Wednesday, January 31, 2007

Hasyim Muzadi

Minggu, 06 April 2003
KH Hasyim Muzadi
Tidak Mengeluh Karena Dicaci

Ahmad Hasyim Muzadi lahir di Tuban, 8 Agustus 1944. Anak kelima dari tujuh bersaudara pasangan Muzadi dan Rumiati itu, mengawali kegiatan organisasinya di Nahdlatul Ulama (PBNU) ranting Bululawang, Malang. Lulusan Ponpes Lasem Jateng ini meneruskan pendidikannya di IAIN Malang pada 1964. Pada tahun yang sama, dia mendapat kepercayaan sebagai ketua ranting NU setempat.
Pengasuh Ponpes Al Hikmah Malang itu, pernah menjadi ketua anak cabang GP Anshor Bululawang Malang, Ketua Cabang PMII, Ketua KAMI, Ketua Cabang GP Anshor, Ketua PCNU, dan Ketua DPC PPP di Malang. Kemudian aktif sebagai wakil Ketua GP Anshor Jatim, mulai 1983-1987. Selanjutnya, dia menjadi Ketua PW GP Anshor Jatim.

Pengalaman organisasinya, terus berlanjut hingga dia mendapat kepercayaan sebagai ketua PWNU Jatim, periode 1992-1999. Akhirnya dia terpilih sebagai Ketua PBNU untuk periode 1999-2004. Pada 1991, dia membentuk Ponpes Al-Hikmah. Tujuannya, untuk memajukan lulusan Ponpes tradisional NU yang kurang bisa beradaptasi dengan sistem sosial modern. Dalam ponpes diajarkan pengetahuan modern dan pengetahuan agama termasuk ilmu salafiah.

Dalam kesehariannya, ayah lima anak tersebut, selalu santai dengan busana tradisionalnya. Dengan baju koko dan sarung kotak-kotak pula, mantan santri Ponpes Gontor Ponorogo Jatim ini menerima wartawan Republika, Muhammad Nurcholis di ruang tamu kantor PBNU, Jl Kramat Raya 164 Jakarta belum lama ini.


Bagaimana awalnya Anda mendapat kepercayaan sebagai Ketua PBNU?
Pengalaman dan pendidikan. Keluarga saya berasal dari lingkungan yang memiliki tradisi dan kultur NU. Maka pertama kali masuk IAIN, orientasi saya langsung ke NU. Saat itu awalnya saya ingin memajukan sebagian besar masyarakat NU yang masih tertinggal dalam segala hal. NU harus dibangun. NU memiliki potensi-potensi yang kuat, yang besar, dengan basis kultural yang sangat kental. Oleh karena itu saya aktif dalam organisasi NU di Malang.
Kemudian saya diterima di lingkungan PBNU, baik secara struktural dan kultural. Pada 1991, saya mendirikan ponpes Al Hikmah di Malang. ada dua aspek yang bisa digarap, pertama, saya punya kesempatan untuk kaderisasi para mahasiswa yang berada di perguruan tinggi dan belum mendengar pendidikan agama. Sambil mereka kuliah mereka mendapat pendidikan ilmu agama dan sains.

Bukankah dalam tradisi NU, seorang pemimpin harus memiliki basis struktural dan kultural?
Ya, itu tadi, dengan terbentuknya pesantren, ada sayap kultural dan struktural (organisasinya). pemimpim yang bisa memimpin secara struktural belum tentu dengan sendirinya memimpin massanya di wilayah kultural. Kultur NU adalah kyai dan pesantren dengan subsistem budaya yang ada di dalamnya. Ini tidak bisa dimasuki dengan proses struktural semata. Dengan adanya pesantren, saya sudah dianggap 'orang'.

Apa sebelumnya tidak dianggap demikian?
Ya begitulah. Oleh para kyai-kyai NU, selama saya belum memiliki ponpes sendiri, selalu dipanggil le (nak-red). Namun setelah ada ponpes itu, orang-orang NU bersikap lain, dan lebih meng-'orang'-kan. Tradisi yang berkembang di lingkungan NU, masih cukup kuat.

Pernahkah Anda mengalami beragam kendala memimpin NU? Apa saja hambatan itu?
Cukup Banyak. Kendala pertama, besarnya massa NU. Kurang lebih 40-70 persen umat Islam adalah NU. Ini bisa terlihat ketika NU pernah menjadi partai tersendiri pada masa Orde Lama. Jumlah pasti belum ada, karena itu membutuhkan waktu dan biaya besar. Kesulitan kedua, heterogenitas NU. Massa NU berada di mana-mana, lintas golongan dan politik.
Ini harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka bisa merasa memiliki NU. Dan ini menuntut saya sebagai pemimpin NU untuk menjadikan organisasi sosial ini menjadi wahana titik temu warganya yang menyebar di mana-mana itu. Ada kecenderungan NU harus berada di luar politik. NU harus jadi pengayom. Kendala lainnya, pengaruh tarik-menarik kepentingan politik dari kiri dan kanan.

Apakah Anda tidak melihat pendidikan sebagian warga NU, masih rendah?
Harus saya akui, tingkat pendidikan NU merupakan masalah mendasar. Apalagi ini menyangkut masalah kelancaran komunikasi antara pemimpin dan massanya. Oleh karena itu saya tetap mengusahakan agar pendidikan dan komunikasi ini bisa berubah. Salah satunya melalui pembentukan media internet atau NU online.
Kader NU di pusat memberi pelatihan-pelatihan khusus di tingkat wilayah. Wilayah bisa menyumbangkan gagasan dan pemikirannya melalui sarana ini. Sehingga hubungan timbal-balik (komunikasi) dan menangani masalah keilmuan di tubuh NU bisa tercapai.
Salah satunya, misalnya dengan mengisi wacana agama, ekonomi, budaya, politik dan lainnya. Media ini bisa diakses oleh seluruh warga NU, sehingga dengan begitu, PBNU bisa mengendalikan pendidikan secara luas. Reorientasi potensi kekuatan itu harus ditingkatkan. Untuk jangka pendek, PBNU mesti memperbaiki komunikasi itu. Sementara jangka panjang kita bisa membuat pendidikan pascaponpes seperti di Al Hikmah Malang.

Apa yang melatari Anda membentuk Ponpes Al Hikmah itu?
Selama ini lulusan Ponpes NU, kurang bisa terserap ke dalam sistem masyarakat modern. Untuk itu perlu lembaga pendidikan khusus yang menjembatani, kesenjangan itu agar kemampuan dan pengetahuan yang mereka peroleh dari pondok pesantren bisa ditransfer dan dimanfaatkan di lingkungan sosial modern. Ini membutuhkan proses adaptasi dan penyesuaian. Maka keberadaaan Ponpes Al Hikmah yang saya bentuk, diharapkan bisa menjembatani kesenjangan alumni pendidikan NU dan lingkungan sosial itu. Dan kini, banyak lulusan Al Hikmah yang telah bekerja di instansi swasta dan negeri.
Alumni ponpes itu berbeda dengan intelektualitas muslim yang lulus dari pendidikan formal saja. Mereka mempelajari Islam melalui penalaran, dengan teori-teori agama. Islam bukan menjadi way of life. Lembaga pendidikan serupa akan dibangun di Depok. Ini diharapkan agar alumni UI bisa bergabung, begitu pula alumni pesantren di Jawa Barat.

Apa yang Anda lakukan agar sumber daya manusia NU bisa berkembang?
Banyak sekali. Namun, pada dasarnya upaya pembangunan SDM, harus didukung oleh sektor lain seperti ekonomi keuangan. Bagaimana komunitas NU menjadi komunitas produktif, bukan hanya pasar saja. Terutama prioritas pengembangan pada sektor prekebunan, pertanian, perikanan, dan industri kecil lain. Sayangnya pada saat desain baru itu dibuat, pada saat bersamaan ekonomi Indonesia terpuruk. Akibatnya konsep itu susah diterapkan. Tetapi sebisanya akan kita lakukan lagi.


Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, adalah seorang tokoh yang percaya bahwa NU mesti menjaga jarak dengan kekuasaan. Termasuk kepada mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Prinsip itu tak dimaksudkan untuk menentang Abdurrahman Wahid yang notabene cucu pendiri NU. Ia mengaku hanya ingin menyelamatkan NU dari campur tangan kepentingan politik sesaat.
Bagi Hasyim, NU mesti menjaga jarak dengan kekuasaan karena NU bukanlah organisasi politik. Karena itu, dia berusaha keras agar NU tidak terjebak pada upaya dukung mendukung partai atau pemimpin politik tertentu. NU harus tetap menjadi wadah semua warganya yang menyebar di beragam organisasi politik, pemerintahan, dan organisasi sosial lainnya.
Gara-gara sikapnya itu, ia pernah kena ancaman akan dilengserkan melalui Musyawarah Luar Biasa. ''Biarlah urusan politik itu, diwakili dan diwadahi melalui PKB. Nah, Gus Dur kan kini telah bergeser menjadi tokoh politik. Jadi, wajar kalau dia meminta dukungan politik dari NU.''
Hasyim memahami tarik-menarik kepentingan dalam tubuh NU, sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Ketua PBNU harus bisa menjaga diri dari semua kepentingan politik, baik PPP, PKB, Partai Golkar maupun PDIP. Dengan prinsip itu, Hasyim mengakui NU bisa lolos dari ancaman terjebak pada upaya dukung-mendukung kekuasaan politik.




Apa yang Anda lakukan agar NU tidak terjebak pada kepentingan politik tertentu?
Sebagaimana saya alami dulu. Saya harus konsisten dengan khittah NU, sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang mendukung pembangunan politik kebangsaan. Orientasi politik tidak untuk kepentingan parsial kepartaian, yang bersifat sesaat dan sepihak saja. Namun, diarahkan pada politik kebangsaan, moral, dan sistemik. Karena NU, sejak awal bagian dari negara bangsa ini.

Bukankah tarik-menarik itu tak terelakkan?
Memang tidak terelakkan. Dan saya memahami itu. Sistem di Indonesia kan, yang partai politik tidak punyai umat, sementara yang punya umat tidak punya legalitas politik. Nah, ketika partai-partai itu punya mau, mereka mencari sasaran di tubuh NU. Hal-hal itu, harus diperhatikan secara jeli. Pemimpin harus bisa memilah mana unsur politik dan yang tidak. Jika tidak, format politik kebangsaan yang seharusnya dipegang NU bisa terancam. Harus diakui, pada saat mendekati dan menjelang Pemilu saja, masalah itu mencuat. Tapi setelah Pemilu lewat, NU ditinggal... hahaha.. (sembari ketawa).

Bagaimana Anda melihat hubungan Islam dan Negara?
Islam muncul untuk kemaslahatan umat. Tidak bisa kalau kita menerapkan syariat Islam, dengan mengabaikan konteks sosial dan politik masyarakat setempat. Untuk itu kita perlu menjaga sistem atau metode yang menjamin Islam bisa hidup dan berkembang dalam negara. Memang ada keinginan sebagian umat, yang ingin formalisasi agama. Sebagian lainnya, memisahkan hubungan negara dan agama atau sekuler.
Hubungan keduanya, sama-sama tidak akan bersatu. Pengalaman membuktikan, upaya memformalisasi agama di Indonesia, selalu mengalami kekalahan. Sementara sekularisasi pemerintahan bisa menimbulkan kebobrokan bangsa. Oleh karena yang perlu terserap ke dalam negara adalah nilai-nilai yang terkandung dalam agama itu. Seperti nilai keadilan, kemanusiaan, ketertiban, dan lain-lain. Di bawah konsep negara itu, hidup sistem society. Kalau sudah ada sistem semacam ini, Indonesia bisa aman.

Apakah Anda setuju pemberlakuan syariat?
Kalau tingkat sosial pemberlakuan syariat, oke. Tapi kalau di tingkat government, jika dipaksakan justru kurang produktif. Ada fenomena menarik pemberlakuan syariat di Aceh. Secara perundangan, Aceh mempunyai hak penuh menerapkan syariat Islam itu baik di tingkat government maupun masyarakat. Namun, kenyataannya pemberlakuan hukum itu pun masih banyak menemui kendala. Terutama menyangkut kodefikisi hukum fikih ke hukum sosial.
Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk. Fikih mau jadi perda. Lalu bagaimana mengatur DPRD, yang di dalamnya ada PDIP, ormas Islam yang kualitas keislamannya berbeda, dan bagaimana dengan budaya masyarakat Aceh sendiri. Oleh karena itu penerapan itu tentu harus mempertimbangkan faktor kontekstual.

Lalu bagaimana Anda melihat pemberlakuan aturan itu, agar bisa dijalankan?
Ya tentu harus ada dukungan dari dalam, terutama dukungan pendidikan dan suasana syariat itu sendiri. Kalau cuma simbol-simbol saja akan kesulitan. Pemberlakuan syariat Islam di Aceh, pertama kali yang bisa dilakukan paling hanya kewajiban memakai jilbab. Itu pun tidak awet, karena polisi yang mengawasi aturan itu tidak ada. Lalu mahkamah syariat juga tidak ada infrastruktur yang mendukungnya. Jika itu mau diterapkan tentu harus ada hakim Islam, jaksa Islam, dan kondisi masyarakat yang semuanya Islami.
Oleh karenanya, perlu ada rumusan tertentu secara jelas mengenai di mana letaknya syariat itu di Indonesia. Dan ketentuan syariat apa saja yang harus terserap oleh negara. Pada tingkat undang-undang mungkin hanya bisa berlaku UU perkawinan, atau UU Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan UU syariat Islam di tingkat lokal lain. Tapi kalau dalam UUD, tentu tidak akan bisa. Karena UUD merupakan payung bagi seluruh bangsa. Jika dipaksakan maka agama lain ribut, bahkan di antara umat Islam sendiri bisa ribut.

Sikap moderasi anda merupakan cermin moderasi NU. Namun tentu ada sebagian dari warga NU yang masih menghendaki formalisasi agama ke dalam negara. Lalu bagaimana cara anda mengatasi masalah itu?
Saya kira NU tidak demikian. Selama ini NU adalah Islamnya domestik, Islam kultur. Sehingga lebih mudah diindonesiakan. NU tumbuh disini, semenjak walisongo dulu, ketika terjadi Islamisasi masyarakat Hindu dan Budha. Ini berbeda dengan masyarakat Islam di Timur Tengah. Di Indonesia satu bangsa dengan kultur banyak, sedang Timteng tidak. Selain itu, lahirnya Islam di Timteng dari kafir jahiliyah.
Di Indonesia telah ada kultur universal dari Hindu dan Budha yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, budi luhur, kemanausiaan, gotong royong, tepo seliro dan nilai-nilai universal lainnya. Kemudian nilai yang benar itu tidak dihilangkan. Namun, diarahkan ke ajaran monotheisme dengan tauhid dan ibadah. Oleh karenanya proses Islamisasi di Indonesia melalui akulturasi. Sedang di Timteng dengan perang.
Semangat dan paham semacam itu telah turun-temurun dari para wali songo ke kyai-kyai NU hingga kini. Sehingga bagi NU, hubungan negara dan agama di Indonesia pada dasarnya, sudah selesai. Namun, saya harus toleransi terhadap keyakinan Islam kelompok lain itu. Bagaimanapun tajamnya perbedaan pandangan, mereka adalah bagian dari Islam juga.

Bagaimana cara Anda menerapkan sikap toleransi itu?
Mungkin saat saya shalat jamaah di masjid Mabes Polri beberapa waktu lalu. Saat itu saya menjadi imam shalat, Ustad Ja'far --yang ditahan polisi karena hendak menegakkan syariat-- sebagai makmum. Begitu pula Kapolri, yang pada saat itu sebagai makmum saya. Lalu yang jadi pertanyaan, kalau sudah demikian, yang Muslim ini siapa? Dan tema-tema yang menjadi polemik itu, membentur siapa ?

Apa alasan Anda berani menentang KH Abdurrahman Wahid yang saat itu masih menjadi figur NU paling berpengaruh?
Bukan begitu. Hal pertama yang harus diketahui adalah bahwa Gus Dur itu bagian dari NU, bukan NU bagian dari Gus Dur. Jadi Gus Dur adalah fenomena tertentu dalam NU. Jika Gus Dur belum bersentuhan dengan kekuasaan, maka aman-aman saja. Karena ketika itu dia masih sebagai tokoh kultural. Tapi ketika Gus Dur menjadi presiden, dia telah menjadi tokoh politik.
Tapi, karena Gus Dur telanjur difigurkan oleh NU, maka posisi Ketua PBNU paling dilematis. Kalau tidak mendukung, dan tidak memenuhi emosi umat, akan salah, namun jika dipenuhi, ini bukan lagi fenomena agama, tapi sudah politik.
Akhirnya PBNU masih memiliki garis akomodasi. Yakni, bagaimana PBNU tetap melakukan kanalisasi terhadap gejolak NU, dengan tidak melarang aksi umat. Namun, pada satu titik ketika aksi itu mulai membahayakan NU secara organisasional, maka PBNU akan menyetop.
Karena kebijakan itu, PBNU dianggap kurang perhatian. Sementara oleh orang luar, PBNU dianggap terlalu politik. Tentu sebagai ketua PBNU, saya tetap melakukan klarifikasi mengenai duduk permasalahan itu. Selain itu kejatuhan memudahkan PBNU mengembalikan orientasi organisasi ini kepada relnya. Tentu masih ada benturan-benturan kecil dan resistensi dari sisa masa lalu itu. Tapi saya yakin pilihan keputusan politik saya akan diikuti orang banyak karena benar.
Sebenarnya antara saya dan Gus Dur tidak ada pertentangan. Masyarakat masih menilai lain. Saat itu Gus Dur memang punya hak untuk bicara politik, karena dia PKB. Sedangkan PBNU tidak boleh. Jadi kalau ada anggapan konflik, sebenarnya masalahnya terletak pada perbedaan wilayah perjuangan saja. Memang kelihatan ada benturan atau 'perpisahan', tapi kenyataannya tidak.

Bagaimana Anda menyikapi sikap emosional dari massa NU?
Ya itu memang risiko menjadi pemimpin. Saya tidak mengeluh karena dicaci maki atau dihujat.

Hobi Anda sekarang?
Pingpong, dan jalan-jalan.

Kalau Anda diusulkan jadi presiden?
(Hasyim tersenyum, tak langsung menjawab) Etikanya kan harus melalui organisasi. Selama ini secara organisatoris, saya belum penah menerima usulan seperti itu. Tentu saja, semua tergantung pada organisasi. Biar institusi yang menentukan semuanya.

Jika mendapat kepercayaan seperti itu apakah Anda bersedia?
Sebenarnya jawaban dari pertanyaan ini menyangkut masalah etika juga.

Bagaimana kalau Anda tak terpilih lagi sebagai Ketua PBNU 2004 nanti?
Yaa...ndak apa-apalah.. kalau tak terpilih. Itu kan hal yang biasa.

()

Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: