Wednesday, January 31, 2007

DPR Sudahi Debat Perda Antimaksiat

Rabu, 05 Juli 2006

DPR Sudahi Debat Perda Antimaksiat

Daerah jangan khawatir membuat dan mengimplementasikannya.

JAKARTA--Lembaran hitam kisah petisi 51 anggota DPR terhadap peraturan daerah (perda) antimaksiat (pelacuran, perjudian, dan minuman keras/narkoba) berakhir dengan saling pengertian. Rapat Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi, Selasa (4/7), sepakat untuk tidak menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencabut perda yang bertujuan memperkuat KUHP dalam membasmi penyakit masyarakat itu.

Petisi 51 anggota DPR tersebut sempat menimbulkan suasana 'provokatif' yang bisa memancing konflik horisontal berbau SARA. Terutama, memunculkan pencitraan buruk (stigmatisasi) terhadap syariat Islam yang kebetulan sesuai dengan semangat perda antimaksiat itu.

`'Soal perda ini begitu sensitif, karena jelas-jelas menyinggung keberadaan agama tertentu. Para pimpinan fraksi sepakat dengan ikhlas, masalah perda ini diakhiri,'' kata Ketua DPR, Agung Laksono, usia memimpin Rapat Konsultasi Pimpinan DPR dan Pimpinan Fraksi, di Gedung MPR/DPR, Selasa (4/6).

Dengan berakhirnya perdebatan, menurut Agung, tugas DPR ke depan akan semakin ringan dan dapat menyelasaikan agenda lain yang tak kalah penting. Kontroversi perda antimaksiat di DPR dipicu oleh surat yang ditandatangani 56 anggota DPR (lima di antaranya mencabut dukungan karena merasa tertipu) tertanggal 17 Mei 2006, yang dialamatkan kepada Ketua DPR Agung Laksono. Mereka meminta agar meneruskan ke presiden untuk mencabut perda bernuansa syariat Islam yang kini berlaku di banyak daerah.

Munculnya petisi itu dipelopori Ketua Fraksi Partai Damai Sejahtera (FPDS), Constant Ponggawa, dan banyak menggaet anggota Fraksi PDIP, yang kemudian menyulut perdebatan panas. Belakangan, muncul kontra memorandum yang didukung 134 anggota DPR dan dimotori Patrialis Akbar (FPAN). Isinya, meminta pimpinan DPR tidak menindaklanjuti permintaan para pendukung pencabutan perda antimaksiat itu.

Menurut Patrialis, tidak ada bukti yang kuat, yang dipermasalahkan Constant cs merupakan perda syariat. ''Yang ada hanyalah perda pemberantasan maksiat,'' katanya.

Dalam rapim kemarin, Constant dan Patrialis ikut hadir. Mereka sepakat menganggap persoalan telah selesai. `'Hasil Rapim DPR dan Fraksi ini akan segera disosialisasikan. Memang tidak ada kesepakatan tertulis, tapi semua sudah memahaminya,'' kata Constant.

Kendati begitu, Constan menyatakan tidak akan mencabut surat ke ketua DPR. ''Surat itu cukup diendapkan saja. Yang penting, pemerintah sudah menangkap pesan yang kita ajukan.''

Sercara terpisah Patrialis menambahkan, Rapim sepakat mengakhiri perdebatan karena perda yang dipermasalahkan lahir dari proses yang demokratis di DPRD. Perda-perda tersebut tumbuh dan berjalan dengan baik di tengah-tengah masyarakat, sehingga kita tidak mungkin menghalangi aspirasi mayoritas rakyat.

''Terbukti, daerah yang memiliki perda-perda bernuansa syariat Islam, itu lebih aman,'' kata Patrialis. Rapim juga menyepakati, jika ada perda yang bertentangan dengan UU dan UUD 1945, ditempuh mekanisme hukum. Misalnya, mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA).

Patrialis meminta agar kepala daerah dan DPRD jangan ragu melanjutkan membuat perda-perda yang berbasis pada moral dan ajaran agama. ''Hal ini sama sekali tidak bertentangan dengan UUD 1945. Kepala daerah dan DPRD tidak perlu merasa khawatir,'' tandasnya.

( uba/dwo )
Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: