Wednesday, January 31, 2007

Partai Islamis dan Demokrasi

Senin, 30 Oktober 2006

Ahmad-Norma Permata
Kandidat Doktor Ilmu Politik, Universitas Muenster, Jerman

Belakangan ini kita disuguhi perdebatan politik yang makin panas menyusul berbagai penerapan maupun usulan penerapan perda-perda syariat di tingkat daerah maupun nasional. Tidak kurang dari 20 daerah dilaporkan sudah menerapkan perda yang bernuansa hukum syariat. Banyak kalangan mengkhawatirkan perkembangan ini akan memicu sektarianisme yang membahayakan keutuhan nasional.

Kekhawatiran tersebut memunculkan kesimpulan bahwa maraknya perda-perda syariat tersebut sebagai wujud program politik partai-partai berideologi Islam (Islamis). Lebih jauh bahkan, sebagaimana dilansir The Jakarta Post dalam editorialnya (18 Oktober 2006) proyek-proyek politik partai Islamis membahayakan keutuhan bangsa dan bisa membawa kepada perang saudara. Dengan hati-hati menyebutkan sebagai alternatif yang harus ditempuh secara demokratis, tulisan tersebut menunjukkan bahwa banyak negeri Muslim yang sudah melarang partai politik menggunakan simbol agama.

Pembacaan lebih jauh terhadap teori-teori partai politik mutakhir, menunjukkan bahwa anggapan di atas salah dalam dua hal. Pertama, kebijakan partai politik tidak semata hasil inspirasi ideologi, tapi juga, atau bahkan terutama, atas pertimbangan kepentingan strategis dan pragmatis. Perda-perda bernuansa syariat, faktanya, tidak hanya didukung oleh partai Islam tapi juga partai sekuler. Kedua, karena partai politik biasanya mewakili keberadaan sebuah kelompok di masyarakat, gagasan melarang partai Islamis malah akan memperparah problem politik bangsa, ketimbang menguranginya.

Dilema demokrasi
Dalam literatur kajian tentang partai, ilmuwan politik sering menjuluki partai-partai politik berideologi Islam sebagai 'dilema demokrasi'. Partai politik Islamis tersebut dianggap dilematis bagi perkembangan demokrasi karena, di satu sisi, memiliki kencenderungan popularitas karena mengusung isu dan simbol keagamaan yang mudah menarik sentimen dan dukungan. Namun di sisi lain, isu-isu primordialis dan kadang sektarian tersebut dianggap bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi itu sendiri.

Sebuah riset komparatif terhadap kiprah partai politik Islamis di tiga negara Muslim --Jordania, Turki, dan Pakistan-- membuktikan bahwa ideologi sangat dominan mempengaruhi partai-partai tersebut dalam merumuskan program-program politik mereka (Jonasson, 2004). Temuan ini seolah membenarkan dugaan beberapa pakar bahwa politik Islam memang tidak kompatibel dengan sistem politik demokrasi (Huntington 1997, Lewis 2001).

Penguasa negeri Muslim dan juga sebagian kalangan internasional tampaknya juga masih trauma dengan kasus partai Islamis di Aljazair (Algeria) dan Turki. Di Aljazair Front Islamic du Salut (FIS) yang dibubarkan oleh militer --atas restu politisi sekuler-- negeri tersebut karena dianggap berkhianat mengganti sistem politik demokrasi dengan sistem Islamis. Sedangkan di Turki partai Islamis tiga kali dibubarkan (1970, 1981, 1997) oleh rezim militer dengan alasan serupa, mengkhianati konstitusi sekuler Turki.

Menariknya, kajian terhadap teori-teori partai politik menunjukkan bahwa anggapan partai Islamis sebagai dilema demokrasi tidak sepenuhnya benar. Pertama, kebijakan partai politik tidak pernah semata-mata hasil dari dorongan atau inspirasi politik, melainkan juga-atau seringkali didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan pragmatis dan stratgis.

Kedua, secara organisatoris partai politik memiliki ciri yang mirip dengan organisasi bisnis, yaitu bahwa mereka bersaing memasarkan produk mereka --dalam hal ini program politik-- dalam sebuah persaingan pasar yang relatif bebas berupa pemilu. Persis sebagaimana strategi pemasaran organisasi bisnis, partai politik akan selalu memantau perkembangan pasar pemilih dan bersiap untuk menyambutnya.

Berdasarkan dua alasan tersebut, maraknya perda bernuansa syariat bukanlah semata-mata karena faktor partai Islamis, melainkan lebih mencerminkan permintaan pasar-pemilih. Akan ada banyak penjelasan ekonomi-sosial-budaya tentang mengapa masyarakat menginginkan gagasan politik Islam, dan apakah program politik Islam yang ditawarkan partai-partai politik Islamis sesuai dengan aspirasi mereka, yang tidak memungkinkan kita uraikan dalam tulisan pendek ini. Yang jelas, simbol Islam sangat diminati pasar-pemilih, sehingga partai-partai politik yang Islamis maupun sekuler bahu-membahu mempromosikannya.

Konsekuensinya, gagasan untuk melarang partai berideologi Islam juga bukan solusi yang reasonable, karena muaranya memang bukan hanya pada ideologi partai tapi pada persepsi tuntutan pasar-pemilih. Lagipula, sebagai organisasi yang berfungsi mewadahi aspirasi masyarakat, keberadaan partai-partai politik biasanya juga mencerminkan realitas pengelompokan sosial yang ada. Di Eropa barat, ideologi partai politik seperti konservatisme, liberalisme, sosialisme, komunisme, atau Kristen-demokrat merupakan cerminan pengelompokan sosial sebagai hasil endapan sejarah revolusi dan perang di Eropa (Lipset-Rokan, 1965).

Begitu pula kemunculan partai-partai Islamis, menurut pemikir Mesir Imaduddin Shahin, juga merupakan ekspresi dari kelompok Islamis di negeri-negeri Muslim pasca-kolonial. Mereka banyak berjasa dalam upaya mengusir penjajah namun kemudian disumbat inspirasi politiknya oleh rezim sekuler pascakemerdekaan. Kelompok yang biasanya bermula dari gerakan kecil tapi militan ini mudah mendapatkan popularitas karena tampilan yang kontras dengan rezim yang ada. Bukannya mengurangi ataupun menyelesaikan, pelarangan partai berideologi Islam justru akan memperparah keadaan.

Solusi demokrasi
Apakah dengan demikian perda-perda syariat itu hanya bisa diterima begitu saja? Tentu saja tidak. Banyak di kalangan Muslim yang tidak sepakat dengan kebijakan formalisasi syariat seperti itu. Bahkan survei LSI beberapa bulan lalu menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara aspirasi umat Islam tentang 'hukum Islam' dan banyak program formalisasi syariat. Tulisan ini pun bukan untuk membela keberadaan perda-perda tersebut, melainakan menunjukkan bahwa keberadaan perda-perda tersebut bukan semata karena faktor keberadaan partai politik berideologi Islam, melainkan karena persepsi para politisi terhadap tuntutan pasar-pemilih.

Lalu apa solusinya? Kembali merujuk literatur teori partai, solusi paling rasional untuk menanggulangi maraknya program-program politik primordial-sektarian yang tidak sejalan dengan demokrasi adalah dengan meningkatkan laju proses demokratisasi itu sendiri. Mengikuti Juan Linz dan Alfred Stepan (1996) ada lima arena dimana proses demokratisasi harus terus didorong.

Pertama, terbentuknya masyarakat sipil yang kuat dan responsif guna mengartikulasikan nilai-nilai serta kepentingan masyarakat. Kedua, terbentuknya masyarakat-politik yang stabil, berupa sistem kepartaian yang terinstitusionalisasi dengan baik. Ketiga, birokrasi pemerintahan yang efektif. Keempat, penegakan hukum yang akan membuat masyarakat memiliki kepercayaan terhadap sistem politik yang ada dan tidak mudah terpancing isu-isu politik bernuansa primordial. Kelima, peningkatan kesejahteraan ekonomi yang akan membantu masyarakat mampu berfikir jangka panjang dan tidak tergoda rayuan-rayuan politik irasional.

Ikhtisar

- Maraknya perda bernuansa syariat Islam, membuat partai berideologi Islam (Islamis) dianggap membahayakan keutuhan bangsa.
- Anggapan bahwa partai Islamis merupakan dilema demokrasi, mengandung banyak kelemahan.
- Munculnya partai-partai Islamis merupakan ekspresi kelompok Islamis di negeri-negeri Muslim pasca-kolonial.
- Maraknya maraknya program politik primordial-sektarian yang tidak sejalan dengan demokrasi, perlu diatasi dengan meningkatkan laju proses demokratisasi.

( )

Republika Online : http://www.republika.co.id

0 Comments: