Wednesday, January 31, 2007

KH Hasyim Muzadi:

Hasyim Muzadi (Dok. GATRA/I Made Suarjana)NAHDLATUL Ulama (NU), sebagai ormas Islam terbesar, selama ini dicitrakan sebagai pemberi warna dominan wajah Islam Indonesia yang moderat. Bersama Muhammadiyah dan simpul arus utama muslim lainnya, NU menerima Indonesia sebagai model final hidup bernegara yang bhinneka.

Namun di tengah ingar bingar formalisasi syariat Islam belakangan ini, posisi NU dan Muhammadiyah dinilai condong ke "kanan". Tidak moderat lagi. Masihkah NU punya komitmen pada bingkai negara-bangsa? Berikut petikan wawancara Asrori S. Karni dari GATRA dengan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, Rabu, 19 April lalu, di Gedung PBNU, Jakarta Pusat.

Menurut survey, dukungan pada penegakan syariat Islam di atas 70%, dan terus menguat. Saat yang sama, peraturan perundangan (tingkat pusat maupun daerah) yang menyerap elemen Islam, baik eksplisit maupun implisit, makin marak. Kampanye sistem khilafah juga terus gencar. Pro kontra merebak. Menguat kembali kekhawatiran, Indonesia segera menjadi negara Islam. Apakah NU masih punya komitmen pada Indonesia sebagai nation-state?
Nanti akhir Juli 2006, kita akan menyelengarakan Munas (Musyawarah Nasional) Alim Ulama dan Konbes (Konferensi Besar) NU. Kalau Munas untuk Syuriyah plus ulama-ulama yang muktabar (punya legitimasi luas), Konbes untuk Tanfidziyah. Insya Allah di situ akan kita tegaskan kembali sikap NU terhadap NKRI dengan segala spektrumnya. Baik spektrum ideologi negara, sistem hukum, sistem teritorial, sistem budaya, dan sebagainya. Sekalipun sudah pernah kita tegaskan pada tahun 1984, 22 tahun lalu, bahwa NKRI, Pancasila, dan UUD 45, merupakan upaya final umat Islam Indonesia. Ini perlu ditegaskan kembali justru karena tarik menarik itu tadi.

Sikap NU pada penerapan Syariat Islam?
Syariat Islam sekarang diterima dengan apriori. Pro dan kontra. Satu sisi, ada tuntutan, syariat harus dilakukan secara tekstual. Di lain pihak, ada orang yang mendengar kata syariat saja sudah ngeri. Istilah Arabnya, ada ifrad (berlebihan mengamalkan beragama) dan tafrid (meremehkan, longgar, dan cuek dalam beragama).

Menurut NU, masalahnya bukan pro kontra syariat. Tapi bagaimana pola metodologis pengembangan syariat dalam NKRI. Syariat tidak boleh dihadapkan dengan negara. NU sudah punya polanya. Bahwa tathbiq al-syariat (aplikasi syariat) secara tekstual dilakukan dalam civil society, tidak dalam nation-state. Aplikasi tekstual itu untuk jamaah NU, untuk jamaah Islam sendiri. Dia harus taat beribadah, taat berzakat, dan sebagainya. Sehingga firman Allah, wa man lam yahkum bima anzalallahu fa ulaika humul kafirun, (barang siapa tidak menghukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu orang kafir), ungkapan man (barang siapa) di sini maksudnya "orang", bukan "institusi".

Bolehkah regulasi negara menyerap syariat Islam?
Untuk level nation-state, untuk pemerintahan bangsa dan negara, yang masuk dari agama itu nilai luhurnya saja. Hanya maqashid al-tasyri' (maksud ditetapkannya syariat) dan hikmat al-tasyri' (hikmah ditetapkannya syariat) atu esensi syariat saja yang masuk. Kemudian prosesnya, pengemasanya, dan formatnya, melalui proses demokrasi, proses keindonesiaan, dan proses kebhinekaantunggalikaan. Sehinga tak ada lagi konflik antara agama dan negara karena masing-masing ada proporsinya.

Misalnya, kita sekarang membuat UU Anti-Korupsi. Tidak perlu disebut "UU Islam Anti-korupsi". Karena anti-korupsi itu sudah islami. Sehingga yang masuk dalam UU ini bukan teksnya. Karena kalau teks yang masuk, NKRI ini akan rontok, akan retak. Padahal semua agama ingin anti-korupsi. Tapi ketika ditambah kata "Islam", menjadi tathbiq syariah lafdhan (penerapan syariat secara harfiah), dan ini bisa menjadikan negara retak. Padahal dengan tathbiq syariah maknan (implementasi syariat secana substantif), tak ada masalaah. Maka umat Islam harus kembali ke sini.

Pandangan NU pada kampanye khilafah?
Khilafah dalam arti apa? Kalau dalam arti Khulafaur Rasyidin yang pernah ada setelah Rasulullah, itu sudah tidak relevan lagi sekarang. Tapi kalau khilafah dimaksudkan sebagai pemerintahan yang demokratis, sesuai dengan proses rakyat, artinya, pemerintahan yang ada sekarang ini disebut sebagai khilafah, mungkin masih kita pertimbangkan.

Menurut pandangan NU, ketika Rasul wafat, ada dua hal yang tidak diputuskan Rasul. Pertama, siapa penggantinya, kedua, dengan proses apa pengganti diangkat. Sehingga Rasul yang wafat hari Senin, baru Rabu sore dimakamkan, karena menunggu keputusan musyawarah siapa penggantinya. Artinya, khilafah itu bukan perintah Rasul. Kalau bukan perintah, maka khilafah itu masalah ijtihadiyah (hasil pemikiran), bukan syar'i (ketetapan Tuhan dan/atau Nabi).

Penerapannya sesuai kondisi negara, kondisi bangsa, ruang, waktu, dan pemikiran. Sehingga tidak logis memaksakan khilafah dalam arti makna khilafah zaman Khulafaur Rasyidin. Nah, begini-begini ini yang membuat resah berbagai macam kelompok yang tidak mengerti duduk masalahnya.

Bagaimana pengamalan Islam yang relevan untuk konteks kekinian?
Umat Islam sebaiknya langsung menjadikan Islam sebagai agama yang produktif. Jangan lagi bertikai pada aspek simbolik, khilafah tidak khilafah, syariat atau tidak syariat. Ya sudah, agama Islam kita laksanakan secara aplikatif. Melahirkan persaudaraan, keadilan, dan kemakmuran. Sehingga syariat jangan hanya dipikirkan secara simbolik. Kita mengurus petani supaya makmur, itu syariat. Kita menginginkan Indonesia aman, itu syariat. Indonesia harus berkeadilan, juga syariat. Maqashid Tasyri, nilai esensi syariat yang harus segera wujud. Jangan digeser ke permasalahan simbolik yang mengakibatkan perpecahan, sehingga Islam tidak produktif.

Anda menyerukan implementasi syariat secara maknawi, bukan harfiah. Apakah Anda menempatkan RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi (APP) sebagai contoh implementasi syariat secara maknawi. Ternyata menuai penolakan keras juga?
Khusus RUU APP, PBNU sudah punya pendapat secara organisatoris. Bukan pendapat ketua umumnya saja. Kita memerlukan RUU APP disahkan menjadi UU dengan memperhatikan masukan serta kebhinekanan yang ada. Ini penting. Karena tanpa aturan, kita akan sulit mengerem tayangan dan penampilan yang mengeksploitasi pornografi dan seks melebihi dosisnya. Sehingga mengakibatkan dampak negatif terhadap budaya generasi muda yang hedonis sekarang ini. Meluasnya free sex juga mengakibakan penyakit. Sikap PBNU ini mewakili perasan orangtua, guru, pendidik, dan para kiai.

Di lain pihak, kebhinekaan kita tak bisa disamaratakan. Karena itu, harus ada exception dalam RUU Ini, untuk mewakili kebhinekaan adat, agama, atau budaya. Misalnya, yang karena agama, orang Bali bertelanjang dada. Kalau agamanya memang menyuruh begitu, kita harus tolerir. Begitu juga orang Papua pakai koteka. Tapi kalau pakai koteka di Pasar Baru (Jakarta), ini porno. Kalau mau telanjang ya di tempat telanjang. Jangan telanjang di Stasiun Gambir (Jakarta), misalnya.

Menyangkut kawasan pariwisata, ya dinyatakan saja bahwa daerah ini daerah wisata, sehingga seorang boleh berjemur di pasir dengan bikini. Tapi jangan berjemur di Stasiun Tanah Abang (Jakarta) pakai bikini. Ini semua harus ditata. Kalau sama sekali tidak ada rambu-rambu, maka yang diruyikan umumnya generasi muda.

Kenapa sekarang ada pro kontra begini kuat? Karena ada pro kontra kepentinagan. Pertama, pornografi dan pornoaksi ini sudah menjadi bagian penetrasi budaya global. Kedua, dia sudah berubah jadi industri. Jadi antara peneterasi dan industri ini saling memperkokoh. Memperkenalkan budaya yang nanti bisa membongkar sendi-sendi syariat sekaligus dapat duit, betapa nikmatnya. Ini skala besar. Maka umat Islam Indonesia jangan merasa pornografi sebagai masalah sederhana, ini masalah berat.

Karenanya pendekatan hukum boleh kita perkenalkan. Tapi pendekatan hukum saja belum cukup untuk melindungi budaya muslim. Harus ada gerakan kebudayaan bersama. Misalnya oleh NU dan Muhammadiyah, dimulai dari dirinya sendiri, keluarganya, dan anak-anaknya. Sebagai muslim sudah sopankah? Sebagai orang Indonesia, sopankah? Sebab kalau hanya gerakan hukum, dan hukum hukum tidak bisa mengangkat budaya, maka orang ekstrem akan memakai hukum untuk gerakan kekerasan.

RUU APP ini dinilai mengandung semangat Arabisasi dan Talibanisasi. Sejenis upaya terselubung penegakan syariat Islam. Tanggapan Anda?
Ah nggak bener lah. Saya kira itu sikap apriori. Saya yakin dia belum baca RUU-nya. Coba dibaca, apakah ada Arabisasi di situ. Dan Arabisasi itu bukan Islamisasi. Orang yang pakai pakaian hitam hanya kelihatan matanya, itu bukan Islam, itu budaya Arab sebelum Islam datang. Jadi tidak kait-mengait. Wong di RUU ini koteka saja ditolelir, tidak mungkin ada Arabisasi yang numpang di situ.

Cuma begini, gerakan-gerakan umat Islam yang mendorong RUU APP ini sebagian melalui nuansa kekerasan, sehingga menimbulkan kegelisahan pihak lain terhadap adanya Arabisasi lewat RUU ini. Karenanya perlu diproporsionalkan perdebatan mengenai RUU APP ini. Bahwa demoralisasi harus direm, bahwa ngeremnya harus dengan hukum dan gerakan kebudayaan, dan kebhinekaan diberi porsi secukupnya, sepanjang tidak menjurus pada demoralisasi.

Sehingga pikiran NU akomodatif. Ada keseimbangan antara moral dan kebhinekaan. Saya kira ndak benerlah kalau RUU APP ini tathbiq syariah, kalau tathbiq syariah kurang ketat, ndak seperti itu. Ini kekhawatiran berlebihan. Dan bisa jadi kekhawatiran itu dipicu oleh perusahaan-perusahaan pornografi.

Perda Pelacuran Kota Tangerang, juga dikeluhkan berbagai kalangan, di antara alasannya karena mengandung spirit Islamisasi. Tanggapan Anda?
Sebenarnya pelacuran itu menurut KUHP kan tidak boleh. Kalau polisi beneran, tanpa Perda pun harus ditangkap. Kalau ada pelacuran dan perjudian, polisi dengan KUHP saja bisa nangkap. Cuma masalahnya kok nggak nagkep, lalu orang terpicu untuk membuat Perda. jadi sebenarnya sudah ada aturannya, tapi belum dijalankan, lalu dibilang tak ada aturan. Teman-teman di DPRD harus memahami konteks hukum nasional. Dan bahwa penerapan syariah secara harfiah bisa menimbulkan disintegrasi.

Apakah perlu pembuatan Perda yang mengadopsi Syariat Islam untuk menjaga "ketertiban"?
Itu saya kira tidak perlu. Masing-masing Perda cukup mendorong polisi agar menegakkan KUHP dengan benar. Tidak perlu Perda karena sudah ada KUHP.

Bagaimana dengan Perda tentang syarat Baca Qur'an untuk rekrutmen PNS atau mau jadi pengantin, Perda Busana Islami, dan sejenisnya?
Ya ndak usahlah. Itu semua nanti akan mengganggu sistem hukum Indonesia. Kalau ada persyaratan baca Qur'an, seperti itu, tak usah masuk Perda, cukup ketentuan teknis saja. Pihak teman-teman muslim sendiri sebaiknya memilih tathbiq syariat ini secara maknawi, tata hukum Islam secara tata nilai tidak secara tekstual.

Ada indikasi Perda islami ini sekadar komiditas politik untuk kepentingan Pilkada.
Ada juga. Itu kan pikiran lokal. Kita tidak boleh melakukan hal parsial dan temporal yang kemudian tidak menyatu dengan sistem nasional. Ini juga dipicu sistem otonomi daerah yang memberikan kelonggaran. Kalau tidak dikontekskan dengan hukum nasional, negara kita ini negara kesatuan atau negara federal? Kalau negara federal sekalian ditetapkan, sehingga sistem hukumnya sendiri-sendiri. Tapi itu berbahaya menurut saya untuk integritas nasional.

Bisakah kampanye khilafah dinilai subversi karena bermisi mengubah bentuk negara?
Seandaninya itu terjadi zaman Orde baru, bisa. Tapi kalau zaman reformasi mesti harus diurus secara hukum, itu menyalahi atau tidak. Saya melihatnya dari segi strategi pengembangan Islam di Indonesia. Saya melihatnya, cara-cara seperti itu, berhasilnya belum tentu, tapi eksesnya sudah banyak.

Ada penilaian PBNU sekarang lebih ke "kanan", lebih dekat dengan pandangan Islam "garis keras". Tanggapan Anda?
Itu ndak betul. Bukan PBNU bergeser di kanan, tapi sudah kelamaan nongkrong di kiri. Saya ingin menggeser ke tengah. Ketika digeser ke tengah, kan terasa ke kanan. Selama ini NU salaman saja ndak pernah sama sesama muslim yang dianggap garis keras, nyapa saja tak pernah. Sudah berada pada komunitas Kristen, nasionalis, dan lintas agama, apa salahnya kalau suatu ketika saya juga ingin tahu cara berpikir kelompok Islam garis keras itu. Maka saya ketemu mereka. Ketemu kan bukan berati sama. Saya tidak setuju dengan gerakan kanan yang keras, sama tidak setujunya dengan gerakan kiri yang keras. Baru ke tengah aja sudah dibilang ke kanan. Itu kan kiri keras.

Jadi peran saya adalah bagaimana meletakkan NU pada titik tengah elemen bangsa. Bagaimanapun mereka yang garis keras itu juga umat Islam. Kita tidak bisa menganggap mereka tidak Islam. Kita tidak bisa mengisolasi diri atau mengisolasi mereka. Kita tetap bersilaturahmi dalam konteks pemikiran yang mungkin berbeda. Tapi ini menjadi titik awal untuk melakukan kesamaan persepsi pelan-pelan. Sementara hubungan kita dengan Barat tidak perlu jelek. Kita bukan anti-Barat, kita hanya anti-ketidakadilan, anti-hegemoni, anti-serangan pada yang lemah, bukan anti-Barat.

Kemarin saya ke Iran, nanti sore Dubes Amerika Serikat ke sini. Di sini akan kita letakkan PBNU. Tentu yang sudah berpihak keberatan. Baik yang berpihak ke kiri maupun ke kanan. Keberatan itu cukup saya dengar dan saya mengerti, tetapi saya sudah bertekad NU harus menjadi titik temu elemen-elemen bangsa dan titik temu elemen-elemen Islam. Titik temu bukan berarti sama dan sebangun. Tetapi harus ada di Indonesia dan dan di dunia Islam sebuah organisasi yang bisa bicara ke manapun, dan itu NU.

Dengan mendekati kalangan garis keras, Apakah NU masih mengakomodasi pikiran-pikiran liberal di kalangan anak mudanya?
Kita tetap mengakomodir seluruh pemikiran. Akomodasi nanti akan kita pilah, mana yang merupakan pemikiran dan mana yang jual beli pikiran. Yang pemikiran pasti kita akomodir. Karena tidak mungkin tata laksana sosial Islam ini kaku seperti masa lalu, karena perkembangan teknologi, sosial, dan sebagainya. Maka harus ada tashwiyah (pemurnian) dan tanmiyah (pengembangan). Bagiamana pemurnian agama supaya tidak melenceng dan bagaimana pengembangan agama supaya tidak ketinggalan. Dua-duanya harus relevan.

Tapi kalau kita mengambil posisi di luar Islam kemudian marah-marah pada Islam, kan lain Mas. Ini masalahnya. Bukan tidak ada akomodasi. Kalau mulai yang disalahkan Islamnya, Qur'annya, Nabi Muhammadnya, kan lain Mas. Ini kategori jual beli pikiran tadi. Maksud kita pemikiran di dalam Islam yang kita kembangkan, bukan kita mengambil posisi di luar Islam kemudian memarahi Islam. Berarti kita kan berada di atas Islam.

Nah, sementara, di sisi lain, teman-teman yang memperjuangkan tathbiq syariah dengan nuansa kekerasan, menurut saya kelewat kasar, tidak substantif. Mereka tidak bergerak di bidang pendidikan, tidak membuat masjid, tidak bergerak di bidang dakwah, kegiatannya cuma mempersoalkan konstitusi sebuah negara. Sehingga kelompok ini mengalami kesulitan di banyak sekali negara. Di Inggris ada masjid yang ditutup karena dipakai khutbah untuk mempersoalkan konstitusi Inggris. Begitu juga di Belanda dan Australia. Sehinga masalah ini bukan masalah syariah tapi soal strategi dakwah.

NU punya pengurus cabang istimewa di seluruh dunia. Mereka sudah kita berikan motivasi untuk melakukan gerakan moderasi Islam dan modernisasi. Tetapi dalam bidang pemikiran, bukan jual beli pikiran. Insya Allah pada Munas yang akan datang, kita undang mereka, berbicara bagaimana cara membawa Islam dengan cara modern, bagaimana membawa Islam di negeri minoritas muslim, seperti Thailand, karena kalau ada kesalahan metodologis dan kesalahan strategis, yang dirugikan umat Islam juga.

Anda yakin arus utama umat Islam Indonesia masih yakin dengan bentuk negara nation-state, bukan negara agama?
Kalau dibiarkan bisa berbahaya. Sekartang harus segera ada pencerahan. Susahnya, pemerintah tidak cukup punya alat sistemik dan alat instrumentalik untuk melakukan tugas itu, maka fungsi NU menjadi ditunggu. Nah NU sendiri harus memulai dari dirinya. Dia harus kembali pada ahlussunnah wal jamaah yang murni dan berkembang dalam konteks wawasan kebangsaan dan wawasan global sekaligus. Harus diberesi dulu NU-nya, baru mengadakan pencerahan ke luar.

Apa yang perlu diserukan pada kalangan Islam garis keras?
Kita harus mengatakan, sepanjang sejarah Indonesia, cara yang Anda pakai, dengan cara penerapan syariah secara harfiah, belum pernah membuahkan hasil. Ini sudah dilakukan sejak zaman konstituante.

Apa pesan buat kaum minoritas yang khawatir pada Islamisasi negara?
Kita katakan bahwa kalau Islam yang naik dalam bentuk tata nilai pasti sama dan sebangun dengan agama yang lain. Kalau mau membuat UU, yang masuk nilai Islam saja bersama nilai agama lain yang bersifat universal, dikemas dalam proses demokrasi kebangsaan dan sistem keindonesiaan.

Menurut Survey LSI, agenda keagamaan NU paling banyak didukung. Tapi mayoritas responden (di atas 70%) mendukung penegakan syariah. Padahal NU tidak memiliki agenda penegakan syariah secara tejstual. Bagaimana bisa terjadi?

Karena tidak dijelaskan metode penerapan syariat Islam seperti apa yang ditanyakan. Namanya orang Islam kan inginnya Islam jalan. Kalau nggak begitu, Islamnya kan nggak normal. Tapi yang penting bagaimana penerapannya tidak membongkar negara bangsa kita. Masak ada orang Islam yang dibilang syariat Islam jalan nggak seneng, bodoh banget dia, tetapi masalahnya bagaimana metodologinya, setategi kebangsaannya. Wong zaman Rasul saja ada mitsaqul (Piagam) Madinah , ada jaminan bagi non muslim untuk menjalankan agamanya tanpa mengganggu agama Islam. Itu oleh Rasul dibuat aturan namanya Mitsaqul Madinah.

[Laporan Utama, Gatra Edisi 25 Beredar Senin, 1 Mei 2006]

Gatra.Com

0 Comments: