Wednesday, January 31, 2007

Syariat Islam No, Syariat Islam Yes


Syariat Islam. Dua kata yang selalu mengundang kontroversi kebangsaan. Kontroversi yang tak kunjung usai. Di tahun 1945, syariat Islam gugur satu hari setelah proklamasi kemerdekaan. Di kurun 1956-1959, Konstituante berdebat superhangat --nyaris deadlock-- berkait dengan eksistensi syariat Islam dalam konstitusi. Dalam reformasi konstitusi 1999-2002, MPR baru mampu bersepakat untuk tidak memasukkan tujuh kata Piagam Jakarta di detik-detik akhir proses perubahan UUD 1945.

Dari tiga momen pembuatan hukum dasar bernegara tersebut, tertoreh terang benderang bahwa syariat Islam tidak diformalkan menjadi aturan konstitusi. Periode 1999-2002 bahkan mencatat, dukungan sosio-politik masuknya tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam konstitusi jauh menurun dibandingkan dengan tahun 1945 dan 1956-1959. Namun itu bukan berarti syariat Islam tidak menjadi bagian hukum nasional. Tengoklah Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang tidak sedikit mengadopsi nilai-nilai hukum Islam. "Undang-undangisasi" syariat Islam semakin marak di akhir 1980-an dan era 1990-an.

Di antara undang-undang yang bernuansa syariat Islam adalah UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU Nomor 17 Tahun 1999 tentang Haji, dan UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang Zakat. Di samping itu, ada pula UU tentang sistem perbankan yang membuka pintu bagi lahirnya bank syariah. Di kurun terakhir, meski tidak berkait langsung dengan syariat Islam, polemik muncul dalam pengesahan UU tentang Sistem Pendidikan Nasional serta RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi.

Sebagai pamungkas dari "undang-undangisasi" syariat Islam adalah UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Aceh. Inilah aturan hukum sekaligus pintu pembuka utama bagi diberlakukannya syariat Islam di salah satu provinsi di Bumi Pertiwi: Serambi Mekkah Aceh.

Tidak diterima di tingkat konstitusi, formalisasi syariat Islam merambah ke level undang-undang. Era mutakhir, berpindah pula ke tingkat peraturan daerah. Perdaisasi syariat Islam menemukan stimulan dalam atmosfer desentralisasi serta lahirnya penerapan syariat Islam di Aceh.

Dari sisi ketatanegaraan, perda bernuansa syariat amatlah problematik. Perda adalah produk hukum yang berada jauh di bawah konstitusi. Padahal, semangat konstitusi nyata-tegas menolak masuknya formalisasi syariat Islam. Artinya, perdaisasi syariat Islam melanggar prinsip hukum dasar: aturan lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan lebih tinggi (lex superiori derogat legi inferiori).

Tidak hanya bertentangan dengan gentlemen agreement di konstitusi, perdaisasi syariat Islam juga melanggar UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Bahwa masalah agama adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan otoritas pemerintahan daerah. Maknanya, agama bukanlah "materi muatan" perda, melainkan lebih tepat menjadi materi muatan UUD atau minimal materi muatan UU.

Dalih bahwa perda bernuansa syariat dikeluarkan melalui proses legislasi yang demokratis tidaklah bijak. Begitu pula argumen bahwa itu sejalan dengan upaya "menampung kondisi khusus daerah" (Pasal 12 UU Nomor 10 Tahun 2004) tidaklah tepat. Bagaimanapun, legislasi di daerah tidak boleh bertabrakan dengan semangat dasar konstitusi, yang tidak memberi ruang bagi formalisasi syariat Islam. Apalagi, proses legislasi di daerah --sebagaimana pula di tingkat pusat-- tidak jarang sarat dengan politisasi dan manipulasi. Di beberapa daerah, perdaisasi adalah topeng jualan politik menjelang pemilihan kepala daerah atau hanya hasil copy-paste dari perda di daerah lain.

Menyikapi problematika formalisasi syariat Islam, ada tiga solusi yang dapat dipertimbangkan: politis, yuridis, dan sosiologis. Langkah politik-hukum dilakukan melalui pendisiplinan kebijakan partai. Suara partai di tingkat nasional maupun lokal seharusnya seragam dalam bersikap. Menjadi aneh kalau di tingkat nasional formalisasi tertolak, tapi di tingkat lokal, partai yang sama justru menerima.

Selanjutnya, langkah yuridis terbagi dua: pertama, UU Nomor 32 Tahun 2004 membuka peluang executive review: penertiban perda oleh pemerintah melalui pembatalan dengan peraturan presiden. Kedua, Mahkamah Agung berwenang melakukan penilaian (judicial review) atas perda berhadapan dengan UU.

Akhirnya, secara sosiologi-hukum, pejuang syariat Islam harus lebih menoleransi jiwa kebangsaan. Toh, syariat Islam tidak faktual hilang dari Bumi Pertiwi. Banyaknya substansi UU yang mengadopsi ide dasar hukum Islam menunjukkan, syariat Islam sosial dapat diterima dalam sistem hukum nasional. Yang lebih mengundang kontroversi adalah syariat Islam yang simbolik, syariat Islam yang berkait dengan ibadah-ritual.

Kesimpulannya, arah penegakan syariat Islam lebih strategis berbingkai pada pengadopsian fikih sosial antikorupsi, pelestarian lingkungan, demokrasi, dan sejenisnya; dibandingkan dengan mendesakkan syariat Islam permukaan-simbolik. Intinya, syariat Islam fikih ritual yang lebih berpotensi melahirkan misinterpretasi dan disintegrasi: no. Syariat Islam fikih sosial, yang lebih berpeluang menghadirkan Indonesia zero tolerance to corruption: yes.

Denny Indrayana
Doktor hukum tata negara, Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada

[Perspektif, Gatra Nomor 33 Beredar Kamis, 29 Juni 2006]

Gatra.Com

0 Comments: