Wednesday, January 31, 2007

Hukum Belanda Saja Bisa, Apalagi Hukum Islam

Jumat, 01 April 2005
Abdul Azis Kahar Muzakkar
Hukum Belanda Saja Bisa, Apalagi Hukum Islam

Lelaki berpenampilan kalem ini memiliki kharisma tersendiri, khususnya di kalangan anggota Komite Penegakan Syariat Islam. Ia adalah putra Kahar Muzakkar, salah seorang tokoh penegak Syariat Islam di Sulawesi Selatan di masa lalu.

Meski memiliki tujuan yang sama dengan sang ayah, yakni menegakkan Syariat Islam, namun langkah lelaki kelahiran Palopo, 15 Desember ini tidak sama dengan sang ayah. Jika ayahnya menggunakan cara kekerasan yang dikenal dengan pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, Aziz memilih langkah yang konstitusional dengan memperjuangkan Otonomi Khusus penegakan Syariat Islam melalui KPSI.

Ketua Lajnah Tanfidziyah KPSI Sulsel ini sudah tiga kali memimpin kelompok ini. Namun saat ini, ayah enam putra ini lebih banyak bermukim di Jakarta semenjak dipercaya menjadi salah satu wakil dari Dewan Perwakilan Daerah Sulsel. Berikut petikan wawancara wartawan Republika Andi Nuraminah dengan Abdul Aziz Kahar Muzakkar.

Sudah tiga kali Kongres Umat Islam dilaksanakan KPSI. Sebetulnya apa tujuan dan target pelaksanaan kongres tersebut?
Masing-masing kongres yang I, II dan III punya urgensi yang berbeda. Kongres I, waktu itu untuk deklarasi, kesepakatan untuk membuat KPPSI ke penegakan Syariat Islam. Yang I itu kita membuat struktur kelembagaan KPSI di semua kabupaten, dan itu selama satu tahun rampung. Kongres ke II, kita konsolidasi program. Tapi sepanjang dari kongres ke II, kita mengalami ujian-ujian. Di kongres ada bom, lalu Agus Dwikarna ditangkap, kemudian bom Makassar. Jadi sepanjang dari kongres ke II , waktu dan energi kita habis mengurusi isu terorisme. Makanya kita merasa perlu untuk kongres ke III dengan tujuan recovery dan konsolidasi program kembali. Dalam hal ini satu kabupaten di Sulsel yang sudah menelurkan empat perda yang bernuansa syariat Islam, kemudian kita jadikan pilot project. Kita sengaja membuat kongres III di situ sehingga di samping bisa menjelaskan produk-produk perda di Bulukumba, juga peserta dari daearah-daerah bisa menyaksikan langsung.

Setelah kongres berakhir, apa rekomendasinya?
Saat kongres, ada tiga komisi: komisi organisasi, rekomendasi, dan program. Jadi sebetulnya bukan hanya rekomendasi tapi juga program. Di rekomendasi itu ada hal-hal aktual. Misalnya soal pilkada, kita merokemendasikan bahwa KPSI terlibat secara aktif dalam pilkada. KPSI tidak menjadi penonton terhadap prosesi pilkada itu, karena itu adalah hal yang sangat strategis untuk kepentingan politik KPSI.

Salah satu rekomendasi meminta pemerintah dan DPRD untuk memberikan syariat Islam di Sulsel?
Itu memang target KPSI sejak didirikan. Jadi itu akan terus jadi perjuangan politik KPSI karena sejak awal kita menyatakan itu sebagai target politik KPSI. Karena kita melihat bahwa kesempurnaan pelaksanaan syariat Islam di NKRI mesti dengan otonomi khusus. Kita juga melihat bahwa otonomi khusus itu adalah sesuatu yang dimungkinkan dalam UUD 1945.

Apakah keinginan tersebut kira-kira bisa terlaksana?
Kita sadar bahwa itu tidaklah mudah tapi bukan berarti tidak mungkin. Yang jelas koridor konstitusinya ada dan jelas. Sudah ada contoh Aceh, Yogya, Papua. Jadi memang jelas landasan konstitusinya. Persoalannya kemudian kan soal politik. Disinilah KPSI berjuang secara politik untuk mencapai itu. Tapi kita juga tidak menggantungkan sepenuhnya pelaksanaan syariat Islam kepada otonomi khusus itu. Artinya, ada peluang sebagai suatu proses menuju kesitu yang sebetulnya bisa kita lakukan, yaitu melalui otonomi daerah yang berbasis kabupaten. Sehingga kita melihat bahwa proses inilah yang bisa dilaksankan sambil menyiapkan otonomi khusus. Jadi kita bisa melaksanakan syariat Islam pada otonomi daerah.

Seperti yang sudah terjadi di Bulukumba?
Ya. Kita berharap seperti itu. Saya sendiri mencanangkan dalam jangka waktu satu tahun ke depan, seluruh kabupaten di Sulsel dan Sulbar sudah bisa mengikuti jejak Bulukumba dengan menghadirkan tiga atau empat perda tentang syariat Islam.

Apakah kondisi masyarakat Sulsel menurut Anda sudah siap untuk menjalankan Syariat Islam?
Saya sangat optimis. Saya sangat yakin bahwa umat Islam di Sulsel sangat siap melaksanakan Syariat Islam. Dan ini didukung oleh hasil jajak pendapat tahun 2002 yang dilakukan Pemprov Sulsel dimana hasilnya 91,11 persen masyarakat Sulsel setuju dengan pelaksanaan syariat Islam. Jadi itu sudah didukung oleh data empirik. Tapi sebelum itu saya sendiri tidak setuju kalau ada yang mengatakan umat Islam tidak siap melaksanakan syariat Islam.

Pada dasarnya masyarakat kita kan masyarakat yang paternalistik, yang cenederung melihat elitnya saja. Jadi saya cenderung melihat bahwa yang tidak siap justru elit-elit politik. Kalau masyarakat kita, jangankan hukum Islam, hukum Belanda saja yang sangat jauh dari nilai-nilai filosofi, pandangan hidup, norma-norma yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia pada saat itu, ketika Belanda memaksakan hukum Belanda, hukum positif, ternyata diterima juga oleh masyarakat, apalagi kalau hukum Islam yang memang merupakan hukum agama, dan nilai-nilai Islam.

Jadi masalahnya ada pada elit politik?

Saya juga tidak berprasangka jelek terhadap mereka. Saya melihat masih perlu pola pendekatan. Saya tidak melihat elit politik kita juga benar-benar menolak. Saya juga melihat terdapat kelemahan dari KPSI terutama di daerah-daerah yang belum optimal dalam mendekati elit politik. Tapi disamping itu memang ada resistensi dari pihak-pihak yang sangat awam terhadap Islam, atau mungkin sudah terlalu lama terstigma tentang syariat Islam. Itu juga ada. Tapi secara posistif saya ingin mengatakan bahwa KPSI masih perlu melakukan pendekatan kepada elit-elit kekuasaan, dan itu pelan-pelan semakin mencair dalam beberapa waktu terakhir ini.

( )
Republika Online - http://www.republika.co.id

0 Comments: