Wednesday, January 31, 2007

Biar Polisi yang melakukan sweeping

Rabu, 20 September 2006

Tiga tokoh bicara senada tentang aksi penyisiran (sweeping) tempat maksiat oleh organisasi kemasyarakatan (ormas). Mereka meminta ormas-ormas tidak melakukan aksi tersebut dan menyerahkan penanganan tempat maksiat kepada polisi.

Ketiga tokoh itu--Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid; Menteri Agama, Maftuh Basyuni; dan Kapolda Metro Jaya, Irjen Adang Firman--meminta masyarakat menahan diri menjelang Ramadhan ini. Mereka berharap umat Islam memusatkan perhatian pada kekhusyukan beribadah dan tak perlu ''repot-repot'' menangani hal yang menjadi tanggung jawab polisi.

''Biarkan aparat berwenang yang melakukan sweeping,'' kata Ketua MPR kemarin. ''Kalau ada pengusaha hiburan yang melanggar, laporkan ke polisi. Pasti akan ditangani,'' ujar Kapolda Metro Jaya.

Ada nada kritik, juga introspeksi dan janji, pada pernyataan para tokoh itu. Sweeping, bagaimanapun, selama ini berakar pada ketidakcukupan tindakan atas berbagai pelanggaran hukum. Aksi razia terhadap rumah-rumah pelacuran, misalnya, adalah buah dari kejengkelan masyarakat atas kekebalan para pelanggar hukum itu.

Wajar, menjelang Ramadhan, muncul harapan besar dari masyarakat agar mereka dapat lepas dari gangguan semacam itu. Ramadhan adalah bulan mulia saat umat Islam mendapatkan waktu terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah. Mereka jauh-jauh hari sudah meminta agar aparat bersegera membersihkan tindakan maksiat. Mereka tak mau Ramadhan dikotori oleh orang-orang kebal hukum--yang menurut Menteri Agama merasa dilindungi sehingga seenaknya sendiri.

Masyarakat membutuhkan fakta tentang berjalannya hukum. Kalau kita bicara soal ''perda syariah'', misalnya, itu sebenarnya adalah suara masyarakat daerah yang menginginkan penegakan norma. KUHP memang sudah mengatur hal-hal semacam minuman keras dan prostitusi, namun yang kemudian masyarakat lihat adalah kelemahan polisi dalam penegakan hukumnya. Muncul kecurigaan bahwa aparat bisa dibeli, lalu masyarakat mengambil jalan pintas penegakan hukum dengan melakukan penghakiman sendiri.

Kita tak menginginkan hal itu terjadi menjelang dan saat Ramadhan mendatang. Tapi, kita pun tetap harus mengingatkan aparat berwenang untuk menegakkan aturan. Di Jakarta, misalnya, jelas ada Perda No. 10 Tahun 2004 tentang Kepariwisataan yang mengatur jam operasi tempat hiburan selama Ramadhan.

Bila aturan semacam ini ditegakkan, tentu takkan muncul kemarahan--yang berujung sweeping karena diskotek buka dan bising saat umat Islam menjalankan shalat Tarawih. Takkan muncul razia oleh ormas di kafe-kafe gara-gara ada orang yang mabuk pada saat umat Islam sedang berdzikir dan beriktikaf di masjid-masjid. Takkan ada kejengkelan karena televisi menyiarkan program SMS judi pada saat umat Islam bersiap untuk sahur.

Intinya ada pada toleransi--dan hal ini menjadi perhatian pokok ketiga tokoh. Semua pihak, Muslim atau bukan, berpuasa atau tidak, sama-sama menghormati bulan suci ini, sama-sama menahan diri dan bertenggang rasa. Sisi lainnya adalah ketegasan aparat, terutama polisi.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: