Tuesday, January 23, 2007

Republika Online : http://www.republika.co.id

Kamis, 11 Januari 2007

Relasi Agama dan Negara

Said Aqil Siradj Ketua PBNU


Politik umat sering diidentikkan dengan kehidupan mereka dalam bernegara. Pemahaman seperti ini memunculkan diskursus berkepanjangan mengenai hubungan antara negara dan agama dalam Islam. Diskusi-diskusi tersebut hingga saat ini mengerucut dalam dua arus besar: pertama menginginkan bentuk kekhilafahan sebagai satu-satunya bentuk negara Islam. Kedua bersikap lebih moderat serta mentolerir semua bentuk negara, sepanjang nilai-nilai Islam bisa dijalankan. Bagaimana kemudian sikap dan posisi para ulama klasik tentang ini?

Sikap dan posisi ulama di masa Islam awal, bertolak dari pengalaman Nabi Muhammad di Makkah dan di Madinah. Periode Makkiyah yang dijalani Rasulullah SAW selama sekitar 13 tahun boleh dikata sebagai masa yang penuh onak dan duri. Misi Islam banyak berbenturan dengan para pembesar kafir Quraisy yang merasa kedudukannya sebagai pemimpin bangsa Arab terancam. Sehingga bisa dikatakan bahwa pada periode ini, beliau lebih mencerminkan sebagai seorang pemimpin agama, sementara sebagai pemimpin negara belum bisa diterima.

Periode Yastrib
Barulah setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Yatsrib, tatanan 'bernegara' umat Islam mulai tampak. Kota Yatsrib pun berganti nama menjadi Madinah. Ia dinamakan Yatsrib karena yang pertama datang dan membangun kota itu adalah seseorang yang bernama Yastrib ibn Amliq ibn Laudz ibn Sam ibn Nuh. Masyarakat kota Yatsrib cukup beragam. Ada sejumlah suku dominan yang mendiami kota itu. Suku Aus, Khazraj, Qainuqa', Quraidlah dan Bani Nadhir. Demikian pula, penduduknya menganut beragam agama: Islam, Yahudi, dan sebagian kecil Kristen Najran.

Dalam masyarakat Islam sendiri terdapat dua latar belakang, yaitu kaum migran atau sahabat muhajirin (dari beberapa suku asal Makkah dan sekitarnya), dan penduduk lokal alias sahabat anshar, yang didominasi Suku Aus dan Khazraj. Sedangkan kaum Yahudi lebih berasal dari suku Nadhir, Qainuqa, dan Quraidlah.

Maka, bisa dipahami kemudian kalau pada periode pascahijrah ini, posisi Nabi SAW bukan hanya sebagai pemimpin agama, tapi juga menjadi pemimpin 'negara'. Tapi, tentu, istilah negara di sini tidak bisa disamakan dengan negara dalam konteks sekarang. Barangkali bisa disebut city-state.

Deklarasi berdirinya 'negara' tergambar pada kemunculan Shahifah Al Madinah atau Piagam Madinah. Meskipun Madinah saat itu barulah city state, harus diakui bahwa tipologi pemerintahan semacam itu merupakan bentuk baru di tengah menguatnya cengkeraman imperium adikuasa Romawi dan Persia yang feodalistik dan otoriter. Dalam kerangka seperti inilah misi Rasulullah SAW sebagai rahmatan lil'alamin bisa kita baca secara jernih.

Pada masa Rasulullah SAW, masalah politik tidak pernah menjadi persoalan yang cukup menyita perhatian masyarakat Islam. Bahkan, dengan kecakapan dan keahliannya, Rasulullah SAW berhasil melaksanakan peran politik tersebut hingga mampu menyatukan kekuatan politik yang menyebar di beberapa kelompok masyarakat Madinah. Rasulullah melakukan pengisian jabatan, distribusi peran politik secara adil dan seimbang.

Semua itu dilakukan secara hati-hati dengan mengacu pada aspirasi masyarakat. Posisi Rasulullah tidak hanya sebagai pemimpin pemerintahan yang memegang peran besar di bidang politik praktis. Pada saat yang sama Rasulullah SAW juga memerankan diri sebagai pemimpin keagamaan. Fungsi ganda ini berjalan seimbang.

Di masa Nabi Muhammad SAW, syariat menampilkan dua aspek dalam dirinya, aspek eksoterik dan esoterik. Sisi eksoterik syariat Islam, seperti kewajiban puasa, zakat, haji, dan jihad fi sabilillah, baru sempurna ketika kondisi sosial politik serta ekonomi masyarakat Madinah sudah sampai ke situasi stabil dan kokoh. Kondisi masyarakat yang cukup plural dan tuntutan pemberlakuan syariat-moral Islam, seperti dijelaskan di atas, memberikan inspirasi bagi Nabi Muhammad SAW, untuk mendirikan apa yang kemudian dikenal dengan Negara Madinah. Konsep Negara Madinah tertuang dalam Piagam Madinah yang mengandung nilai universalitas: keadilan, kebebasan, persamaan hak dan kewajiban, serta perlakuan yang sama di mata hukum.

Yang menarik, dalam Piagam Madinah ini tidak ditemukan teks-teks apapun yang menunjukkan superioritas simbol-simbol Islam seperti kata Islam, ayat Alquran, syariat Islam, Atau sesuatu yang menunjukkan perlakuan khusus terhadap umat Islam. Kota Yatsrib pun berganti nama menjadi Madinah, yang berasal dari kata tamaddun, yang berarti peradaban. Maksudnya, kota atau negara yang mencita-citakan tatanan masyarakat berperadaban. Dan untuk mewujudkannya, Nabi Muhammad mengembangkan konsep ukhuwah madaniyah, yakni, komitmen bersama untuk hidup dalam sebuah kota atau negeri yang berperadaban..

Jadi, syariat Islam dalam arti pemberlakuan hukum Islam, juga berjalan dengan baik. Yakni, Nabi Muhammad SAW selalu mengutamakan pemecahan sosio-kultural atas suatu masalah dibanding sanksi hukum yang sifatnya formal. Sehingga masyarakat Islam selalu dinamis, larut dalam upaya pemecahan masalah kemasyarakatan dan terlepas dari jeratan sanksi hukum. Sanksi hukum dalam Islam memang cukup berat. Karena itu penerapannya harus melalui prosedur dan syarat-syarat yang juga sangat berat.

Melalui pengalaman Nabi Muhammad di Madinah ini, syariat Islam lebih bermakna sebagai upaya untuk saling menghormati dan menghargai, tolong-menolong, cinta Tanah Air, mewujudkan keadilan dan kemakmuran. Dari pengertian inilah, Islam pun dikenal dengan penegakan syariat secara kaffah.

Visi politik Ahlussunnah Waljamaah
Teori politik eksitensinya jauh tertinggal dari kondisi riil politik umat Islam. Nabi Muhammad SAW memang pernah membangun model negara kota di Madinah, kemudian diteruskan para Khulafa'ur Rasyidun, lalu dirombak oleh Mu'awiyah ibn Abi Sufyan (w 40 H) dalam bentuk dinasti. Bentuk dinasti ini kemudian diperpanjang di era dinasti Abbasiyah.

Kesulitan ini sama halnya dengan menggagas seputar isu negara Islam di kalangan komunitas Sunni (Ahlussunnah Waljamaah). Adakah negara Islam di kalangan Sunni? Kalau ada, negara manakah di dunia ini sekarang yang representatif menyandang sebuatan negara Islam?

Sepengetahuan saya, Taqiyuddin Ahmad Ibn Taimiyah (w 728 H), salah seorang ulama Hanabilah, yang mencuatkan frame pemikiran fiqih siyasi dalam sebuah karya yang utuh, As-siyasah As-syar'iyah. Menurut Ibn Taimiyah, sistem khilafah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model Khulafaur Rasyidun. Karena itu, istilah ulil amri(pemerintah atau penguasa) bagi Ibn Taimiyah merupakan kesatuan antara ulama dan umara.

Harus diakui bahwa institusionalisasi agama dalam lintasan sejarah membawa dampak pada pen-taqdis-an atau mistifikasi negara. Selain akan menutup pintu transparasi manajemen pemerintahan, mistifikasi ini juga akan membelenggu kreasi dan ekspresi warga. Mistifikasi ini bisa mengarah pada goyahnya kemurnian tauhid seorang Muslim karena mistifikasi tiada lain adalah pen-taqdis-an makhluk Allah (yakni negara). Teori khilafah yang diagung-agungkan Ibn Taimiyah oleh penganutnya justru diganti dengan pola monarki.

Kalangan Sunni visi politiknya bisa dikatakan tidak memiliki sistem yang jelas. Karenanya, kaidah yang berlaku lebih terfokus pada kemaslahatan rakyat. Agama memang diturunkan untuk kemaslahatan umat manusia, dan negara merupakan instrumen untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat tersebut secara keseluruhan.

Untuk mewujudkan cita dan visi yang mulia ini, diperlukan partisipasi rakyat. Jika rumusan kemaslahatan lebih dimonopoli oleh pemimpinnya, maka kemaslahatan rakyat akan banyak mengalami distorsi. Agar rakyat bisa berpartisipasi dalam mengambil keputusan, perlu persyaratan-persyaratan tertentu. Basis doktrinal dalam visi politik fiqih siyasah umat Islam, seperti terpantul dalam konsep Al-dlaruriyah Al-khams, sangatlah relevan dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan wajib dijadikan pegangan.

Masyarakat menantikan kedatangan pemimpin yang mampu menunjukkan dirinya secara paripurna, sehingga cita-cita bangsa kita akan tercapai dalam meraih keadilan, kemakmuran, dan pemerataan. Seorang pemimpin harus menunjukkan dirinya sebagai pelayan terbaik terhadap rakyat dan umatnya.

Ikhtisar

- Wacana soal hubungan agama dan negara terus menjadi diskursus yang berkepanjangan.
- Ada dua arus besar dalam menggambarkan hubungan tersebut, yakni pendukung khilafah sebagai sistem negara Islam, dan kalangan yang mentolerir semua sistem negara yang menghargai nilai-nilai Islam.
- Perjalanan Rasulullah SAW memberi gambaran tentang pola kepemimpinan yang harus dijalankan umat Islam.
- Kini, masyarakat menunggu hadirnya pemimpin yang paripurna yang mampu memberi pelayanan terbaik kepada rakyatnya.





Selasa, 23 Januari 2007

Islam dan Mistifikasi Khilafah

Oleh :


Amiruddin Sujadi
Mahasiswa Program Magister Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Tulisan Said Aqil Siradj, 'Relasi Agama dan Negara' di Republika, Kamis (11/1/07) menarik untuk ditanggapi. Secara umum, tulisan ini berhasil memotret gambaran awal berdirinya negara Madinah, yang disebutnya dengan istilah city state (negara kota), hingga menjadi negara Islam pertama. Juga keberhasilannya dalam membangun peradaban Islam yang utuh di tangan Rasulullah SAW dan para sahabat yang mencitrakan Islam sebagai rahamatan lil'alamin. Sayangnya, uraian yang sangat bagus itu harus diakhiri dengan analisis yang kurang pas tentang mistifikasi khilafah.

Posisi Ibn Taimiyah
Mengenai Ibn Taimiyah (w 728 H), Said Aqil mengatakan, bahwa beliaulah ulama yang mencuatkan frame pemikiran fikih siyasi secara utuh dalam bukunya, As Siyasah As Syar'iyyah. Dari paparan tersebut, kita bisa menangkap seolah-olah Ibn Taimiyahlah orang yang pertama membangun kerangka fikih siyasi secara utuh. Padahal, kita tahu, banyak ulama Sunni jauh sebelum Ibn Taimiyah telah melakukan hal yang sama, bahkan dengan konsep yang lebih utuh ketimbang Ibn Taimiyah. Sebut saja, Al Mawardi (w 450 H) dari Mazhab Syafii dan Al Farra (w 458 H) dari mazhab Hambali.

Bahkan, saya kira kedua kitab ini jauh lebih lengkap pembahasannya ketimbang apa yang ditulis oleh Ibn Taimiyah. Meski tak selengkap dan seutuh keduanya, saya kira masih ada nama lain yang juga layak untuk dikemukakan di sini, yaitu Imam Al Haramain Al Juwaini (w 478 H) dan Sulthan Al 'Ulama', Izzuddin ibn 'Abd As Salam (w 660 H).

Karena itu, yang menyatakan bahwa sistem khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan Islam, dan hukum mendirikannya adalah wajib, bukan hanya pendapat Ibn Taimiyah. Bukan hanya itu, semua Ahlussunnah, Syi'ah, Khawarij kecuali sekte An Najadat dan Muktazilah kecuali sekte Al Asham dan Al Fuwathi sepakat, bahwa adanya imam dan imamah adalah wajib.

Wajar saja, jika kemudian Al Qalqasyandi (1964: I: 2) mengatakan, "Khilafah adalah pangkalan dan mainstream Islam." Al-Ghazali (w 505 H) dalam Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad, membuat perumpamaan yang sangat tepat, bahwa Islam dan khilafah itu ibarat pondasi dan penjaga. Tanpa pondasi, sebuah bangunan akan runtuh, dan tanpa penjaga bangunan itu pun akan hilang. Karena itu kemudian eksistensi hukumnya disepakati oleh para ulama kaum Muslim sebagai perkara yang urgensinya telah dimaklumi di dalam Islam.

Pertanyaannya kemudian adalah, benarkan karena hubungan yang sedemikian kuat antara Islam dan negara itu kemudian memunculkan pen-taqdis-an negara, atau dalam istilah Said Aqil disebut mistifikasi negara? Saya kira, kesimpulan ini terlalu menyederhanakan persoalan.

Jika para ulama mengatakan, bahwa mendirikan khilafah hukumnya wajib, tentu tidak bisa dikatakan, bahwa ini merupakan bentuk pen-taqdis-an negara. Sebagaimana kalau kita mengatakan, shalat hukumnya wajib, juga tidak bisa dikatakan men-taqdis-kan shalat, semata-mata karena kita mengatakan shalat hukumnya wajib dan karenanya wajib ditegakkan. Sebab, baik shalat maupun khilafah, hukumnya memang sama-sama wajib bagi kaum Muslim.

Lebih transparan
Konon karena mistifikasi ini, sistem khilafah akan kehilangan transparansi menajemen pemerintahannya, dan bahkan konon akan membelenggu kreasi dan ekspresi rakyatnya. Kesimpulan seperti ini, selain mungkin dipengaruhi oleh penyimpangan dalam praktik sejarah, juga sangat mungkin karena ketidakjelasan gambaran tentang sistem pemerintahan dalam khilafah.

Sekalipun khilafah tidak menganut sistem demokrasi, tetapi bukan berarti khilafah adalah sistem teokrasi, yang menempatkan khalifah seolah seperti raja yang menjadi titisan dewa. Khalifah adalah manusia biasa dan bisa berbuat salah sebagaimana layaknya manusia yang lain.

Jika Sunni menyatakan, bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan yang dipimpin oleh manusia untuk menjalankan hukum-hukum Allah, berarti tetap harus dibedakan antara hukum dan manusianya. Karena ada faktor manusia itulah, maka dalam praktiknya hukum tersebut bisa mengalami penyimpangan, tetapi bukan berarti hukumnya yang salah. Karena itulah, khalifah dan seluruh aparat di bawahnya bisa saja melakukan kesalahan, sebagaimana manusia yang lain dan mereka pun bisa dikoreksi bahkan diadili.

Jadi, dengan visi Sunni yang seperti itu, saya kira tidak ada masalah lagi dengan transparansi menajemen, atau problem akuntabilitas. Justru proses akuntabilitasnya sangat transparan, dan tidak perlu menunggu sidang tahunan, sidang paripurna, tetapi kapan dan di mana saja bisa berjalan.

Pantas, jika seorang Will Durant memberikan apresiasi yang luar biasa terhadapnya, "Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan sampai Maroko dan Spanyol. Islam pun telah menguasai cita-cita mereka, mendominasi akhlaknya, membentuk kehidupannya dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan masalah maupun duka mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka, sehingga jumlah orang yang memeluknya dan berpegang teguh kepadanya pada saat ini (era Will Durant) sekitar 350 juta jiwa. Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hatinya walaupun ada perbedaan pendapat dan latar belakang politik di antara mereka." (Will Durant, The History of Civilization, vol XIII).

Apa yang dilukiskan oleh Will Durant ini adalah bagian dari episode kejayaan Islam dan seluruh bangsa serta negeri yang dinaunginya sistem khilafah selama puluhan abad. Masihkah kita memperdebatkan kenyataan ini? Sampai kapan? Saya kira, umat ini termasuk para pemimpinnya tidak akan pernah menjadi besar dan dihormati, jika tidak memahami dan kembali kepada sejarahnya.

0 Comments: