Wednesday, January 31, 2007

Perda Syariah itu Penajaman Hukum Yang Ada

Pancasila sebagai ideologi negara, saat ini sedang ditarik ke kiri dan ke kanan dalam suasana liberalisasi. Ke kanan artinya ada yang menginginkan untuk membuatnya menjadi negara agama
*
o Pancasila sebagai ideologi negara, saat ini sedang ditarik ke kiri dan ke kanan dalam suasana liberalisasi. Ke kanan artinya ada yang menginginkan untuk membuatnya menjadi negara agama, sedangkan yang ke kiri berkeinginan menciptakan nation state yang tanpa nilai.
o Dalam suasana liberalisasi seperti ini, posisi pemerintah memang lemah untuk mencegah hal itu secara yuridis formal.
o Lemahnya sistem pemerintahan itu bisa dilihat dari lemahnya kabinet yang secara de jure adalah presidential, namun dalam kenyataannya (de facto) malah bersifat parlementer, karena menteri-menteri yang ada di dalamya dikapling-kapling oleh partai politik (parpol). Dengan pengaplingan oleh parpol ini, maka mengakibatkan loyalitas para menteri berkurang.
o Di sisi lain, posisi presiden dan wakil presiden yang berbeda partai politik, tidak mampu mengokohkan kepemimpinannya. Dalam kondisi pemerintahan pusat seperti itu, maka daya pantau menjadi lemah.
o Sedangkan kondisi di pemerintah daerah saat ini masih dibatasi oleh otonomi, baik otonomi biasa maupun otonomi khusus, sehingga komando rentan strukturnya ke bawah. Yang terjadi saat ini, banyak sekali bupati yang tidak mau dipanggil oleh gubernurnya, tetapi kalau dipanggil sponsornya (partai politiknya), dia mau.
o Dari pemerintah itu pun tidak ada sinergi dengan lembaga tinggi negara misalnya dengan DPR, atau Mahkamah Agung (MA). Yang terjadi selama ini malah terjadi tumpang tindih wewenang hukum mulai dari tingkat DPR, kepolisian, kejaksaan, komisi yudisial, hingga MA. Jadi, law arrangement saja sulit, apalagi law enforcement, penataan hukum saja sulit apalagi penegakan hukumnya. Akibatnya, apabila terjadi gejolak maka tidak ada yang harus bertanggung jawab karena negara kita tidak memiliki lembaga tertinggi.
o Karena itu ormas seperti NU menjadi dibutuhkan untuk berteriak, disamping NU memang punya komitmen sejak awal.
o ****
o Selain itu, peneguhan Pancasila sebagai dasar negara menjadi sangat perlu, karena ada yang minta Syariat Islam menjadi dasar negara, ada yang mau menghidupkan marxisme dan leninisme. Padahal, hal itu bertentangan dengan nilai dasar bangsa.
o Mengatur hubungan agama dan negara itu harus ada setting yang menyebutkan agama tidak boleh membawa hukum negara dalam hukum positif normal, tetapi nilai agama yang luhur naik ke hukum positif diproses melalui demokratisasi dan untuk semua bangsa.
o Sementara agama pada civil society bisa diamalkan seleluasa mungkin. Misalnya, kalau orang mau berjilbab, silakan saja, dan bukan berarti orang Kristen harus ikut.
o Tidak ada perda (peraturan daerah) syariah. Perda syariah ini yang benar adalah perda penajaman kembali hukum yang sudah ada, karena soal pelacuran, perjudian, minuman keras, itu sudah ada sejak awal di hukum nasional, tetapi selama ini tidak efektif.
o Karena tidak efektif, akhirnya daerah-daerah ingin membuat perda untuk memperkuat itu, maka nyeletuklah ngomong syariat. Padahal, larangan judi, minuman keras, itu menjadi larangan semua agama.
o Kalaupun disebut syariah, maka itu syariah semua agama. Ada kesalahpahaman di situ, orang Islam menganggap itu syariat, padahal di agama lain ada, dan melarang itu.
o Itu bisa saja diembuskan orang luar yang tidak suka syariat, akhirnya ngantemi syariahnya, bukan judinya. Ada provokasi dari penjudi atau dari germonya yang melakukan gerilya, supaya orang yang tidak syariah menghantam syariahnya agar tidak terjadi. Jadi, ada kepentingan pihak ketiga. Inilah yang dinamakan kesalahpahaman aspiratif dan kesalahpahaman responsive.
o Jadi, lebih baik tetap membuat perda seperti itu, tetapi tidak memberi konsideran syariat. Syariat yang ada di perda itu tidak bisa disamakan dengan Piagam Jakarta, karena di Piagam Jakarta mengatur seluruh syariat Islam mulai dari shalat, zakat dan segala macam.
o Jadi sebenarnya, bisa saja perda itu tidak ada, kalau saja polisi mau menangkap seluruh penjudi yang ada.
o Adanya Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP) tidak sama dengan perda syariat. Karena pornografi ini sudah memasuki bidang industri, maka harus ditekan. Kalau tidak, maka akan rusak lah moral. Dan yang bisa menekan bukan lah kesadaran tetapi hukum.
o Tetapi karena Indonesia itu Bhinneka Tunggal Ika, maka faktor agama, budaya, dibiarkan untuk tetap eksis. Berarti itu tidak syariah, karena kalau syariah, the winner text all. Harus dibedakan antara RUU APP yang didukung NU dengan wacana perda syariah, karena dalam RUU APP ini mentolerir hukum agama lain, budaya dan pariwisata.
o Misalnya orang Papua memakai koteka, ya jangan dibilang porno, tetapi jangan memakai koteka di Stasiun Gambir.
o UU APP saat ini belum bisa ditetapkan, karena masih ada pertarungan antara moral dan modal, dan dimanapun moral melawan modal itu akan kewalahan. Modal membikin moral menjadi modal-madil.
o Nantinya, meski digegeri, UU APP akan tetap disahkan. Namun akan timbul gejolak untuk itu, mulai dari desakan membawa masalah ini ke Mahkamah Konstitusi, Mahkamaah Yudisial, hingga desakan ke Presiden untuk tidak membuat Peraturan Pemerintah (PP)-nya.
o Para industriawan pornografi ini akan menggunakan siapa saja, apakah wartawan, seniman, LSM, dan kalau mendapat ulama, berarti mendapat ikan gede.
o Yang pasti, NU akan terus berjuang, karena NU adalah lembaga ulama, bukan lembaga hiburan. Ini kalau di dunia tinju, ibaratnya main dalam 15 ronde jangan dihabiskan di ronde-ronde awal.
o Oleh: KH Hasyim Muzadi
o Ketua Umum PBNU


Koran surya

0 Comments: