Wednesday, January 31, 2007

Pornografi, Siapa Berhak Membuat Definisi? - Sabtu, 04 Februari 2006

RANCANGAN UNDANG-UNDANG
Pornografi, Siapa Berhak Membuat Definisi?

Maria Hartiningsih

RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi sedang menjadi bahan diskusi terhangat para akademisi, aktivis, orang-orang terhormat di lembaga-lembaga terhormat, sampai orang-orang di jalan, termasuk sopir taksi.

”Playboy sudah beredar,” ujar Handi, seorang sopir taksi. ”Tapi gambar sampulnya Yati pesek berpakaian lengkap, he-he-he....”

Kata Handi, ia mendapatkan gambar sampul majalah yang dihebohkan itu dari teman yang mengambilnya dari internet. ”Kayaknya ngeledek deh. Kan sudah banyak majalah yang gambarnya seru-seru, didiemin aja. Lagi pula, ngapain lagi ngurusin soal begituan. Pemerintah dan DPR mestinya lebih ngurusin soal SUTET, busung lapar, penyakit, BBM. Hidup orang kayak saya ini makin susah....”

Handi terus bicara. Sebagian besar keluhan kesulitan hidup. Di luar urusan pro-kontra RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi, orang-orang seperti dia tampaknya menerjemahkan moralitas lebih sebagai moralitas para penguasa dan politisi untuk bertanggung jawab atas seluruh kondisi yang dihadapi sebagian besar warga masyarakat saat ini.

Dengan realitas hidup yang kian berat, bagi Nur Imam Subono, peneliti dan pengajar di FISIP UI, Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang sedang dibahas di DPR dapat dilihat sebagai upaya mengalihkan perhatian. Ketika banyak persoalan publik tak bisa diselesaikan, bahkan disangkali, yang muncul ke permukaan adalah judgement moralitas, dipersempit sebagai moralitas dan seksualitas perempuan. ”Persis zaman Victoria,” katanya.

”Bangsa ini sedang mengalami krisis moral. Orang tidak merasa bersalah melakukan korupsi, tidak merasa bersalah melakukan kejahatan, tidak merasa bersalah menyengsarakan hidup orang banyak, tidak merasa bersalah bermewah-mewah di tengah penderitaan. Malah bangga,” tegas Subono.

Upaya mengalihkan perhatian, menurut Subono, sudah dilakukan sejak lama. ”Soekarno menggunakan isu antikolonialisme, imperialisme, ganyang Malaysia ketika tak mampu menyelesaikan persoalan ekonomi di dalam negeri. Soeharto memakai isu komunisme untuk mengamankan kekuasaan Orde Baru. Sekarang yang dipakai moralitas dan seksualitas perempuan untuk memantapkan kekuasaan juga,” katanya.

Lebih luas

Bagi banyak aktivis, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi dilihat sebagai bagian dari kecenderungan yang lebih luas dari upaya-upaya penggunaan perundang-undangan formal untuk melakukan pembatasan terhadap tubuh, ruang gerak, dan seksualitas perempuan.

Dengan begitu, tidak terlalu mengada-ada kalau Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana meminta agar mencermati hubungan RUU itu dengan isi amandemen UU Kesehatan, dan UU lain, serta perda-perda syariah.

Pekan lalu dua aktivis perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman dari Flower Aceh dan Syarifah Rahmatillah dari Mitra Sejati Perempuan Indonesia (Mispi) menyatakan, pelembagaan syariah Islam di Aceh membuat ruang interpretasi tertutup karena definisi syariah sudah ditentukan oleh mereka yang berkuasa.

Akibatnya, ruang gerak, tubuh dan seksualitas perempuan merupakan subyek terdepan untuk direpresi atas nama ”moral”. ”Syariah Islam sebenarnya kan sudah ada di darah orang Aceh. Tapi begitu dilembagakan, partisipasi ditutup. Kita tak bisa lagi diskusi. Kebenaran sudah ditetapkan oleh satu pihak,” ujar Syarifah.

Aktivis Lies Marcoes-Natsir melihat RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi seperti konsesi politik. ”Seperti waktu Orde Baru menawarkan PP 10 sebagai jalan tengah,” ujar Lies. Ketika Orde Baru memutuskan untuk menyosialisasikan konsep keluarga harmonis dan menolak poligami dengan pengesahan UU Perkawinan, resistensi dari kelompok Islam sangat kuat.

”Pornografi tak mudah didefinisikan. Bagaimana kita menilai tayub? Apa itu porno? Bukankah ukurannya ada di kepala orang? Menurut saya, definisinya tak boleh didominasi satu pihak, apalagi diberlakukan sebagai kebenaran tunggal. Masyarakat kita sangat heterogen, biar mereka yang menyedot energi,” ujarnya.

Soal definisi memang menyedot energi dalam rapat-rapat umum dengar pendapat (RUDP) antara DPR dan masyarakat. Menurut Latifah dari Fraksi Partai Amanat Nasional di Komisi VIII, RUDP sudah mendengarkan pandangan dari 69 lembaga, dan masih dua RUDP untuk mendengarkan pendapat delapan lembaga lagi sebelum masuk ke pleno. ”Pandangan kelompok-kelompok masyarakat terhadap pornografi memang terbelah,” ujarnya.

Latifah mengakui, naskah akademis tidak didiskusikan secara detail ketika komisinya menyiapkan RUU tersebut. ”Waktu dicermati memang terlihat pencampuradukan antara seksualitas, erotisme, dan pornografi. Filosofinya tidak jelas. Yang dikhawatirkan dengan RUU ini adalah munculnya polisi moral, apalagi akan ada banyak perda mengacu ke situ,” ujarnya.

Menurut Latifah, RUU ini sudah disiapkan selama pemerintahan empat presiden. Acuannya tayangan televisi yang kian memprihatinkan. ”Menurut saya, memang harus ada aturan yang dapat mengurangi tindakan eksploitasi seks,” kata Latifah menegaskan.

Namun, apa pun aturan itu, heterogenitas budaya dalam masyarakat harus dipertimbangkan.


Pornografi, Siapa Berhak Membuat Definisi? - Sabtu, 04 Februari 2006

0 Comments: