Wednesday, January 31, 2007

NEGARA, AGAMA DAN PENEGAKAN HAK SIPIL - KOLOM

NEGARA, AGAMA DAN PENEGAKAN HAK SIPIL - 09 Agustus 2006 - 04:45 (Diposting oleh: em)
Oleh: M. Dawam Rahardjo

Fatwa sesat terhadap aliran Ahmadiyah telah dikeluarkan sejak tahun 1968, tetapi fatwa itu dalam jangka waktu lama selama pemerintahan Orde Baru tidak menimbulkan dampak apa-apa dalam masyarakat. Tidak ada gerakan-gerakan afirmative action yang disertai dengan kekerasan untuk menghentikan aktivitas gerakan Jemaat Ahmadiyah yang memang sudah berlangsung sejak 1924-1925.

Ada dua faktor yang menyebabkan mengapa aksi-aksi kekerasan tidak timbul seperti yang terjadi akhir-akhir ini sejak pertengahan tahun 1945: pertama, ada sikap pemerintah yang tegas untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dan mencegah berkembangnya gerakan Islamisme yang sekarang ini lebih populer dengan sebutan fundamentalisme Islam; kedua, pandangan masyarakat dan umat Islam khususnya yang menempatkan fatwa dalam posisinya, yaitu sebagai nasehat keagamaan yang tidak mengandung konsekuensi hukum. Jadi, fatwa sifatnya tidak mengikat. Berbeda halnya dengan fatwa MUI pertengahan tahun 1965 yang menegaskan fatwa tahun 1968, fatwa ini ternyata telah menggerakkan sekelompok gerakan Islam untuk melakukan aksi kekerasan. Hal ini secara teoretis telah menimbulkan pertanyaan besar, yaitu erat kaitannya dengan kesadaran terhadap hak-hak azasi manusia yang jadi wacana hangat sejak reformasi.

Banyak kalangan menyadari bahwa aksi-aksi kekerasan yang marak sejak tahun 1965-an itu telah tidak saja melanggar hak asasi manusia. tetapi juga melanggar hak-hak sipil dan prinsip-prinsip dasar demokrasi liberal, yaitu demokrasi yang didasarkan pada penegakkan hak-hak sipil warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 (asli), khususnya pasal 29 ayat 2 yang berisikan prinsip kebebasan beragama dan menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Maraknya aksi-aksi kekerasan yang melanggar hak-hak sipil tersebut, agaknya juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, khususnya adalah maraknya gerakan-gerakan Islamisme atau lebih populer disebut fundamentalisme yang secara teknis sering juga disebut sebagai sebagai gerakan Salafisme radikal.

Maraknya gerakan Islam radikal di Indonesia ini berakar pada pengaruh tiga aliran fundamentalisme atau tiga aliran Islamisme di Dunia Islam. Pertama, maraknya kembali Wahabisme yang berpusat dan digerakkan dari Saudi Arabia. Kedua, pengaruh paham Ikhwanul Muslimin dari Mesir. Ketiga, munculnya gerakan Hizbut Tahrir yang berasar dari Palestina yang mencita-citakan berdirinya khilafah Islam. Tiga aliran itulah yang mendorong kebangkitan kembali paham gerakan Islam yang bersumber dari Piagam Jakarta yang menghendaki dilaksanakannya jaringan Islam melalui hukum positif negara dan juga gerakan mendirikan gerakan negara Islam yang dicita-citakan oleh DI TII atau partai-partai politik Islam pada masa Sidang Konstituante 1957-1959. Munculnya kembali aliran radikalisme Islam ini telah menaburkan bibit-bibit perpecahan dan ancaman terhadap keutuhan NKRI.

Gerakan fundamentalisme ini mula-mula muncul dalam bentuk gagasan untuk memulihkan Piagam Jakarta dalam sidang MPR 2002 yang membahas amandemen UUD 1945. Namun, gagasan ini agaknya tidak memperoleh dukungan dari dua organisasi Islam terbesar, yaitu NU dan Muhammadiyah. Setelah usaha ini gagal, maka upaya penegakkan syariat Islam melalui penegakkan hukum positif negara dialihkan melalui perkembangan pelaksanaan otonomi daerah, yaitu dengan mengeluarkan apa yang sekarang disebut sebagai “Perda-perda Syariah”. Dalam perjuangan Perda-perda syariah ini, syariah telah diintrepretasikan secara vulgar yang berdampak pada pelanggaran hak-hak sipil, warga negara dan perusakan terhadap budaya Bhineka Tunggal Ika. Sebagai contoh adalah: peraturan yang mewajibkan pegawai negeri untuk bisa membaca al-Qur’an sebagai syarakat penerimaan pegawai negeri dan kenaikan pangkat, mewajibkan pegawai perempuan untuk memakai jilbab dan menjadikan pakaian jilbab sebagai anjuran terhadap perempuan yang beragama lain (non Islam). Demikian juga dengan maraknya undang-undang yang dipropagandakan sebagai undang-undang anti-maksiat, misalnya mengatur pakaian perempuan anak-anak sekolah atau larangan bagi perempuan untuk berada di luar rumah di atas jam 22.00, karena pemerintah dianggap tidak melarang kegiatan-kegiatan hiburan yang dinilai mengandung kemaksiatan. Maka berbagai kelompok tertentu telah melakukan tindakan-tindakan penghakiman sendiri yang sebetulnya dapat dinilai sebagai tindakan-tindakan anarkis. Sebab, dalam negara hukum hanya pemerintah atau negara saja yang bisa mempergunakan instrumen kekerasan berdasarkan hukum.

Perkembangan semua itu telah merunyamkan prinsip-prinsip rule of law dan pelanggaran hak-hak sipil. Namun, yang lebih menyedihkan adalah bahwa pemerintah hingga saat ini belum melaksanakan hukum dan tindakan yang tegas terhadap pelanggaran hak-hak sipil. Departemen Agama sendiri yang sebetulnya pengemban tugas utama dalam melindungi kebebasan beragama dan menjaga kerukunan antar umat beragama justru bersikap membiarkan peristiwa-peristiwa kekerasan atas nama agama itu terjadi.

Berbagai kejadian itu tidak terjadi secara kebetulan, yaitu terjadinya berbagai jenis kekerasan dan pelanggaran hak-hak sipil dalam kasus penyerbuan terhadap kantor-kantor dan mesjid-mesjid dan pusat kegiatan Jemaat Ahmadiyah di berbagai tempat di seluruh Indonesia. Penyerbuan terhadap Komunitas Eden dan pengadilan keyakinan terhadap Lia Eden, penutupan rumah-rumah ibadah orang Kristen, penyerbuan (yang gagal) terhadap pusat kegiatan komunitas Jaringan Islam Liberal dan kelompok Perguruan Mahesa Kurung di Bogor. Kekerasan-kekerasan atas nama agama itu baru muncul marak pada masa pemerintahan SBY dan Yusuf Kalla. Bahkan, Wakil Presiden Yusuf Kalla telah mengeluarkan satu penilaian bahwa Perda syariah itu bukan masalah padahal pada umumnya Perda-perda syariah itu bertentangan dengan UUD dan KUHP.

Berbagai gejala lainnya juga merupakan pelanggaran hak-hak sipil dan UUD itu tidak bisa dibiarkan. Sudah saatnya masyarakat ikut bergerak untuk menegakkan kembali Pancasila dan UUD 1945, sebagai suatu usaha untuk menegakkan demokrasi yang mampu menciptakan persatuan dan keragaman budaya Indonesia.

Untuk mengatasi gejala-gejala itu perlu ada penegasan mengenai negara Pancasila yang bersifat sekuler. Memang sekularisme ini masih banyak disalahpahami oleh berbagai kalangan, antara lain tercermin dalam pandangan dua tokoh Islam di koran Tempo dalam menanggapi tulisan saya mengenai sekularisme. Mereka beranggapan bahwa sekularisme adalah paham yang hendak menyingkirkan peranan agama, khususnya agama yang dipeluk oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Padahal sekularisme itu adalah suatu prinsip yang ingin mencegah intervensi negara terhadap keyakinan dan ibadah warga negara. Dalam sekularisme, penyelenggaraan kehidupan beragama diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sipil, dengan demikian sekularisme justru menegakkan kebebasan beragama sebagai yang tampak di negara sekuler seperti Amerika Serikat dan Canada . Di sana kehidupan beragama justru berkembang sangat marak sehingga masyarakat di kedua negara itu dinilai sebagai masyarakat yang religius. Demikian pula aliran-aliran keagamaan tumbuh berkembang dengan suburnya. Agama tetap memperoleh peluang untuk berperan melalui arena publik; agama telah berpengaruh sangat besar terhadap moral dan etika masyarakat.

Memang sekularisme itu mengambil berbagai pola ekspresi keagamaan di ruang publik sebagaimana berlaku di Prancis, tetapi Indonesia mempunyai pola tersendiri. Jika di Prancis agama pada dasarnya dicurigai sebagai simbol sektarianisme dan eksklusifisme karena itu perlu dikontrol secara dekat. Namun, sekularisme di Indonesia justru bersikap empati terhadap semua agama.

Di Indonesia sekularisme berarti netral terhadap agama. Negara tidak membagi masyarakat beragama menjadi keluarga minoritas dan mayoritas, kesemuanya memperoleh hak yang sama. Kebebasan beragama adalah bagian yang paling penting dari hak-hak sipil. Jadi, kebebasan beragama diletakkan pada tingkat individu, sehingga tidak mengenal istilah minoritas dan mayoritas. Namun, pengertian yang benar dari konsep sekularisme itu masih banyak disalahpahami, termasuk oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri yang telah mengharamkan sekularisme, pluralisme dan liberalisme. Padahal ketiga paham itu merupakan dasar bagi kebebasan beragama dan peranan agama di ruang publik. Tiga prinsip itu pula yang menjamin otonomi masyarakat sipil dan penyelenggaraan kehidupan beragama yang toleran dan sekaligus dinamis. Karena itulah pemahaman terhadap trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme harus diluruskan. Peranan organisasi-organisasi besar Islam, khususnya NU dan Muhammadiyah, sangat penting, dalam konteks ini sangat diharapkan. Namun, sangat disayangkan bahwa kedua organisasi itu telah kehilangan kepemimpinannya, sehingga terjadi pengambilalihan prakarsa oleh kelompok-kelompok kecil yang cenderung mempergunakan kekerasan sehingga menimbulkan Islamphobia. Harus disadari bahwa Islam di Indonesia dewasa ini makin kuat diasosiasikan dengan gerakan kekerasan dan bahkan terorisme. Padahal Islam sendiri membawa misi menciptakan rahmat bagi segenap manusia.

Jakarta, 10 Juli 2006


ICRP - NEGARA, AGAMA DAN PENEGAKAN HAK SIPIL - KOLOM

0 Comments: