai digugat. Penerbitannya yang tidak mengacu pada falsafah hidup bangsa, Pancasila dan UUD 1945, dipertanyakan kembali. Keberadaannya dianggap mengancam prinsip keragaman dan kemajemukan bangsa yang tertuang dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Hingga kini, tercatat puluhan perda yang mengatur pemberlakuan syariat Islam. Di antaranya Indramayu dengan Perda No 7 Tahun 1999, Bengkulu dengan Perda No 24 Tahun 2000 dan Instruksi No 3 Tahun 2004. Solok memberlakukan Perda No 10 Tahun 2001 dan Perda No 6 Tahun 2002. Sumatera Barat dengan Perda No 11 Tahun 2001 dan instruksi Wali Kota Padang pada 7 Maret 2005. Di Balukumba dengan Perda No 4 Tahun 2003, Enrekang dengan Perda No 6 Tahun 2005, Maros dengan Perda No 15 Tahun 2005, serta Nusa Tenggara Barat, Takalar, Sinjai, Gowa, Banten, Tasikmalaya, dan Cianjur.

Ditambah lagi penetapan yang secara langsung memberlakukan syariat Islam, seperti di Pamekasan dengan Surat Edaran Bupati No 450 Tahun 2002. Mengarah ke hal yang sama adalah Riau, membentuk Komite Persiapan Penegakkan Syariat Islam yang digalang oleh Hisbut Tahrir Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Juga Garut, bupatinya membentuk Lembaga Pengkajian Persiapan Penerapan Syariat Islam. Sementara di tingkat nasional adalah munculnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP).

Salah Kaprah

Berbagai turunan peraturan pemerintah dan undang-undang itu disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang salah kaprah. Perda-perda syariat menunjukkan umat Islam makin terjebak dalam sektarianisme. Prinsip keragaman yang merupakan fakta natural dikalahkan oleh sikap ananiyah (egoisme) kelompok yang merasa paling benar dan merasa paling berhak menentukan baik-buruk dan benar-salah.

Satu sisi hal ini disebabkan euforia reformasi. Kebebasan berpikir dan menentukan nasib sendiri yang selama Orde Baru dibendung, sebab reformasi bendungan itu bobol sehingga air bah keinginan dan cita-cita mengalir deras tak terkontrol dan tanpa arah. Rambu-rambu dasar kebangsaan pun tak pelak hanyut terbawa air bah itu.

Sisi lainnya adalah sebab pemahaman keagamaan yang beku. Syariat Islam dipahami sebatas aspek-aspek formalnya. Fikih yang sebetulnya sekadar pemahaman dan penafsiran keagamaan untuk masa dan tempat tertentu, dikaburkan menjadi Syariat dan seakan-akan sempurna dan memuat segala sesuatu.

Ditegaskan di sini bahwa Syariat adalah nilai-nilai global-universal bagi terciptanya tatanan sosial yang adil dan manusiawi. Rincian petunjuk teknis dan realisasinya berkomunikasi dengan hiruk-pikuk kemanusiaan sesuai masa dan tempatnya. Di sini khazanah Ushul Fikih sudah menegaskan, al-hukm yaduru ma’a illatihi wujudan wa adaman (perputaran ada atau tidaknya hukum berdasarkan pada sebabnya), taghayyur al-hukm bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah (perubahan hukum mengikuti perubahan zaman dan tempat).

Karenanya yang penting sekarang ini adalah menggali Syariat (bukan Fikih) untuk diaplikasikan di kehidupan riil masyarakat. Pemahaman salah kaprah bahwa Syariat Islam terletak pada bentuk dan baju harus segera diluruskan kembali, mengarah pada prinsip nilai yang diperuntukkan kemaslahatan manusia.

Wahabisme

Pemahaman keagamaan yang demikian sering disebut Wahabisme. Wahabisme adalah salah satu paham keislaman yang berpandangan kaku dan formalistik, didirikan oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahab (1701-1793 M). Perjuangannya di bidang akidah dan ketauhidan, mengembalikan akidah umat Islam kepada tauhid yang jauh dari khurafat, tahyul dan bid’ah.

Corak pemikiran Wahabisme adalah tekstualis. Ini berakibat maqashid al-syari’ah (prinsip dasar tujuan syariat) tidak didalami secara lebih serius, bahkan cenderung diabaikan.

Wahabisme menekankan kebenaran harus sesuai teks kitab suci. Penalaran-penalaran yang tidak bersumber dari kitab suci dianggap sesat dan menyesatkan. Tak pelak, khazanah tradisi (‘urf) dan kebenaran yang memercik dari setiap sudut pandang diberangus tanpa kompromi.

Ikonoklasme (pemberangusan budaya) tidak terhindarkan. Kegarangan Muhammadiyah pada 1980-an kepada komunitas Nahdlatul Ulama berkaitan tawashul, tahlilan dan ziarah kubur hanya sebagian kecil dari ekspresi Wahabisme. Wahabisme merupakan doktrin keagamaan resmi pemerintah Arab Saudi. Wajar kiranya jika Arab Saudi membela Wahabisme mati-matian, karena merupakan sumsum negara.

Seperti halnya Pancasila dan UUD 1945 yang memang harus direalisasikan mati-matian dalam hiruk-pikuk kenegaraan dan kebangsaan kita. Lucunya Wahabisme mau diperlakukan sama di negeri ini. Sehingga yang terjadi adalah Arabisasi alih-alih ingin melakukan Islamisasi. Islam yang semestinya sangat luwes di setiap masa dan tempat, terdistorsi hanya seperti kultur dan sosiologi Arab.

Persoalan lainnya adalah Wahabisme sering dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan seperti di kerajaan Arab Saudi. Ijtihad untuk pembebasan masyarakat dan daya kritis terhadap kesewenang-wenangan penguasa dibelenggu dengan dalih kembali kepada kitab suci (Al-Quran dan Hadits). Inilah rawannya paham keagamaan jika sudah masuk struktur kenegaraan dan kebangsaan. Ia berpotensi menjadi alat kekuasaan. Sejarah kelam pemberangusan mazhab-mazhab lain oleh mazhab yang berkolaborasi dengan kekuasaan sudah jamak diketahui. Sejarah kelam penggunaan doktrin keagamaan untuk justifikasi kepentingan dan egoisme kelompok tertentu sudah sering kita saksikan.

Hubb al-Wathan

Kecenderungan Wahabisme adalah cermin dari lemahnya nasionalisme. Karena itu, sekarang saatnya mengampanyekan semangat nasionalisme. Semboyan hubb al-wathan min al-iman (cinta tanah air bagian dari keimanan) harus didengungkan kembali oleh kelompok-kelompok agama. Pada masa revolusi semboyan ini terbukti menyatukan berbagai kelompok agama menentang penjajahan.

Menilik pesan K.H. Ahmad Shiddiq dalam Muktamar NU 1984, umat Islam harus mendasarkan komunikasinya di dunia pada, ukhuwah Islamiyah (persaudaraan seagama), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama manusia).

Kesadaran beragama tidak menyebabkan kesadaran terhadap kebangsaan dan kemanusiaan luntur. Keyakinan terhadap agama tertentu tidak boleh merusak pilar-pilar kebangsaan dan kemanusiaan.

Hal-hal seperti itulah yang tentu saja harus kita pahami, bahwa kecenderungan untuk memformalkan syariat Islam itu bisa bersinggungan dengan prinsip kemanusiaan sebagaimana telah dipatrikan dalam sila kedua dari Pancasila.

Dalam konteks itu, jika saat ini ada upaya dari pemerintah pusat untuk menertibkan (ke arah pencabutan) peraturan daerah dan keputusan lain yang terkait dengan pemberlakuan syariat Islam itu, dapat dipahami sebagai upaya untuk meluruskan kembali jalan Pancasila. Bangsa Indonesia telah tertakdirkan sebagai sebuah komunitas yang beraneka ragam. Karena itu, sikap hormat terhadap perbedaan merupakan kesejatian orang Indonesia apa pun agamanya.* Jaringan Islam Emansipatoris

0 Comments: