Wednesday, January 31, 2007

Pancasila Diperalat Menstigma Islam

Selasa, 27 Juni 2006

Pancasila Diperalat Menstigma Islam

Mulai bergulir Kontra Memorandum di DPR.

JAKARTA--Kalangan DPR dan pengamat politik mengemukakan, Pancasila tengah dijadikan alat pencitraan buruk (stigmatisasi) terhadap syariat Islam oleh mereka yang menolak peraturan daerah (perda) antimaksiat. Perilaku 'penyelewengan' pancasilais dan Islamophobia yang bisa berakibat adu domba ini lebih berbahaya dibanding pemberlakuan syariat Islam itu sendiri yang mereka takutkan.

`'Sejak dulu tidak ada masalah terhadap penerapan perda bernuansa syariat. Ada apa ini, kok tiba-tiba masalah itu dimunculkan?'' kata anggota Komisi I DPR, Slamet Effendi Yusuf (Fraksi Partai Golkar), Senin (26/6). Secara terpisah, pengamat politik Universitas Indonesia (UI), Fachry Ali, mengemukakan, kemunculan perda bernuansa syariah Islam tidak bisa dibendung lagi seperti zaman Orde Baru. Sebab, itu merupakan bentuk aspirasi dari masyarakat Indonseia yang mayoritas beragama Islam.

`'Bagaimana pun, di era demokrasi, kelompok mayoritas akan memberikan nilai atau warna bagi hukum dan regulasi yang akan dikenakan di dalam masyarakat,'' tutur Fachry. Sebanyak 56 anggota DPR--lima di antaranya mencabut dukungan--menggugat penerapan perda antimaksiat dengan menstigma Islam. Bagi Slamet, memunculkan isu perda syariat semacam ini, membangkitkan sikap saling mencurigai dan menyulut pemusuhan antarumat beragama.

''Hal ini tidak strategis untuk negara yang sedang berupaya membangun solidaritas kebersamaan. Taruhannya persatuan bangsa,'' ucap Slamet. Diingatkannya, Pancasila tidak seharusnya dijadikan sarana untuk menstigmatisasi umat agama tertentu. Keberadaan Pancasila semestinya menjadi ruang kebersamaan. Bukan untuk menakut-nakuti dan menyudutkan kelompok tertentu. `'Kita harus waspada jangan sampai isu ini memecah belah persatuan dan kerukunan umat beragama,'' ungkap Slamet.

Penerapan perda bernuansa syariat, dalam pandangan Slamet tidak ada masalah. Dengan catatan, sepanjang perda tersebut dibutuhkan dan tidak mengganggu umat agama lain. Dia mencontohkan dengan penerapan perda penyembelihan hewan. Kata Slamet, sekarang ini ada gejala upaya sistematis untuk memuncul Islamophobia. `'Sampai-sampai seorang tokoh menulis di media massa menyebutkan kalau jilbab itu dianggapnya arabisasi. Tapi kenapa orang yang memakai jas tidak pernah disebut telah terjadi eropanisasi?'' paparnya.

Contoh lain, lanjut Slamet, kasus salah tangkap dalam penerapan perda antipelacuran diekspos besar-besaran. Tapi diskriminasi terhadap perempuan berjilbab di sebuah stasiun televisi, tidak pernah diekspos. `'Semestinya upaya Islamophobia ataupun Kristenphobia tidak dikembangkan,'' tandasnya. Petisi 51 anggota DPR itu kini memunculkan reaksi di kalangan rekan mereka di Senayan. Sejumlah anggota DPR menggalang Kontra Memorandum.

Penggalangan tanda tangan Kontra Memorandum mulai beredar kemarin. `'Masih ada beberapa revisi sehingga baru bisa kita edarkan tadi sekitar pukul 12.00 WIB,'' ungkap Almuzzamil Yusuf (Fraksi PKS). Rencananya, surat itu akan disampaikan ke pimpinan DPR, Selasa ini.

Anwar Sanusi (Fraksi PPP), yang sebelumnya menjadi bagian dari 56 anggota DPR itu, berbalik arah. Ia sekarang justru ikut menandatangani Kontra Memorandum. Anwar merasa tertipu saat memberikan tandatangannya. Yang ia tahu, naskahnya bukan tentang pencabutan perda antimaksiat. n dwo/uba

Ikhtisar

* Di era demokrasi, tak bisa dinafikan, kelompok mayoritas akan memberi warna terhadap produk hukum.
* Tapi atas nama Pancasila, Islam diperlakukan seperti 'aliran sesat' yang harus ditumpas.
* Kasus salah tangkap perda antipelacuran pun dibesar-besarkan. * Namun, diskriminasi terhadap perempuan berjilbab tidak pernah diekspose dan dipersoalkan.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: