Wednesday, January 31, 2007

Islam dalam Sewindu Reformasi

Jumat, 12 Mei 2006

Islam dalam Sewindu Reformasi



M Alfan Alfian M
Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta, serta Anggota Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah

Hadirnya era reformasi di Indonesia pasca-lengsernya Presiden Soeharto 21 Mei 1998, tidak dapat dilepaskan dari peran kalangan Islam. Indonesianis Robert W Hefner misalnya, mencatat fenomena ''civil Islam'', sebuah kekuatan pro-demokrasi yang menginginkan perubahan mendasar, khususnya dalam konteks sistem kepolitikan nasional.

Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, mengalihkan pendulum sejarahnya. Membuktikan pada dunia, Islam bukan agama penghambat demokrasi. Pergerakannya melewati dua arus: atas dan bawah. Arus atas tergambar dari dinamika politik yang melibatkan para aktor yang sejak 1990-an ''dirangkul'' oleh negara. Sementara arus bawah, tergambar oleh pergerakan umat Islam yang progresif, anak-anak muda yang bergerak di kampus-kampus dan berbagai aktivitas lembaga swadaya masyarakat.

Demokrasi menguntungkan mereka untuk lebih bebas mengekspresikan diri. Ikut terlanda euforia politik pasca-Orde Baru. Tatkala keran politik terbuka lebar, mereka berlomba membuat partai-partai politik, yang seolah menjadi lahan perjuangan baru yang lebih menjanjikan--walaupun almarhum Dr Kuntowijoyo pernah mengingatkan dampak-dampaknya.

Delapan tahun terakhir, aktivis politik Islam, baik yang bernaung di bawah partai politik berasaskan Islam, berbasis massa Islam atau mantan aktivis organisasi Islam yang berada di ''partai politik pluralis'', cukup mewarnai dinamika demokrasi Tanah Air. Meskipun demikian, isu negara Islam dalam arti Islam dijadikan dasar negara, cenderung meredup di parlemen.

Isu itu dianggap amat sensitif. Warna ''politik Islam'' di parlemen pun cenderung ''a-ideologis'', kecuali dalam beberapa kasus sempat muncul pro-kontra hebat atas pembentukan undang-undang mengenai pendidikan nasional, juga pornografi dan pornoaksi.

Kebalikannya, di beberapa daerah, isu ideologis tampak menonjol, tatkala syariat Islam diujicobakan dalam wadah hukum formal. Selain Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), beberapa pemerintah kabupaten dan kota berupaya mengadopsi ''syariat Islam'' melalui perda-perda. Tren ini merupakan suatu realitas politik yang ''sukar dibendung'', dan cukup membuat berbagai ''kalangan yang tidak sepakat'' gelisah.

Demokrasi politik di Indonesia telah memunculkan hal-hal yang pro-kontra tersendiri. Dulu, umat Islam pernah merasa sebagai ''kelompok minoritas'' dalam pentas politik nasional, banyak kelompok Islam yang teralienasi dan termarjinalisasi. Aspirasi-aspirasi politik Islam, banyak tak kesampaian. Namun kini, justru di era demokrasi, para politisi Islam dapat berijtihad politik secara lebih leluasa. Secara demokrasi kuantitatif, mereka punya kekuatan. Tetapi, tentu saja akan segera dianggap ''membahayakan'' kalau yang dijadikan dalih adalah demokrasi-mayoritas ''menindas'' minoritas.

Para politisi Muslim perlu menjelaskan tudingan-tudingan terkait hal tersebut lewat suatu forum keterbukaan. Jangan sampai para politisi Islam tampil eksklusif, jauh dari realitas sosiologis, sehingga yang muncul bukannya ''proses hukum yang tepat sasaran'', tetapi ''proses hukum yang selalu dilawan'' justru oleh kalangan umat sendiri.

Masihkah Islam ramah?
Potret lain yang mengemuka adalah tampilnya wajah Islam yang terkesankan sangar (radikal), bukan Islam ramah. Mereka hadir seiring jebolnya bendungan pembatasan ekspresi politik. Isu-isu anti-maksiat mengemuka. Mereka punya alasan untuk ''main hakim sendiri'' dalam ''memberantas kemaksiatan'', ketika aparat terkait dinilai membiarkan kemaksiatan itu terus berlangsung.

Di sisi lain, kehadiran mereka tidak dapat dilepaskan dari gejolak konflik horisontal di beberapa wilayah sensitif, semisal di Maluku dan Poso. Konflik horisontal itu memang potret runyam. Tatkala prasangka mengemuka dan ''bahan bakar'' disiramkan, konflik makin menjadi-jadi. Apa pun alasannya, keberadaan ''laskar-laskar Islam'' di daerah konflik, telah menjadi bagian dari wacana dan analisis ''Islam radikal'' di Indonesia era reformasi.

Puncaknya, tatkala kasus-kasus pemboman terungkap, yang ternyata melibatkan sebuah jaringan kelompok Islam ''bawah tanah''. Maka, otomatislah orang memotret, menganalisis, mewacanakan akan adanya keterkaitan antara terorisme internasional dengan ''Islam''.

Dalam sekejap citra Islam hancur oleh kejadian-kejadian teror tersebut. Karena wacana terorisme internasional dalam perkembangannya makin sarat dengan agenda politik adidaya, maka saat ini umat Islam Indonesia cemas dengan dua hal sekaligus. Satu sisi, mereka mengkhawatirkan terorisme itu sendiri. Sisi lain cemas akan politisasi tak berkesudahan oleh pihak asing, atau pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyudutkan umat Islam.

Namun wajah Islam Indonesia masih didominasi Islam ramah, bukan--istilah Abdurrahman Wahid--''Islam galak''. Keberadaan ormas-ormas besar Islam yang sering disebut sebagai ''representasi Islam arus-utama'', Muhammadiyah dan NU, tanpa ''mengecilkan'' eksistensi yang lain, cukup mampu memberikan ''payung pengaman'' bagi citra Islam Indonesia yang ''moderat''.

Krisis (pemimpin) umat
Permasalahan paling mendasar dari semua itu adalah krisis umat. Umat dan bangsa berimpitan, maka persoalan umat juga persoalan bangsa dan sebaliknya. Krisis umat, dengan demikian adalah juga krisis bangsa. Sayangnya, resep-resep yang diberikan, kadangkala membuat penyakit tambah kronis. Kebodohan kok diberi ''sinetron mistik''. Kemiskinan kok masih sebatas diberi ''ikan'', bukan ''kail''. Pengangguran kok masih sebatas diceramahi.

Sejauhmana para elite Islam memikirkan dan melakukan sesuatu bagi pencerdasan dan pengkayaan umat. Bukankah yang tampak di arus utama panggung kebangsaan-keumatan dewasa ini adalah ''melulu politik''? Mengapa yang tampak di permukaan lebih pada ornamen-ornamen artifisial, sementara substansinya kerap terabaikan?

Umat Islam juga tampaknya semakin susah mencari sosok panutan, karena aspek politis dan komersialisasi lebih mengemuka. Umat terlanda krisis, demikian pula ''pemimpin umat sejati'' yang kian langka. Ulama-ulama kultural yang alamiah, punya integritas, dan ''kharisma'' yang tidak instantif, makin sulit dicari, tertutup oleh ''ulama-ulama politik'' dan ''komersial''.

Dalam beberapa hal itu harus dapat dimaklumi. Hanya persoalannya, seberapa jauh mereka mampu ''memandu umat'' membebaskan dari kebodohan, kemiskinan, dan keterpurukan. Tugas berat para ulama, cendekiawan, dan pemimpin umat (Islam) ialah mempelopori suatu revolusi mentalitas ''manusia Indonesia''.

Pemimpin yang dibutuhkan ialah yang ''melayani'' dan bukan ''minta dilayani''. Pemotivasi, bukan pembikin kecemasan. Yang jarak antara ucapan dan perbuatan amat berimpitan. Yang berani, meminjam Mohammad Roem mengapresiasi KH Agus Salim, ''menderita''.

( )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: