Wednesday, January 31, 2007

Luruskan Istilah Perda Syariat


Jumat, 16 Juni 2006

Ke-56 anggota DPR mendorong presiden bertindak otoriter.

JAKARTA -- Ketua DPR, Agung Laksono, menilai penggunaan istilah perda syariat Islam untuk menamai sejumlah peraturan daerah (perda) perlu diluruskan. Sebab perda prostitusi seperti yang diterapkan di Tangerang, kata Agung, belum tentu tepat disebut perda syariat Islam.

Menurut Agung, untuk mengetahui perda syariat Islam dapat dilakukan lewat pengkajian, bukan politisasi. Agung mengingatkan semua pihak tidak terbawa untuk menilai bahwa sekian banyak perda merupakan perda syariat Islam. ''Lihat dulu,'' katanya di gedung DPR/MPR, Kamis (14/6).

Soal adanya permintaan 56 dari 550 anggota DPR untuk mencabut yang mereka sebut perda syariat Islam, Agung mengatakan hal itu masih akan dibicarakan dengan pimpinan DPR dan Badan Legislasi DPR. Dia berharap ditemukan solusi terbaik untuk menyikapi persoalan itu.

Agung mengatakan setiap peraturan, termasuk perda, dibuat mengikuti prosedur legislasi. Agung juga mengingatkan bahwa sekalipun bukan negara agama, Indonesia juga bukan negara sekuler. Dia menunjuk falsafah hidup bangsa Indonesia yang salah satunya Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pendapat senada dikemukakan Ketua MUI Sumatra Barat, Nasroen Haroen. Di Sumatra Barat, kata dia, sampai saat ini tak ada perda syariat. Yang disebut-sebut perda syariat oleh sebagian orang, kata dia, tak lain adalah perda tentang pemberantasan penyakit masyarakat (pekat).

''Yang ada perda pekat yang dasarnya adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah,'' kata Nasroen Haroen kepada Republika, di Padang, kemarin. Dia meminta Sumbar tidak diusik karena menerapkan perda pekat, karena berda filosofinya dengan syariat.

Anggota Komisi III DPR, Patrialis Akbar, mengatakan ditilik dari sisi aturan perundangan, sosiologis, maupun demokrasi, tak ada masalah dengan lahirnya perda-perda yang kemudian disebut perda syariat itu. Apalagi perda-perda itupun bermanfaat memberantas perbuatan maksiat.

Patrialis menduga penolakan lebih disebabkan sentimen belaka. Kemungkinan lainnya, kata anggota Fraksi PAN, ini, para penolak adalah orang-orang yang sepak terjang kemaksiatannya menjadi terbatasi.

Ketua Fraksi PPP, Endin AJ Soefihara, mengatakan permintaan 56 anggota DPR justru mencederai demokrasi dan melawan konstitusi. Sebab perda-perda itu dibuat dengan proses demokratis. Apalagi, kata dia, konstitusi menyatakan ''Indonesia berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa''.

Endin menilai ke-56 orang anggota DPR yang menolak perda dan menyurati presiden untuk membatalkan perda, sedang mendorong presiden bertindak otoriter.

Efektif
Sementara itu, tiga daerah yang banyak menerapkan perda-perda antimaksiat itu seperti Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, dan Jawa Barat, bereaksi keras atas sikap 56 anggota DPR. Sebab perda-perda yang dibuat efektif menekan kriminalitas dan mendokrak PAD.

Gubernur Sulsel, HM Amin Syam, mengatakan bila perda-perda yang bersumber dari nilai-nilai agama harus dibatalkan, aturan yang lebih tinggi juga harus dibatalkan. ''Di negara kita kan ada UU Zakat, UU haji, semua itu bernilai syariat Islam,'' katanya di Makassar, kemarin. Amin Syam mengatakan perda-perda itu sebenarnya tak pantas dipermasalahkan. Sebab yang dibuat adalah perda tentang baca tulis Alquran, larangan peredaran minuman keras, busana muslim, dan zakat. Semua itu berguna untuk pembentukan moral dan akhlak bangsa.

Daud Kahal, Kepala Infokom Kabupaten Bulukumba, Sulsel, mengatakan sejak minuman keras diperdakan, angka kriminalitas di daerah turun secara berarti. Sebab sejak perda terbit, jumlah orang mabuk menurun. ''Perbuatan kriminal kebanyakan dilakukan orang mabuk,'' jelasnya.

Perda zakat, kata Daud, juga sangat menolong daerah itu. Sebab partisipasi masyarakat membayar zakat meninggi dan membuat pembiayaan sarana pendidikan dan peribadatan makin pesat. Di beberapa tempat, kata Daud, penerimaan dari zakat lebih tinggi dibanding pajak.

Wali Kota Makassar, Ilham Arif Sirajuddin, mengatakan langkah 56 anggota DPR tak akan menyurutkan tekadnya untuk mengajukan perda tentang miras dan zakat. Dia melihat dua aturan itu punya potensi berkontribusi besar untuk pembangunan wilayah dan peningkatan keamanan.

Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, mengatakan butuh kajian mendalam untuk merevisi sebuah perda. ''Mengubah sebuah perda tidak semudah yang dibayangkan,'' katanya di Bandung, kemarin. Ketua DPRD Padang, Panji Alam, malah heran mengapa anggota DPR mempersoalkan perda antimaksiat, wajib baca Alquran, dan lain-lain yang tak dipermasalahkan masyarakat daerah. ''Kami tidak main paksa. Kami belajar mana yang baik, mana yang buruk,'' tandasnya.

Koordinator Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima), Ray Rangkuti, pemerintah pusat tak bisa sewenang-wenang mencabut perda, hanya karena perda itu bernuansa islami. Apalagi bila perda itu tak bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi.

(dwo/ina/rul/san )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: