Wednesday, January 31, 2007

RUU PA untuk Keadilan Aceh - Sabtu, 28 Januari 2006

RUU PA untuk Keadilan Aceh

Maria Hartiningsih

Setelah ”disempurnakan” di Departemen Dalam Negeri dan diserahkan ke Menteri Sekretaris Negara, Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh atau RUU PA kini sudah ada di DPR untuk dibahas. Sesuai dengan nota kesepahaman Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, UU PA yang harus disahkan paling lambat 31 Maret itu adalah payung hukum bagi pemilihan kepala daerah di Aceh, April 2006.

Dalam kaitan itu, delapan perempuan aktivis dan akademisi dari Aceh berada di Jakarta pekan lalu untuk mengawal proses tersebut. Mereka bertemu wakil dari Komisi II DPR, Komnas Perempuan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, dan bersama Jaringan Demokrasi Aceh melakukan sosialisasi RUU PA dengan beberapa diplomat.

Berikut perbincangan dengan anggota rombongan, Suraiya Kamaruzzaman (37), aktivis HAM.

Apa kekhawatiran Anda dengan RUU PA ini?

Karena RUU PA ini merupakan kontrak politik dalam proses penyelesaian damai Aceh, kami khawatir kalau ada bagian-bagian penting yang dipangkas. Kan masih ada yang tidak mendukung lahirnya RUU PA. Padahal, penyusunan draf RUU PA cukup demokratis karena melibatkan banyak kelompok di masyarakat, termasuk perempuan. Substansinya merupakan langkah maju dalam pemenuhan keadilan sosial masyarakat Aceh. Kalau dipangkas, berarti memangkas aspirasi rakyat Aceh.

Untuk isu perempuan, misalnya, RUU PA ini sangat progresif karena mencantumkan dengan jelas kuota 30 persen untuk perempuan sebagai pendiri dan pengurus partai lokal dan di setiap lembaga pengambilan keputusan publik, meski untuk lembaga-lembaga lokal dan adat kami akan terus memperjuangkannya. Di Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), misalnya. Lembaga itu strategis karena di UU Otonomi Aceh, termasuk tiga lembaga pengambil kebijakan publik, selain pemerintah daerah dan DPRD. Sekarang memang ada perempuan di MPU, tetap bukan di tingkat pengambil keputusan. Dalam RUU itu ada 11 lembaga, seperti MPU, Majelis Pendidikan (MPD), dan Wali Nanggroe.

Ada yang mengatakan yang penting perspektif perempuannya kuat….

Dalam budaya Aceh yang sangat kental patriarkhi yang dibutuhkan bukan hanya laki-laki yang punya perspektif perempuan, tetapi perempuan juga harus ada di situ karena pengalaman perempuan tidak bisa dipahami oleh laki-laki. Untuk soal letak WC dan kamar mandi saja, antara perempuan dan laki-laki berbeda pandangan.

Apakah pembuatan qanun-qanun di Aceh selama ini melibatkan perempuan?

Tidak. Itu juga salah satu sebab mengapa kami mengawal RUU PA. Banyak warga juga mengeluh karena qanun-qanun (perda) itu tidak menyentuh yang di atas.

Kulit luar

”Karena yang kena hanya yang bawah, ada kecenderungan pelestarian kejahatan di tingkat atas,” sergah Syarifah Rahmatillah (35), pendiri Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI), salah satu juru bicara rombongan. ”Qanun korupsi tak bisa dibuat karena sudah ada UU Pemberantasan Korupsi. Kalau dibuat qanun korupsi hukumannya bisa jauh di bawah yang diatur UU, malah bisa sama dengan hukuman untuk maling ayam. Ini kan tidak adil. Kalau semangatnya memang mau memberantas korupsi, bisa saja lewat jalur politik. Tapi ini belum dilakukan.

Syariat Islam bagaimana yang diinginkan?

Syariat Islam yang berkeadilan. Kalau yang dicambuk perempuan yang tak berjilbab, laki-laki yang berjudi, atau yang khalwat (dua-duaan), itu kan sentuhan kulit luar saja. Seharusnya ruh Islam yang dikedepankan, supaya Islam benar-benar menjadi rahmat bagi semua umat.

”Dalam beberapa hal peraturan itu justru melanggar hak-hak prinsipiil manusia,” Suraiya menimpali. ”Di perda-perda itu hak dasar terdakwa, hak pembelaan diri hilang.”

Suraiya mengatakan, dalam sebuah diskusi MISPI untuk melatih paralegal, kepada seorang hakim dari Mahkamah Syariah yang hadir, ia menanyakan apa dasarnya polisi Syariah melarang para ibu belanja di toko serba ada di Simbun Sibreh waktu bulan Puasa. ”Memang ada larangan buka warung dan menjual makanan basah. Tapi itu kan toko serba ada,” kata Suraiya.

Hakim itu, menurut Suraiya, mengaku, secara perangkat, pelaksanaan Syariat Islam di Aceh sebenarnya belum siap benar. ”Beliau mengaku kadang-kadang juga bingung,” sambungnya.

Tertutup

Mempertegas pernyataan Syarifah, Suraiya menyatakan, ruh Islam sudah kental di Aceh jauh sebelum ada UU Syariat Islam. ”Tapi, ketika Syariat Islam dilembagakan, ruang-ruang untuk interpretasi tertutup. Sebenarnya qanun itu kan produk manusia. Tapi kalau didebat, kita langsung dituduh anti-Islam. Sebutan anti-Syariat Islam sama dengan sebutan PKI. Akhirnya, orang memilih diam,” katanya.

Memang sangat positif ketika keluar aturan perempuan boleh menjadi wali. Ini perkembangan luar biasa. ”Saya tanya ke bapak hakim itu, apa ada yang menantang. Ada, kata beliau, khususnya ulama yang hanya membaca buku-buku fikih keluaran mazhab Syafii. Pertanyaannya, kapan mazhab Syafii dipakai, kapan mazhab Maliki dan mazhab Hanafi dipakai, dengan ukuran dan kriteria apa,” ujarnya.

Berdasarkan pengalaman itu, ia dan kawan-kawannya sedapat mungkin mengawal terus UU PA karena UU itu akan mengatur seluruh lini kehidupan masyarakat Aceh. Turunan dari UU ini akan menghasilkan lebih dari 60 qanun. ”Lalu, bagaimana kondisi perempuan Aceh kalau kepentingan mereka tidak terakomodasi?” ujar Suraiya.

Siapa yang paling berkepentingan dengan pelembagaan Syariat Islam di Aceh?

Jakarta. Ini kan ”hadiah”, salah satu strategi menyelesaikan persoalan Aceh. Padahal, persoalan konflik di Aceh bukan soal Syariat Islam. Akar konflik adalah ketidakadilan. Ketika Syariat Islam diformalkan, dasarnya hanya interpretasi beberapa orang, yang tentu saja, terbatas.

”Ketika diformalkan, partisipasi rakyat hilang,” ujar Syarifah menambahkan. ”Tapi, jangan harap akan ada respons positif dari masyarakat hari ini kalau kita mengkritisi pemformalan Syariat Islam. Masyarakat Aceh sangat sensitif. Bicara Islam di Aceh kan bicara akidah, tak bisa diotak-atik. Padahal, di sisi lain kajian tentang Islam sudah banyak dilakukan.”

Ketika ditanya standpoint mereka dalam perjuangan RUU PA, Suraiya menjawab tegas, ”Kesetaraan, keadilan, dan ada kehendak kuat untuk membuat itu terjadi karena ada soal budaya yang patriarkhis, soal interpretasi agama dan pemahaman perempuan sendiri yang selama ini dididik dalam model yang patriarkhat. Kita harus bekerja keras memperkuat perempuan.”


RUU PA untuk Keadilan Aceh - Sabtu, 28 Januari 2006

0 Comments: