Wednesday, January 31, 2007

Hukum Syariah dalam Masyarakat yang Bineka - Rabu, 16 Agustus 2006

Hukum Syariah dalam Masyarakat yang Bineka

Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih

Sejak awal abad ini posisi Islam di antara bangsa-bangsa di dunia terus-menerus diwacanakan. Di dalam negeri sendiri, perkembangan otonomi daerah akhir-akhir ini yang melahirkan berbagai peraturan daerah yang diklaim mengambil inspirasinya dari ajaran Islam juga menjadi wacana.

Dalam pandangan Barat, dua hal yang menjadi perhatian adalah syariah dan jihad. Jihad menjadi perhatian karena kerap dimunculkan sebagai perang suci yang melibatkan kekerasan—meskipun dalam arti lebih luas jihad berarti berjuang di jalan Allah yang berarti tidak semata-mata berupa kekerasan—sementara syariah karena aturan hukum yang akan diterapkan di negara Islam adalah seperti yang diberlakukan di Arab Saudi atau oleh Taliban.

Pandangan seperti di atas setidak-tidaknya muncul di Belanda setelah muncul ketegangan antara imigran Muslim dan masyarakat setempat yang sudah terbiasa memisahkan antara negara dan agama, pada akhir 1990-an. Pemicunya politisi Belanda, Pim Fortuyn, yang mendapat dukungan luas masyarakat untuk menjadi calon perdana menteri sebelum dibunuh Mei 2002 oleh orang dari kelompok kiri yang membawa isu lingkungan. Peristiwa 9/11 pada tahun 2001 memperbesar ketegangan dan polarisasi di masyarakat Belanda.

Situasi di dalam negeri itulah yang menurut Direktur Van Vollenhoven Institute for Law, Governance and Development, Universitas Leiden, Belanda, Prof Dr Jan Michiel Otto, yang melatari lembaga independen beranggotakan para ilmuwan di bawah Perdana Menteri Belanda, Wetenschappelijke voor het Regeringsbeleid (Scientific Council for State Policy), melakukan penelitian untuk menguji teori Samuel Huntington pada tahun 1990-an tentang clash of civilization antara peradaban Islam dan Barat.

Sebagian hasil penelitian terhadap hukum di 12 negara Muslim yang sudah dibukukan dalam bahasa Belanda dan akan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris tahun 2007 dipresentasikan dalam Konferensi Internasional tentang Pluralisme Hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Depok beberapa waktu lalu.

Kajian terutama difokuskan pada hubungan antara hukum syariah dan hukum nasional di negara-negara Muslim dan memetakan pengalaman serta peluang untuk membangun sistem yang menjadikan hukum nasional sebagai dasar aturan nasional.

Seperti telah diduga, kajian terhadap 12 negara dengan mayoritas penduduk (setidaknya 55 persen) beragama Islam memperlihatkan sebuah nuansa dalam penerapan syariah dan bahwa masing-masing negara memiliki hukum nasionalnya sendiri sesuai dengan perkembangan ideologi tiap negara-bangsa (lihat tabel).

Ketegangan

Menurut Prof Otto dalam percakapan terpisah di luar konferensi, terdapat empat area hukum di mana ketegangan antara hukum syariah dan hukum nasional terjadi, yaitu menyangkut konstitusi (misalnya, sistem hukum mana yang digunakan, syariah dan hak asasi, apakah demokrasi parlementer bertentangan dengan syariah, kekuasaan negara, dan institusi lain), hukum keluarga (poligami, cerai yang diajukan istri, hak waris perempuan, dan kepatuhan istri pada suami), hukum pidana, dan hukum yang menyangkut ekonomi (larangan terhadap bunga yang dianggap riba dan zakat).

Dengan kajian pada empat area di atas di 12 negara, menurut Prof Otto ada kesamaan yang mencolok, yaitu sepanjang sejarah perkembangan Islam, ketegangan (tension) terus terjadi dengan sistem-sistem normatif yang sudah ada. Ketegangan ini dapat berujung pada perebutan pengaruh yang terus- menerus, tetapi juga dapat berdamai dan saling mempertukarkan ide.

Ketegangan antara hukum adat dan syariah masih terus berlangsung saat ini. Seorang peneliti, Nadjma Yassari, yang baru kembali dari penelitian di Afganistan, menurut Prof Otto, menemukan, untuk perempuan pedesaan Afganistan, hukum adat setempat memperlakukan perempuan jauh amat buruk daripada interpretasi syariah paling konservatif sekalipun.

Ketegangan yang lain terjadi antara syariah klasik yang diinterpretasi para ulama dengan hukum dari raja/sultan pada masa awal berdirinya kerajaan/negara Muslim. Para raja selalu memiliki kekuasaan (siyasa) membuat hukum (kanun) untuk kepentingan masyarakat (maslahat). Dualisme hukum itu masih tampak saat ini di dalam konstitusi kontemporer, dan tidak jarang raja dan negara mengharapkan dukungan ulama konservatif untuk merestui pemerintahan mereka.

Bentuk ketegangan ketiga adalah antara kelompok puritan dan pemimpin negara yang manifestasi pertamanya muncul pada masa pemerintahan Bani Umayah. Bentuk ketegangan ini masih terus terjadi hingga kini.

Di luar negara, ketegangan terjadi bersamaan dengan meluasnya kolonialisme negara-negara Eropa dan sejak tahun 1800 pengaruh kolonial terhadap hukum di Asia dan Afrika terus meningkat. Pemerintah kolonial mengakui hukum yang berdasar agama dan hukum adat meskipun tetap dalam bingkai hukum Barat. Hal ini kembali menimbulkan dualisme hukum.

Kejatuhan pada tahun 1920 Kekaisaran Ottoman yang menguasai hampir seluruh Timur Tengah memunculkan negara-negara baru. Syariah lalu mengalami ketegangan ketika berhubungan dengan hukum nasional yang diciptakan pemimpin politik negara yang baru terbentuk itu. Kecuali Arab Saudi, negara-negara baru itu mencoba mentransformasi hukum mereka menjadi hukum modern, sekuler, dan berdimensi sosialis. Tetapi, proses liberalisasi dan demokratisasi yang mulai terjadi sejak 1970-an sebagai reaksi atas kegagalan sosialisme yang represif, sentralisasi, dan pemerintah yang dominan, memberi ruang untuk liberalisme ekonomi dan politik, tradisi, serta syariah, dan perebutan posisi syariah di tingkat nasional mendapat dimensi internasional.

Indonesia

Kumpulan dari penelitian ini, menurut Prof Otto, tidak membuktikan tesis Huntington, yaitu adanya perluasan cepat hukum syariah yang ekstrem dalam 20 tahun terakhir ke dalam hukum nasional di Negara-negara Muslim. Menurut penelitian ini, klimaks masuknya syariah pada hukum nasional terjadi pada tahun 1972-1985, dan sesudahnya hal itu tidak lagi terjadi.

Contoh di Mesir, misalnya, pada tahun 2000 diberlakukan hukum keluarga yang lebih progresif, yaitu diperluasnya memungkinkan perceraian (khul) oleh perempuan. Di Iran, pada tahun 1928 poligami dilarang dan setelah Revolusi Islam (1979) Khomeini pada tahun 1988 mengeluarkan fatwa bahwa konsep maslahat yang mendahulukan kepentingan publik memungkinkan negara atau partai yang berkuasa membuat aturan yang lebih berwenang daripada peraturan lain, termasuk syariah. Di Pakistan, pada tahun 1981 mahkamah syariah federal melarang menghukum dengan melempar batu, dan pada tahun 2000 mahkamah yang sama menetapkan pelarangan syariah atas bunga tidak dapat menghilangkan kewajiban kontrak dan harus dipenuhi.

Melihat pengalaman dari berbagai masyarakat, termasuk penelitian yang dilakukan oleh para peneliti antropologi hukum di Aceh, Mingkabau, Maroko, atau Afrika Selatan, di dalam masyarakat kenyataannya yang terjadi adalah pluralisme hukum (polinormativisme).

Praktik hukum sehari-hari di masyarakat yang sedang berubah, termasuk di negara-negara Muslim, umumnya selalu dibentuk oleh elite politik yang pragmatis dan mayoritas masyarakat basis yang tidak bersuara yang juga pragmatis. Keinginan menerapkan hukum syariah di negara-negara Muslim hanya muncul ketika ada ketidakpuasan terhadap keadaan sosial-ekonomi, serta pemerintahan beserta ideologi, hukum, dan praktik yang dijalankan negara. Saat ini, situasi seperti itulah yang terjadi, ditambah solidaritas pada masyarakat Muslim yang menjadi korban dari Barat atau militer Barat seperti yang terjadi di Afganistan, Irak, Palestina, yang terakhir antara Israel dan masyarakat sipil Lebanon.

Mengenai situasi di Indonesia, terutama dengan munculnya perda-perda bernuansa syariah setahun terakhir, Prof Otto mengatakan, memang penelitian harus terus dilakukan. Tetapi, sepanjang perda itu melarang perjudian, pelacuran, dan minuman keras, sebetulnya itu tidak ada bedanya dari penerapan apa yang dilarang oleh KUHP.

Karena itu, membuat kajian yang ilmiah, komprehensif, dan sistematis merupakan tantangan bagi para ilmuwan hukum, antropologi, dan sosial Indonesia untuk memaknai perubahan yang terjadi setelah otonomi daerah dan globalisasi, untuk memberi arah perkembangan bangsa yang seperti terombang-ambing saat ini.


Hukum Syariah dalam Masyarakat yang Bineka - Rabu, 16 Agustus 2006

0 Comments: