Wednesday, January 31, 2007

Demi Keutuhan Bangsa

Selasa, 11 Juli 2006

Ahmad Syafii Maarif

Ternyata apa yang dikenal dengan konsep integrasi nasional masih labil. Proses nation and character building sama sekali jauh dari selesai. Kita semua, terutama para pemimpin formal, sejak proklamasi telah lengah dan lalai dalam merawat dan memelihara rasa kekitaan anak bangsa ini karena berasumsi bahwa Indonesia adalah sebuah bangsa yang sudah mapan, kokoh, dan pasti tahan banting. Perkiraan ini jelas ahistoris, tidak berpijak atas fakta sejarah.

Mengapa? Alasannya sangat gamblang. Indonesia sebagai bangsa, bukan kumpulan suku bangsa, baru muncul awal 1920-an. Sebab itu, pendapat yang mengatakan bahwa Indonesia sudah muncul sejak zaman Kerajaan Kutai yang Hindu awal abad ke-5 atau sejak kerajaan maritim Sriwijaya yang Budis akhir abad ke-7, jelas mengada-ada. Tetapi, bahwa bekas kedua kerajaan itu kemudian menjadi bagian Indonesia modern, sepenuhnya didukung fakta sejarah.

Sebagai bangsa muda, kita harus ekstra hati-hati merawat Indonesia ini. Kecerobohan sentralistik selama empat dasawarsa yang lalu jangan diulang lagi pada masa depan, sebab risikonya adalah bahwa doktrin bhinneka tunggal ika bisa berantakan, dan bangsa muda ini dapat berkeping-keping, sesuatu yang harus dicegah. Kegagalan kita dalam upaya pencegahan proses disintegrasi ini pastilah akan berujung dengan malapetaka: musnahnya Indonesia dari peta sejarah. Suatu tragedi bukan, jika itu terjadi?

Sebab itu, pendekatan yang serba politik-legalistik dalam memperjuangkan suatu kehendak atau aspirasi politik hendaklah mempertimbangkan kondisi bangsa yang masih muda dan rentan ini. Keinginanan untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perda, mengapa tidak diintegrasikan saja dalam perda biasa, tidak dalam format Perda Syariah yang dapat melemahkan pilar-pilar integrasi masyarakat dan bangsa, dan ini berbahaya sekali. Bukankah perjuangan antimaksiat pada hakikatnya adalah perjuangan semua golongan? Dan itu semua dapat dilakukan di bawah payung Pancasila, khususnya sila pertama.

Selain itu, perlu pula dipertimbangkan kenyataan yang berlaku selama ini. Berapa banyak undang-undang yang bertujuan melawan maksiat tetapi kandas dalam proses eksekusinya karena sebagian aparat penegak hukum merupakan bagian dari dunia gelap itu. Sebutlah misalnya masalah perjudian dan pelacuran. Sudah menjadi rahasia umum di mana-mana bahwa tempat-tempat maksiat itu pasti ada yang melindungi. Lingkaran setan semacam inilah yang harus dikaji betul secara sosiologis dengan kepala dingin melalui pemikiran dan pertimbangan yang matang. Cara-cara emosional, demo dengan teriakan 'Allahu Akbar' segala, apalagi ditunggangi oleh kepentingan politik jangka pendek, pastilah akan bermuara pada kegagalan yang melelahkan.

Ujungnya Perda Syariah akan menjadi bumerang. Jika kenyataan ini berlaku, dari sisi dakwah, sungguh merupakan malapetaka. Orang akan mencibir: ternyata produk yang serba syariah itu tidak membuahkan kenyamanan dan ketenteraman. Masalah ini jauh dari sederhana. Maka, otak-otak sederhana harus mau bertanya kepada ahl al-dzikr (para pakar) dari berbagai latar keilmuan melalui pendekatan interdisiplin. Tengoklah ia dari berbagai sudut pandang. Libatkan para pakar yang berkualitas dari UIN/IAIN di samping pakar dari perguruan tinggi umum. Hendaklah disadari benar bahwa proyek legalisasi syariah adalah sesuatu yang sangat serius. Saya tidak mau menyaksikan sebuah Islam yang gagal memperbaiki akhlak bangsa yang sedang rapuh ini, gara-gara kedunguan kita.

Secara umum, bukankah isi syariah yang diwarisi sekarang ini sebagian besar adalah hasil ijtihad abad pertengahan yang pasti terikat dengan ruang dan waktu? Bukankah kegagalan proyek negara Islam Pakistan yang sarat dengan korupsi itu adalah karena kegagalan ulama konservatif untuk berurusan dengan perkembangan zaman yang bergulir tanpa henti? Mereka mengharamkan kaum perempuan jadi pemimpin, sedangkan kaum lelakinya juga tidak becus mendaratkan pesan Alquran berupa rahmat bagi seluruh alam pada proyek negara Islam yang semula didukung oleh seluruh energi bangsa baru itu.

Dalam perspektif di atas, adalah sikap gegabah yang sia-sia bila orang dengan gampang menuduh orang lain sekuler jika tidak mendukung gagasan negara Islam, seperti yang kita alami tahun 1950-an. Pengalaman Indonesia menjelang dan pascaproklamasi tentang masalah dasar negara cukup kaya untuk kita buka kembali. Janganlah energi bangsa yang sudah hampir habis terkuras ini digunakan dengan serampangan, semata-mata karena kebahlulan kita dalam membaca masyarakat Indonesia yang plural, heterogen, dan rentan ini. "Maka, ambillah pelajaran (secara sunguh-sungguh), wahai kamu yang diberi penglihatan tajam," seru Alquran dalam surat al-Hasyr (59): 2.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: