Wednesday, January 31, 2007

PDS dan Syariat-fobia


Senin, 22 Mei 2006

Adian Husaini
Ketua Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia

Harian Republika (17/5/2006) memberitakan protes anggota DPR dari Partai Damai Sejahtera (PDS), Konstan Ponggawa, terhadap pemberlakuan sejumlah perda yang benuansa syariat Islam. Ia menilai, perda-perda semacam itu inkonstitusional dan bertentangan dengan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Kaum Kristen di Indonesia seperti tiada henti untuk mempersoalkan pemberlakuan syariat Islam di Indonesia. Sebaliknya, mereka tidak mempersoalkan diterapkannya hukum kolonial/Barat yang sebenarnya banyak bertentangan dengan ajaran agama mereka sendiri. Mereka sibuk menyoal, mengapa umat Islam hendak menjalankan syariat Islam, tetapi mereka tidak menyoal, mengapa ajaran-ajaran dan hukum Bibel tidak dijalankan di Indonesia.

Ambillah kasus hukum tentang zina. Bukan hanya Islam yang memandang zina sebagai satu bentuk kejahatan. Berbagai ayat dalam Bibel pun menjelaskan tentang kejahatan zina. Sayangnya, hegemoni pikiran sekular atau keinginan untuk menjauhkan kaum Muslim dari agamanya -terlalu mendominasi pikiran sebagian kalangan Kristen. Ketika tercium ada `bau hukum Islam' dalam RUU KUHP --khususnya dalam pasal-pasal tentang perzinahan-- sebuah majalah (edisi 6-12 Oktober 2003), menampilkan laporan utama dengan judul 'Rancangan KUHP: Kitab yang Semakin Menakutkan'.

Salah satu perda yang banyak dipersoalkan oleh kalangan Kristen dan liberal di Indonesia adalah perda Kota Tangerang yang memberlakukan larangan pelacuran di daerahnya. Perda ini jelas bukan seratus persen mengadopsi syariat Islam, tetapi sudah menuai banyak protes. Soal zina dalam Islam sudah jelas. Pelakunya harusnya diganjar hukum rajam atau cambuk 100 kali. Jika perda larangan pelacuran semacam ini yang dipersoalkan PDS, alangkah naifnya. Sebab, ajaran Yahudi dan Kristen sendiri sebenarnya juga menolak perzinahan.

Dalam konsep Bibel, perbuatan zina dipandang sebagai kejahatan yang sangat berat. Hukuman bagi pezina adalah hukuman mati, dengan cara dilempari batu sampai mati. Beberapa jenis perzinaaan di antaranya malah dihukum dengan dibakar hidup-hidup. Lihat Kitab Ulangan 22:20-22. Kitab Imamat 20:8-15 juga menjelaskan, bahwa berbagai bentuk dan jenis perbuatan zina, semuanya wajib dihukum mati. Bahkan, pezina dengan binatang pun harus dihukum mati, termasuk binatangnya harus dibunuh juga.

Sesungguhnya zina adalah musuh Islam, Kristen, Yahudi. Aneh sekali jika kaum Kristen justru menentang peraturan yang melarang, mencegah, atau membatasi perzinaan di tengah masyarakat. Aneh, jika hanya karena syariat-fobia mereka justru mendukung hukum-hukum Barat yang memberi kelonggaran terhadap tindakan zina.

Upaya penjajah
Logika yang membenturkan syariah Islam dengan NKRI adalah logika yang sangat tidak masuk akal dan ahistoris. Sebelum penjajah Kristen Belanda masuk Indonesia, syariat Islam sudah diterapkan berbagai wilayah di Indonesia. Dalam disertasinya di Universitas Indonesia, Dr Rifyal Ka'bah mencatat, bahwa sebelum kedatangan penjajah Belanda, Islam telah memperkenalkan tradisi hukum baru di Indonesia. Ia menawarkan dasar-dasar tingkah laku sosial baru yang lebih sama rata dibanding dengan yang berlaku sebelumnya.

Di samping itu, Islam juga menyumbangkan konsepsi baru di bidang hukum untuk Indonesia. Ia telah mengubah ikatan yang bersifat kesukuan dan kedaerahan menjadi ikatan yang bersifat universal. Mengutip Daniel S Lev, Islam telah membentuk sebuah konsepsi sosial-politik supralokal sebelum Belanda dapat menyatukan Nusantara dalam sebuah administrasi pemerintahan.

Sebuah buku yang ditulis FVA Ridder de Stuers, Gedenkschrift van den Orloog op Java (1847), mengisahkan memoar seorang Letnan Kolonel dari Belanda. Letnan Kolonel ini menulis bahwa Perang Diponegoro (1825-1830) sebenarnya adalah perjuangan menegakkan hukum Islam bagi orang Jawa. Kepada William Stavers, ketua delegasi Belanda yang datang ke pedalaman Salatiga, Kyai Mojo menyampaikan pesan, bahwa Pangeran Diponegoro mencitakan hukum Islam seluruhnya berlaku untuk orang Jawa. Persengketaan orang Jawa dengan orang Eropa diputus menurut hukum Islam. Sedangkan persengketaan antarorang Eropa diselesaikan dengan hukum Eropa.

Sejak zaman VOC, Belanda pun mengakui hukum Islam di Indonesia. Dengan adanya Regerings Reglemen, mulai tahun 1855 Belanda mempertegas pengakuannya terhadap hukum Islam di Indonesia. Pengakuan ini diperkuat lagi oleh Lodewijk Willem Christian yang mengemukakan teori `receptio in complexu'. Teori ini pada intinya menyatakan, bahwa untuk orang Islam berlaku hukum Islam. Hingga abad ke-19, teori ini masih berlaku.

Snouck Hurgronje mulai mengubah teori ini dengan teori `receptie', yang menyatakan, hukum Islam baru diberlakukan untuk orang Indonesia, bila diterima oleh hukum adat. Pakar hukum adat dan hukum Islam UI, Prof Hazairin menyebut teori `receptie' Snouck Hurgronje ini sebagai `teori Iblis' (lihat, Dr Rifyal Ka'bah, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Yarsi, 1999).

Jadi, sejak zaman penjajahan, upaya untuk menghapus hukum Islam dari bumi Indonesia memang sangat gencar dilakukan oleh kaum penjajah Kristen Belanda dan kaki tangannya di Indonesia. Itu mudah dimengerti, karena ketakutan yang membabi buta terhadap hukum Islam. Setiap upaya kaum Muslim untuk memberlakukan hukum Islam selalu dilihat sebagai ancaman eksistensi kaum penjajah. Alb C. Kruyt (tokoh Nederlands bijbelgenootschap) dan OJH Graaf van Limburg Stirum, menyatakan, "Bagaimanapun juga Islam harus dihadapi, karena semua yang menguntungkan Islam di kepulauan ini akan merugikan kekuasaan Belanda. Kristenisasi merupakan faktor penting dalam proses penjajahan."

Strategi misi?
Pada 18 Agustus 1945, Piagam Jakarta memang digagalkan. Tetapi, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menegaskan kembali kesatuan Piagam Jakarta dengan UUD 1945. Sebagai contoh, penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dibuka dengan ungkapan: "Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia ia telah menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut." Dalam Peraturan Presiden No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), juga dicantumkan pertimbangan pertama: "Bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut".

Jadi, para pendiri dan pemimpin bangsa ini, sejak dulu sudah maklum, dimana posisi Piagam Jakarta. Piagam Jakarta bukanlah `penyakit' yang harus dibuang dan dilupakan, tetapi merupakan satu rangkaian dengan konsitusi. Dalam sistem hukum nasional --yang definisinya masih terus menjadi perdebatan-- kedudukan hukum Islam juga sudah cukup jelas. Di Indonesia, menurut Prof. Daud Ali, kini berlaku empat sistem hukum, yaitu (1) hukum adat, (2) hukum Islam (3) hukum Barat konstitusional, dan (4) common law.

Karena itu, sikap fobia (ketakutan yang membabi buta) terhadap syariat yang ditampilkan oleh PDS dan sejenisnya sebenarnya terbukti selama ini terlalu berlebihan. Sebagai partai Kristen, seyogyanya PDS lebih sibuk memperjuangkan aspirasinya, agar ajaran dan hukum Kristen bisa diterapkan buat orang Kristen. Itu lebih baik, ketimbang sibuk menghalang-halangi orang Islam menjalankan ajaran agamanya.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: