Wednesday, January 31, 2007

Risau Beleid Bilah Bambu

Perda
Risau Beleid Bilah Bambu

Perda Gerbang Marhamah; Jalan Terus (Dok. GATRA/Tatan Agus RST.)Kerisauan kini tak lagi hinggap di benak Daeng Usman. Warga Desa Padang, Kecamatan Gantarang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini merasa keluarganya aman dan terlindungi. Ini semenjak pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan Penjualan dan Penertiban Minuman Keras. "Dulu banyak anak perempuan yang diganggu pemuda-pemuda desa yang nongkrong sambil mabuk-mabukan," kata bapak berusia 41 tahun itu. Maklum, dua anak gadis Usman tengah beranjak dewasa.

Kini Usman tak lagi melihat polah nakal. Para berandal desa agaknya keder dengan sanksi dari perda itu. Yakni ancaman dicambuk dengan bilah bambu sebanyak 40 kali bila tertangkap mabuk. Selain itu, ada pula hukuman berupa sanksi moral. "Kalau ada yang kena hukuman, semua warga desa tahu. Jadi, mereka yang mau berbuat jahat malu rasanya," ujarnya.

Penerapan aturan semacam ini tidak dipermasalahkan warga desa. Maklum, kini mereka merasa lebih aman dan terlindungi. Polisi pun tak perlu repot membasmi penyakit masyarakat yang sebenarnya bisa diselesaikan sendiri oleh masyarakat. "Kini tidak ada lagi yang berani terbuat jahat di desa kami. Hidup kami pun tenteram," tuturnya.

Perda bernuansa syariat Islam di Bulukumba tak hanya satu. Ada empat perda yang berpatokan pada syariat Islam. Selain minuman keras, yakni soal pengaturan zakat, berbusana muslim, dan baca-tulis Al-Quran. Perda Islami juga dibuat di enam pemda lain di wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Kota Makassar pun mengikuti jejak pemda lain. DPRD di sana kini tengah menggodok rancangan Perda Zakat. "Ini perda bernuansa syariat Islam pertama yang disusun," kata anggota DPRD Kota Makassar, Iskandar Tompo, bangga.

Nun jauh melintasi Laut Jawa, di ibu kota negara, Jakarta, 56 anggota DPR-RI gusar dengan perda-perda syariah itu. Selain di tujuh kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, ada 15 tempat lain yang punya perundangan daerah setipe. Menurut juru bicara kaukus wakil rakyat ini, Nusron Wahid, beleid semacam itu inkonstitusional. "Kami meminta pimpinan dewan menyurati presiden untuk mencabut perda-perda semacam itu," ujar seorang anggota kaukus dari Partai Damai Sejahtera, Constant Punggawa.

Nusron mengatakan, pembuatan perda seharusnya mengacu pada Undang-Undang 10 Tahun 2004, yakni tentang pembentukan perundang-undangan dan tidak boleh bertentangan dengan UUD 45. Setiap peraturan harus selalu mengacu pada UUD 45, dan agama tidak dijadikan sebagai sumber acuan. "Depdagri harus proaktif menyikapi perda ini," katanya.

Aksi 56 anggota dewan itu sontak menimbulkan pro-kontra. Pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Denny Indrayana mendukung. Alasannya, konstitusi (UUD 45) tidak mengadopsi formalisasi syariat Islam. Selain itu, perda ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. "Pada Pasal 10 ayat 3 disebutkan, agama tidak termasuk wilayah kewenangan pemerintah daerah," ujarnya kepada wartawan Gatra Basfin Siregar.

Mengenai upaya pencabutan perda-perda tersebut, menurut pria berusia 34 tahun itu, ada celah hukumnya. Yakni melalui judicial review ke Mahkamah Agung. Masalahnya, pengajuan uji materiil ini ada tenggat waktunya. Maksimal 180 hari setelah ketentuan itu ditetapkan. Kalau lewat? "Itu jadi problem. Perdebatannya panjang," katanya.

Sementara itu, menurut Progo Nurjaman, Sekretaris Jenderal Departemen Dalam Negeri, ada dua cara lain untuk mengatasi perda bermasalah. Selain lewat pengajuan uji materiil ke Mahkamah Agung, perda bisa dicabut atas inisiatif pemimpin daerah yang bersangkutan. Dan, "Dibatalkan dengan hukum yang lebih tinggi status hukumnya, yakni peraturan menteri/peraturan presiden," kata Progo kepada Bernadetta Febriana dari Gatra (baca: Susah Mencabut Perda Bermasalah).

Kubu pendukung perda syariah tak kekurangan dalil. Mereka menjawab tuntutan pencabutan itu tak kalah keras. Respons paling nyata justru datang dari DPR sendiri. Perlawanan dimulai dari pernyataan Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid. Dia mengungkapkan keheranannya atas sikap 56 sejawatnya itu. "Masyarakat tempat berlakunya perda saja tenang-tenang. Mereka ini mewakili masyarakat yang mana? Apa mereka itu dari daerah yang diberlakukan perda itu?" katanya tegas.

Puncaknya, Selasa lalu 134 anggota dewan meneken kontra-memorandum mendukung tetap berlakunya perda yang dipermasalahkan itu. Pernyataan ini ditandatangani anggota DPR dari delapan fraksi. Surat ini diserahkan langsung kepada Ketua DPR, Agung Laksono. "Kami berharap, Ketua DPR-RI tidak menindaklanjuti surat permintaan 56 anggota DPR tertanggal 17 Mei," ujar Lukman Hakim Saifuddin, anggota DPR Fraksi PPP yang menjadi juru bicara.

Lukman mengatakan, perda-perda yang dituduh inkonstitusional karena bernuansa syariat Islam adalah perda yang lahir dari proses demokrasi yang melibatkan seluruh fraksi di DPRD dalam mewujudkan aspirasi masyarakat di daerah. "DPR tidak punya kewenangan apa pun dalam mengeliminasi produk legislatif dan eksekutif di daerah," katanya.

Memang diakui Lukman, Indonesia bukan negara yang berdasarkan pada agama tertentu, pun bukan negara sekuler. Negara ini, katanya, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti tercantum pada Pancasila dan UUD 1945. Dia lalu menyitir pendapat proklamator Moh. Hatta bahwa sila pertama Pancasila adalah fundamen moral, tempat berpulang keempat sila lainnya.

Kumpulan wakil rakyat pendukung perda syariah itu berpendapat, tidak mungkin memisahkan sila pertama Pancasila dari agama. "Anggapan syariat Islam bertentangan dengan konstitusi merupakan pendapat yang ahistoris dan tidak berpijak pada konstitusi!" katanya.

Gayung pun bersambut. Meski adu pendapat tentang perda bernuansa Islam ini sedemikian ramai, semakin banyak saja pemda yang terus menggodok perda seperti ini. Misalnya Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang mengusung Perda Gerbang Marhamah atau Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlakul Karimah. "Perda ini justru akan meningkatkan saling pengertian dan interaksi antara masyarakat," kata Muhammad Toha, anggota DPRD Cianjur.

Toha dan koleganya keukeuh meneruskan pembahasan perda itu. Mereka telah berhasil meyakinkan pihak yang menolak penerapan perda itu. Drafnya saat ini tengah memasuki tahap penyelarasan pasal-pasal. "Tanpa mengurangi rasa hormat pada pemerintah pusat, perda ini jalan terus. Jangan khawatir, nonmuslim dan penganut agama lain jauh lebih nyaman dengan perda ini," ia menegaskan. Amin!

Arief Ardiansyah, Sulhan Syafi'i (Bandung), dan Anthony (Makassar)
[Nasional, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 29 Juni 2006]

Gatra.Com

0 Comments: