Friday, March 9, 2007

Hidayatullah.com - Syariat Islam di Mata Ahmad Syafii Maarif

Syariat Islam di Mata Ahmad Syafii Maarif Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Rabu, 28 Juni 2006
Sebelum menjadi Pejabat Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah tahun, 1999 -2004, Ahmad Syafii Maarif dikenal hati-hati. Belakangan ia kerap memberi pernyataan minor pada kelompok Islam lain


Hidayatullah.com—Prof Dr Ahmad Syafi'i Maarif adalah mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah. Selain kader Muhammadiyah, dia dikenal sebagai seorang ilmuwan, tepatnya menjadi guru besar Ilmu Sejarah di IKIP Yogyakarta.

Lahir di Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935, sejak kecil Syafii Maarif hidup dalam lingkungan keislaman yang kental. Lulusan Madrasah Ibtidaiyah Sumpurkudus ini melanjutkan ke Madrasah Muallim Lintau, Sumbar, dan selanjutnya menempuh ilmu setingkat SLTA di Mualimin Muhammadiyah Yogyakarta. Lulus SLTA, dia melanjutkan pendidikan ke Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, kemudian melanjutkan ke IKIP Yogyakarta hingga bergelar Sarjana Sejarah.

Syafii melanjutkan program master di Departemen Sejarah Universitas Ohio, Amerika Serikat (AS). Gelar doktor diperolehnya dari Program Studi Bahasa dan Peradaban Timur Dekat, Universitas Chicago, AS, dengan disertasi "Islam as the Basis of State: A Study of the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia."
Pengurus Masyarakat Sejarawan Indonesia ini mengaku, di Chicago kuliah di bawah bimbingan Fazlur Rahman, yang juga guru (alm) Nurcholis Madjid, yang dianggapnya banyak memberikan pencerahan, termasuk dalam memahami Al-Qur'an.
“Saya betah di sana, karena cocok dengan dunia intelektualitas saya,” kenang si anak desa yang pernah bercita-cita hanya ingin menjadi penceramah di podium ini.

Ahmad Syafii Maarif menjadi Pejabat Sementara Ketua Umum PP Muhammadiyah sejak 1999 -2004. Posisi ini kemudian diganti oleh Prof Dr Din Syamsuddin dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, Jawa Timur.

Sebelumnya, pria yang rajin menulis di berbagai media itu dikenal netral dan hati-hati dalam mengeluarkan argumen bernilai politik. Namun, banyak perubahan padanya, tatkala memberi pernyataan menyangkut masalah gerakan-gerakan Islam. Di bawah ini sebagaian kecil yang didokumentasi hidayatullah.com menyangkut pikiran dan pernyataannya:

Tanggal 10 Agustus 2000, bersama tokoh seperti Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU) dan Nurcholish Madjid, mengeluarkan pernyataan bersama di Hotel Indonesia, yang isinya menolak upaya mengembalikan Piagam Jakarta. Judul pernyataan mereka: “Kami Menolak Pencantuman Kembali Piagam Jakarta dalam UUD 1945.”

Alasannya, dimasukkannya kembali tujuh kata itu akan membangkitkan kembali prasangka-prasangka lama dari kalangan luar Islam mengenai ‘negara Islam’ di Indonesia. Prasangka-prasangka ini jika dibiarkan berkembang akan dapat mengganggu hubungan antar kelompok yang pada ujungnya menimbulkan ancaman disintegrasi.

Tanggal 1 Agustus 2005, Syafii meminta agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengkaji kembali fatwanya. Ulama-ulama di MUI dianggapnya tak paham pluralisme. Menurutnya, MUI harus mempelajari pluralisme untuk memahami implikasi yang muncul akibat fatwa tersebut. Ia juga minta pemerintah mengantisipasi agar fatwa ini tak diadopsi Pemerintah Daerah ke dalam Peraturan Daerah (Perda).

“Bangsa ini masih ada banyak masalah. MUI seharusnya belajar banyak lagi masalah pluralisme,” katanya dikutip Koran Sinar Harapan.

Karena memunculkan perdebatan, Syafii meminta MUI mengkaji kembali 11 butir fatwa hasil Musyawarah Nasional ke-7 itu. Ketegangan, kata dia, menunjukkan tujuan fatwa sendiri tidak sepenuhnya tercapai.

Entahlah, meski fatwa adalah menyangkut masalah hukum dari kesepakatan ulama yang ahli bidang fikih, ilmuwan Sejarah ini tetap keras mengatakan fatwa itu tidak benar. “Tidak semua fatwa yang dikeluarkan MUI itu tepat. Misalnya fatwa untuk menghukum agama lain. Ini tidak tepat. Seolah-olah MUI itu tidak punya pekerjaan lain,” katanya.

Syafii juga menyatakan sulit memahami fatwa MUI tentang pelarangan Ahmadiyah, pengharaman pemikiran liberal dan pluralisme.

"Alih-alih mencerdaskan dan membimbing umat ke jalan yang benar, fatwa tersebut malah menjadi bahan bakar tindakan anarkisme, vandalisme, dan anti demokrasi di tengah umat," katanya seolah menganggap biang kekerasan adalah Fatwa MUI.

Ahmad Syafii Maarif juga mempopulerkan istilah “preman berjubah”. Istilah itu muncul tanggal 9 Agustus 2005 dalam kolom ‘Resonansi’ di harian Republika. Kolom itu pun berjudul “Preman Berjubah”.

''...kita punya kesempatan emas untuk menyampaikan apa yang terasa secara sopan tetapi tajam. Tidak seperti cara-cara sementara pihak yang menyerbu suatu tempat yang mereka nilai 'berbahaya' bagi Islam seperti yang mereka pahami. Cara semacam ini adalah cara preman berjubah, jauh dari dari sifat seorang ksatria.'' Demikian tulis Syafii Maarif.

Istilah itu kembali diucapkannya dalam salah satu acara di stasiun TV dalam rangka memperingati sewindu reformasi. Hadir dalam dialog tersebut antara lain Akbar Tandjung, Wiranto, dan Adnan Buyung Nasution.

Ketika itu Syafii mengatakan, "Pada 2030 nanti Pancasila sebagai karya brilian Bung Karno harus sukses diamalkan, karena sekarang penentang Pancasila sudah tidak ada lagi setelah para preman berjubah kehilangan energi".

Pernyataannya ini dipopulerkan lagi oleh sekelompok orang yang selama ini dikenal sebagai aktivis liberal, dan dijadikan kumpulan buku berjudul Kala Fatwa Jadi Penjara (Wahid Institute, 2006, hlm. 234-236). Buku ini membahas tentang penolakan terhadap fatwa-fatwa MUI menyangkut liberalisme.

Dalam acara bedah buku dan diskusi otobiografi Ahmad Syafii Maarif, Titik-titik Kisar di Perjalananku di Jakarta (19 Juni 2006), Syafii mengatakan bahwa partai-partai Islam tak pernah membela rakyat. Partai-partai Islam hanya menjadikan agama sebagai kendaraan politik. "Itu fakta. Tidak seorang pun bisa membantahnya," katanya seperti dikutip koran Suara Karya, 20 Juni 2006.

Ia juga mengatakan, partai-partai berdasarkan Islam makin tidak punya pengikut. “Itu kenyataan dan fakta yang harus dilihat," ujarnya.

Syafii juga mengajak masyarakat untuk tak berharap pada partai Islam. Ia bahkan menyebut-nyebut parpol Islam tidak akan pernah bersatu. "Selama mereka hanya memikirkan perut, mereka tidak akan pernah bisa bersatu."

Bagaimana pandangannya terhadap partai Islam, misalnya PKS? "Dulu Partai Masyumi, sebelum dibubarkan, lebih bagus. Orang-orang Masyumi dikenal moralis, tidak memikirkan diri sendiri, dan hidup sederhana. Beda dengan kelakuan elite politik sekarang. Dia (PKS) kan baru. Kita belum tahu kalau dia berkuasa. Jadi, kita masih harus wait and see terhadap PKS ini," katanya.

Dalam bukunya, Mencari Autentisitas dalam Kegalauan (PSAP, 2004), Syafii mengatakan, pluralisme agama dan budaya sejak ribuan tahun sudah merupakan fakta dalam sejarah. Oleh karena itu, harus diakui, dihormati, dan disyukuri. Pluralisme agama dan budaya, menurutnya, memperkaya bangunan kemanusiaan universal.

Ia juga mengatakan, gagasan Negara Islam lebih banyak disebabkan oleh sikap reaktif umat terhadap perkembangan politik abad ke-20, bukan oleh kesungguhan untuk menciptakan sebuah tatanan kehidupan Islami yang komprehensif, utuh, dan substansial.

Sikap dan pandangan di atas menempatkan Syafii menjadi “guru” bagi orang-orang liberal. Simak pendapat Sukidi, aktivis Jaringan Intelektual Muhammadiyah (JIMM) di harian Kompas (Selasa, 6 Juni 2006), saat menyambut peluncuran buku otobiografi Ahmad Syafii Maarif berjudul Titik-titik Kisar di Perjalananku.

“Sebagai ulama yang benar-benar ‘alim’ sehingga dipanggil Buya, pilihan hidup sederhana benar-benar merefleksikan kondisi umatnya yang sederhana, serba miskin dan penuh penderitaan. Ia resapi kondisi umatnya itu dalam kehidupan. Peran profetiknya ibarat seorang ‘nabi’ yang oleh (alm) Nurcholish Madjid ditafsirkan sebagai ‘guru moralitas’ dan ‘guru kebenaran’. Hidupnya diabadikan untuk menyertai dan mengabdi pada umat dan bangsa, dalam menggapai moralitas dan kebenaran yang diperjuangkan secara konkret, tidak sekadar dalam ide dan angan-angan.

Di tengah bertaburan elite agama yang menjadikan umatnya sebagai modal dan mobilisasi politik, Buya Syafii justru menjauhi sifat itu. Ia mentransendensikan dirinya dari nafsu birahi politik. Kepada umat, ia tebarkan pencerahan dengan akal rasional dan budi pekerti yang baik, juga sebuah peringatan.

"Aku ingatkan bahwa cara-cara radikalisme itu sepanjang sejarah Indonesia hanya punya satu risiko: gagal!," tutur pria yang sering dipanggil pengagumnya dengan Buya itu dalam otobiografinya. [cha, berbagai sumber]
Hidayatullah.com - Syariat Islam di Mata Ahmad Syafii Maarif

0 Comments: